Bagian 17

19.5K 3.6K 55
                                    

Esok paginya Aslan sudah bersiap-siap di ruang kerjanya, lelaki itu memutuskan untuk pergi ke ibu kota secepatnya agar tak semakin menunda pekerjaan yang ada.

Dia ingin meminta cuti untuk beberapa waktu setelah menuntaskan masalah barrier. Piknik keluarga bersama Adam dan Rubyanne adalah rencana yang dia pikirkan. Aslan ingin kembali mendapatkan hati Rubyanne, lelaki itu masih sayang kepala dan lehernya.

Hubungan keduanya yang merenggang, membuat kemungkinan terpenggalnya kepala Aslan semakin jelas. Itu menjadi momok yang paling di waspadai Aslan selama hubungan ayah-anak nya belum berjalan lebih baik.

Masih banyak hal yang perlu dia pikirkan, jalan cerita yang semakin melenceng, Adam yang lebih menerimanya dengan senang hati, Rubyanne yang semakin membentengi diri dari Aslan. Dan banyak hal lagi. Kepalanya bisa botak mendadak jika kegilaan ini terus berlangsung. Belum lagi Abraham. Aslan sampai lupa jika ia masih memiliki satu anak tersisa karena terlalu sibuk memikirkan kedua anak yang lain.

Entah bagaimana ceritanya nanti ketika ia bertemu tatap dengan Abraham. Putra tertua nya yang memiliki jarak paling jauh dengan Aslan. Dari segala hal, mereka selalu bertentangan. Tapi Aslan juga merasa penasaran, seperti apa reaksi Abraham ketika melihat ayah antagonisnya yang kini mencoba memantaskan diri menjadi protagonis? Aslan tak sabar menanti masa itu.

Di ruang kerjanya Aslan tak sendiri. Ada Duncan, Sir Rupert, 5 pilar ksatria Wialachaues, dan Adam yang masih terkantuk-kantuk di bangku kerja milik Aslan. Padahal Aslan tak memberitahu Adam bahwa ia akan pergi ke ibu kota. Seolah bocah itu punya insting yang kuat, dia datang tanpa diundang.

"Yang Mulia, pergi sendiri terlalu berbahaya. Setidaknya anda harus membawa satu peleton kesatria dan prajurit untuk mengawal anda." kata Sir Rupert yang di angguki Duncan.

"Aku tak pergi sendiri, ksatria Theo Silas dan ksatria Samuel Hudson akan ikut dengan ku. Aku tak ingin terlihat mencolok, kedatangan ku ke ibu kota harus di rahasiakan demi menghindari huru-hara di kalangan para bangsawan. Masalah barrier ini harus tetap di rahasiakan." Aslan berkata dengan wajah serius.

Mau bagaimana pun juga, dia memiliki banyak musuh yang bertebaran di segala penjuru kekaisaran Cruixegon. Para bangsawan akan senang jika tahu sang Duke Agung lalai dalam tugas. Bukannya membantu menutup kembali barrier yang rusak, mereka malah akan berlomba-lomba untuk menjatuhkan nama Grand Duke Aslan Percival Wialachaues.

Kemampuan saling menginjak satu sama lain milik para bangsawan memang tak bisa di pandang sebelah mata. Pedang yang tajam tak bisa di andalkan pada situasi ini, tapi lidah tak bertulang yang berkompetisi demi harga diri dan kekuasaan. Seperti itu sistem tatanan sosial yang berlaku di kalangan bangsawan.

Dimana berlaku kotor seperti memakan roti selai di setiap sarapan. Hal yang wajar dan lumrah di lakukan oleh para pengabdi kekuasaan.

"Tapi ayah, setidaknya biarkan Duncan ikut bersama mu." sahut Adam, walau matanya sayu karena masih mengantuk, tapi fokusnya tak terbelah sama sekali.

"Tidak, jika seorang pemimpin pergi, maka si wakil yang akan menggantikannya. Duncan adalah wakil ku, dia akan menjaga mension dan wilayah Wialachaues selama aku pergi. Aku tak bisa membiarkan anak nakal seperti mu berkeliaran dengan bebas. Satu barrier sihir sudah rusak, aku tak mau kau pergi merusuh ke negeri orang." ujar Aslan yang menatap garang anaknya, mewanti-wanti agar Adam tak melakukan hal gila lainnya selama sang ayah pergi.

Adam meringis, "ayah seperti peramal saja."

Aslan mendengus, tak berniat menanggapi perkataan putranya, "Sir Rupert harus terus berada di wilayah perbatasan dan memantau kondisi barrier. Kita tak tahu kapan barrier itu akan melemah." Aslan menjeda kalimatnya,

"Yang genting sekarang adalah situasi kadipaten. Di sanalah kita harus memusatkan perhatian dan kekuatan yang kita punya. AkuAslan sang Duke Agung, hanya akan benar-benar mati jika Wialachaues hancur karena kelalaian ku sendiri." Aslan berujar dengan mantap, manik biru keunguannya menatap tajam ke arah bawahannya yang menunduk patuh. Entah apa yang membuatnya menjadi sangat percaya diri. Rasanya Aslan seperti di kendalikan oleh seseorang yang mengontrol dirinya untuk melakukan hal-hal gila.

Sebelum pergi Aslan berniat untuk menengok Rubyanne di kamarnya, di kamar Aslan lebih tepat. Lelaki itu juga membawa Adam ikut serta. Untungnya Adam tak mengeluh sama sekali. Atau sebenarnya mengeluh tapi tak ia suarakan. Ayahnya sudah cukup frustasi, menambah beban orang tua tidak baik meski ingin.

Rubyanne masih terlelap di kasur berukuran besar milik Aslan, tubuh mungilnya tampak seperti semut di sebuah padang pasir. Aslan membetulkan selimut Rubyanne dengan lembut, kemudian mengelus surai platinum Rubyanne sayang. "Bahkan saat tertidur pun kau bisa membuat hati orang tua ini berdebar-debar."

Faktanya memang begitu, rasa aneh ketika melihat Rubyanne terlelap membuat detak jantungnya menggila, seperti Aslan bertemu dengan seseorang yang sangat ia rindukan. Rasa yang membuatnya frustasi menjadi-jadi. Bingung dan aneh.

Adam meringis geli, "terdengar seperti pedofilia."

Aslan berdecak sebal, "hei, aku ini ayahnya!" Walau tak salah sih, mengingat dia bukan ayah yang asli, Aslan merasa dirinya mengalami kelainan seksual.

Adam tertawa, candaan spontannya benar-benar membuat sang ayah tersulut, "bercanda, lagipula ayah selalu berlebihan."

Aslan merangkul bahu putranya, "nak, kau akan mengerti apa arti berlebihan ketika bertemu dengan seseorang yang mampu membalikkan hati mu. Kau hanya belum mengerti arti seseorang bagi hidup dan mati mu."

"Lagi-lagi ayah berkata begitu, seperti bukan ayah."

"Kau tahu apa pemicu dari perubahan ku yang begitu besar dan aneh ini?"

"Apa itu?"

"Kau, nak. Adik mu, dan kakak mu. Kalian yang membalikkan hati ku. Membuat ku ingin mengorbankan hidup dan mati ku hanya untuk melihat wajah-wajah itu tertawa bahagia." Deg! Jantung Aslan seakan di hantam dengan keras, kata-kata yang keluar tanpa kontrol dari otaknya.

Tujuan awal dia ingin memperbaiki hubungan yang ada adalah untuk bertahan hidup, mati untuk kedua kalinya bukan harapan yang dia inginkan setelah mendapat berkah hidup untuk yang kedua kalinya.

Dia juga tak mengerti apa arti kasih sayang yang sesungguhnya dari orang tua kepada anaknya— karena ia pun tak pernah merasakannya. Benarkah sebesar itu? Sampai rela menukar hidupnya demi kebahagiaan anak-anak tercintanya?

Ya, semua berjalan semakin di luar kendalinya, perasaan aneh setiap kali melihat Adam tertawa bersamanya, atau ketika Rubyanne menolaknya. Dia yakin untuk menjadi profesional dalam memerankan seorang Aslan Percival Wialachaues.

Tapi, seolah ada ikatan kuat yang memaksa Aslan menggunakan hatinya. Sesuatu yang membuat jiwanya gundah gulana tak keruan. Atau kah, Aslan yang asli masih menyisakan secuil dirinya?

Adam menggeleng, bocah itu terkekeh pelan, "ideologi mu naif, ayah."

Aslan tersenyum pahit, "ya, mungkin memang naif. Karena itu, aku ingin kau— yang cerdas ini, menjaga adik mu selama aku pergi. Lindungi dia seperti kau melindungi darah dan daging mu sendiri—secara harfiah— karena kau cerdas Adam, kau tak mungkin berlaku naif seperti ku."

Adam terdiam beberapa saat, apa ayahnya sedang memberi ujian? Ujian seperti apa? Atau hanya ingin menitipkan Rubyanne semata? Ayahnya semakin sulit di tebak seiring waktu.

Adam bangkit dari duduknya, kemudian berlutut di hadapan Aslan bak seorang ksatria. "Tentu ayah, kehormatan bagi ku sebagai seorang Wialachaues."

________


A STORY OF WIALACHAUES [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang