44

14K 2.9K 398
                                    

Malam harinya Aslan kembali tak tidur dengan nyenyak, setiap beberapa jam sekali dia akan bangun dan pergi mengganggu Dokter Steven untuk menanyakan perkembangan kondisi Peter Leonard yang menjadi kelinci percobaan. Hasilnya tetap saja sama, tak ada perubahan yang berarti. Hanya, Aslan yang semakin kurang tidur dan Dokter Steven yang ikut-ikutan frustasi di buatnya.

"Kenapa, ya? Apa yang kurang?" Aslan memijat dahinya yang berkerut, bingung bukan main padahal ia sudah dengan benar meneliti resep obat itu dengan sebaik-baiknya. Bahkan sekarang pun dia sudah membaca ulang bukunya hingga berpuluh-puluh kali.

Lelaki itu sudah mondar-mandir di laboratorium sedangkan hari masih sangat gelap. Ada Adam, Theo, dan Duncan yang menemani, Duncan ikut membaca buku-buku peninggalan moyang Wialachaues sedangkan Theo asik mendengkur dengan Adam yang juga tidur di pangkuan Theo.

"Apa mungkin kita perlu menunggu selama beberapa hari?" kata Duncan, bukannya ingin memberi harapan palsu, tapi jujur saja dia sudah sangat lelah. Duncan bingung bagaimana tuannya masih bertahan hidup meski penampilannya sudah mirip zombie.

Aslan menjentikkan jarinya, "benar, mungkin butuh waktu lebih lama."

Beberapa hari kemudian ..

"Bagaimana ini .. apa?! apa yang salah dengan obatnya?" Aslan membolak-balik buku resep obat itu hingga kertas kulitnya hampir robek— akibat terlalu sering di tutup-buka.

Selama beberapa hari itu Aslan tak tidur dan sudah menunjukkan gejala-gejala orang kena depresi karena obatnya benar-benar tak membawa perubahan apapun. Aslan sangat kecewa, padahal ia sudah dengan sombong mengelu-elukan obatnya akan berhasil, tapi hasilnya malah .. begitu. Nyatanya, ada juga beberapa perjuangan yang mengkhianati hasil.

Semua orang sebetulnya sudah memberikan pengertian kepada Aslan, bahwa tak ada yang bombastis di percobaan pertama, Sir Rupert yang tidak neko-neko pun ikut membujuk Aslan bahwa dia akan senang hati memburu lebih banyak buaya lagi demi keberhasilan obatnya. Tapi tetap saja Aslan merasa bersalah.

"Bahkan gelandangan di ibu kota lebih tampan dari ayah." gumam Adam mengejek penampilan sang ayah yang berantakan. Bahkan di wajah lelaki itu sudah di tumbuh jenggot dan kumis tipis.

Aslan tak menggubris meski sedikit kesal di bandingkan dengan pengemis, matanya masih asik meneliti kalimat-kalimat di dalam buku siapa tau ada yang terlewat atau apa.

"Ayah .."

"Ayah aku bicara pada mu."

"Apa indra pendengaran ayah juga mulai rusak?"

"Ayah!" Adam berteriak karena sewot di abaikan. Biasanya kata-kata provokasi sangat mempan terhadap sang ayah, tapi sekarang telinga Duke Agung itu seperti sudah berubah menjadi telinga besi.

"Ayah aku mohon buka mulut mu!" Adam menjambak rambutnya frustasi mulai berceloteh seperti burung beo sembari mengelilingi sang ayah yang tentu saja masih asik membaca buku.

"Ayah, kakek bisa bangkit dari kubur jika ayah terus begini." Adam berjongkok, kemudian menangis seperti anak kecil/? Sudah lelah dengan kelakuan sang ayah  menjelma seperti batu.

"Ayah~" Adam terus menangis sembari berjongkok di hadapan Aslan, dia sudah tak tahu dengan cara apalagi dia membujuk Aslan. Dengan cara baik-baik sudah, di provokasi sudah, Adam lelah hingga rasanya ingin kembali ke dalam rahim mendiang sang ibu.

Semua orang berharap pada Adam untuk membujuk Aslan agar memikirkan kesehatannya juga, semua pasti bisa di pikirkan dengan baik-baik kalau kondisi mental dan fisiknya juga sama baiknya. Hanya Adam yang bisa membujuk sang Duke Agung.

Adam masih menangis tersedu-sedu sembari memanggil-manggil sang ayah, mirip Rubyanne tempo lalu. Hingga tubuhnya tiba-tiba terasa ringan, "maaf Adam, ayah memang egois." Ya, Aslan menggendong Adam seperti koala. Tubuh bocah itu sangat ringan bagi Aslan, sekali angkat tubuh Adam langsung berpindah ke gendongan Aslan.

A STORY OF WIALACHAUES [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang