Bagian 13

21.3K 4.3K 142
                                    

Aslan menepuk-nepuk punggung Rubyanne yang bertengger di bahunya, lelaki itu meniru ibu-ibu di dunianya yang lama, menepuk punggung bayi ketika sehabis makan untuk sendawa. Tapi perlu kita ingat, Rubyanne bukan bayi.

"Aku tak ingin kejadian yang sama terulang lagi, Adam." Ujar Aslan sembari menatap sengit wajah putra keduanya.

"Ayolah, ayah. Itu bukan masalah yang besar, aku bahkan tak terluka sedikit pun. Aku perlu melawan musuh yang sedikit kuat untuk mempraktikkan sihir yang baru aku pelajari." Sergah Adam, bocah itu tampak santai dengan balutan piyama berwarna abu-abu. Bukan hanya Adam, Aslan pun tampak santai dengan piyama model kimono berwarna biru gelap, Rubyanne juga tak mau kalah, gadis mungil itu memakai piyama yang senada dengan Adam.

Mereka sedang menghabiskan waktu bersama di ruang bersantai di kamar pribadi milik Aslan. Mereka ingin Quality Time, bahkan untuk makan malam pun mereka lakukan di dalam kamar.

Tentu Aslan adalah otaknya.

Aslan mendengus, "tapi ini iblis! Setidaknya beri tahu ayah rencana mu, walau tak membantu aku bisa mengawasi mu."

Adam menggeleng, "aku cukup percaya diri dengan kemampuan ku, ayah."

"Nak, sekuat apapun diri mu, manusia selalu memiliki kelemahan. Aku ayah mu, kau bisa mengandalkan aku, Adam." Aslan berkata dengan wajah lembut, berharap Adam mengerti maksud yang Aslan ingin sampaikan.

Adam mengangkat kedua tangannya, menyerah, "oke, salah ku. Aku hanya belum terbiasa."

"Maka kau harus terbiasa mulai dari sekarang." Sahut Aslan, sedangkan Adam hanya mengangguk sembari bergumam tak jelas karena mulutnya penuh dengan puding yang ia kunyah.

Kemudian Aslan teringat sesuatu, "oh, benar juga, apa kau merasa baik-baik saja?" Tanya Aslan hati-hati.

Adam mengernyit bingung karena ayahnya terus bertanya hal yang sama, "untuk yang ke-8 kalinya, aku. Baik. Baik. Saja. Ayah."

Aslan mengibaskan tangannya, "ya, ya. Fisik mu memang baik-baik saja. Tapi bagaimana dengan perasaan mu? Kau baru saja memenggal kepala seseorang yang merawat mu seperti ibu, Adam."

"Dia hanya melakukan tugasnya sebagai pelayan pribadi ku, dan aku juga hanya melakukan tugas ku sebagai Wialachaues." Adam berujar dengan tenang, air wajahnya sama sekali tak berubah.

Aslan membisu, Adam tumbuh tak seperti anak-anak normal lainnya. Bocah itu tidak peka tentang perasaannya sendiri bahkan orang lain di sekitarnya. Hatinya bahkan mulai mengeras seperti batu.

Tentu Aslan harus bisa mencegah hal itu agar tak berkembang lebih parah. Dia tak mau anak-anaknya tumbuh menjadi Aslan, yang tiran, berdarah dingin dan berhati beku.

Dia hanya ingin anak-anak nya tumbuh normal, tertawa dan bermain tanpa memikirkan beban lain, menangis ketika merasa sakit dan terluka, Aslan benar-benar ingin melihat anaknya bisa terbebas dari pikiran bodoh yang membelenggu kebebasan mereka.

Aslan menepuk-nepuk pucuk kepala putranya, "setidaknya kau harus merasa iba. Di banding aku yang selalu mengacuhkan diri mu, dia adalah orang yang paling berjasa bagi tumbuh kembang mu."

"Tapi dia musuh ayah, tak ada ampun bagi musuh Wialachaues." Aslan menggeleng pelan, Adam mewarisi hampir seluruh sifat kaku miliknya, atau Aslan yang asli lebih tepat.

"Kau bisa memberikan hukuman yang lebih manusiawi, seperti menyuntik mati, atau memberinya racun. Kau tak harus memenggal kepalanya, apalagi menggantung kepala itu di depan gerbang utama mension," Aslan sedikit merinding memikirkan kepala iblis yang kini tergantung di depan rumah nya.

Aslan semakin tak habis pikir saja, bocah 10 tahun mana yang sanggup memenggal kepala seseorang?! Meski wujudnya sudah tak manusiawi, tapi bagi Aslan, itu masih terlalu mengerikan.

Daripada melihat langsung wilayah iblis di benua barat, Aslan sudah hidup di antara para manusia yang mirip jelmaan iblis.

Aslan berdehem kemudian melanjutkan kalimatnya, "setidaknya, kau bisa mengubur mayat musuh mu dan memberikan penghormatan terakhir. Dia bukan hanya iblis yang mengancam teritori Wialachaues. Dia Amy, pelayan yang merawat mu seperti anaknya sendiri.

"Sama seperti penjahat yang lain, meski mereka melakukan kejahatan yang tak termaafkan, tapi mereka masih memiliki hak sebagai manusia. Salah satunya mengubur mayat mereka dengan layak." Pungkas Aslan.

Adam terdiam, mencoba meresap nasihat sang ayah yang sedikit berbeda dari orang tua lainnya. Meski masih ingin mendebat, akhirnya Adam mengangguk patuh, tidak ada salahnya mencoba bukan? "Aku mengerti, ayah."

"Anak pintar." Aslan tersenyum bangga, dia tahu Adam memiliki hati yang baik. Dia hanya harus, menjaga kertas kosong itu dari tumpahan tinta yang akan merusaknya.

"Euu," sesi romantis mereka harus berhenti kala mendengar Rubyanne bersendawa cukup keras.

Aslan mengernyit kemudian mengangkat tubuh bayi-nya seperti boneka, "astaga, lihatlah siapa yang bersendawa." Lelaki itu tertawa gemas melihat tingkah laku Rubyanne yang malu-malu. Pipi gadis itu bahkan memerah seperti stoberi.

"Kenapa pipinya memerah? Apa ada yang rusak dengan tubuhnya?" Tanya Adam polos sembari menunjuk wajah lugu Rubyanne.

"Itu karena dia tersipu. Wanita memang begitu kalau salah tingkah. Bukankah adik mu sangat menggemaskan?" Aslan mendekap tubuh ringkih Rubyanne dalam pelukannya. Lelaki itu mendekap Ruby seperti memeluk boneka Taddy bear.

Adam menatap aneh perilaku ayahnya yang mirip pedofil. "Wanita mana pun selalu menggemaskan di mata mu, ayah."

Aslan mendadak tuli, pura-pura tak mendengar celoteh putranya.

Setelah puas memeluk Ruby, Aslan mendudukkan tubuh Rubyanne di pangkuannya, kemudian menatap Adam dengan mata menyipit, "kau .. juga akting, 'kan, saat mengatakan kau benci adik mu?"

Aslan jelas masih was-was, semuanya tak akan berjalan mulus jika para Wialachaues masih membenci satu sama lain.

Adam mengedikkan bahunya acuh, "entahlah, aku mengakui seseorang dari kemampuannya."

Aslan meringis, "astaga, gunakan bahasa normal yang dipakai anak berusia 10 tahun."

Adam tertawa, entah mengapa mengobrol bersama sang ayah menjadi sangat menyenangkan, "dia adik ku ayah, kami memiliki satu darah yang sama, Wialachaues." Adam mengulang kalimat Aslan ketika sarapan tempo lalu. Aslan sampai gemas hingga mengacak-acak rambut Adam. Kalimat Adam seperti angin surga baginya.

"Aku ingin kalian melindungi dan saling menyayangi satu sama lain. Kita keluarga, bukan hanya terikat darah, tapi perasaan yang kuat membuat kita kokoh hingga akhir." Aslan tersenyum manis, hatinya merasa lega sekaligus senang. Padahal beberapa waktu lalu, otaknya sudah hampir menciut menjadi atom, namun sekarang, dia seperti mendapat hadiah dari surga.

Ini memang baru awal dari sebuah kisah yang pelik, Aslan tahu, jalan di depan sana akan semakin terjal berbatu. Tapi untuk saat ini, Aslan sudah berhasil satu langkah lebih maju daripada sang takdir.

Sudut bibir Adam terangkat malu-malu, bocah itu seperti menemukan titik terang dari hidupnya. Mungkin, gilirannya untuk bahagia sudah tiba ..

Mempercayai seseorang yang telah melukai mu dengan hebat memang tidak pernah mudah, tapi kita hanya perlu memberi mereka peluang untuk berubah.
(Adam P. Wialachaues 2021)

[A/n : selamat malam minggu, selir-selir Aslan!]

A STORY OF WIALACHAUES [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang