60 END

28.4K 3.8K 491
                                    

Aslan tengah duduk bersantai, menikmati semilir angin sepoi-sepoi di temani segelas es jeruk. Lelaki itu terlihat segar, menggunakan pakaian kasual dan kaca mata hitam. Entah untuk bergaya atau hanya sekedar ingin melindungi matanya dari paparan sinar UV.

Oh, jangan lupakan Rubyanne yang juga duduk manis di pangkuan ayahnya, bocah berumur lima tahun itu bersandar di dada sang ayah. Sama seperti Aslan, bocah itu juga menggunakan kaca mata hitam senada sembari menyeruput susu strawberry dingin.

Burung-burung yang berkicau juga menambah kesyahduan Aslan dan Rubyanne dalam bersantai. Benar-benar waktu emas, segala sesuatu yang terjadi beberapa waktu yang lalu seperti tak pernah terjadi sebelumnya. Entah kapan terakhir kali Aslan menikmati hidupnya, tapi yang jelas, kali ini dia sangat menikmatinya.

Apalagi sembari melihat tontonan di depan sana ..

"Ayah! Aku haus!" teriak Adam di atas balkon kamar sang ayah.

Aslan yang melihat itu berujar santai, "urusi saja dulu perkejaan mu."

"Tapi aku 'kan masih kecil!" Adam memelas, bahkan ekspresi wajahnya sudah seperti kebelet kencing.

Aslan sebetulnya tak tega membiarkan bocah itu jadi kuli bangunan, tapi yang namanya hukuman tetap hukuman.

Ya, Aslan menghukum Adam, Abraham, Alexander, dan para ajudan yang kemarin mengurung Aslan untuk kuli membetulkan kamar Aslan yang sudah hancur karena burung bangau iblis.

Aslan berpikir ini hukuman yang paling pas bagi mereka.

"Banyak bocah seumuran mu yang menjadi kuli dan budak di luar sana!" sahut Aslan.

Adam berdecak, masih ingin merengek, tapi pamannya—Alexander— buru-buru menarik kerah kemeja bocah lelaki itu, "aduh-aduh, jangan manja. Ayo cepat, giliran mu sekarang mengaduk pasir dan semen."

Adam bergeliat, mencoba melepaskan diri dari pamannya, "tidak! Aku masih di bawah umur!"

Semakin Adam bergeliat, semakin senang juga Alexander menggoda keponakannya. "Jangan begitu, kau juga kemarin ikut-ikutan. Sebagai keluarga, kita ini harus menjunjung rasa solidaritas yang tinggi."

Adam semakin beringas, "aku anak bawang! Seharusnya aku juga duduk bersantai seperti Rubyanne!"

"Rubyanne 'kan juga ikut di kurung, jadi dia pengecualian."

Adam semakin ketar-ketir, bocah yang lebih suka mendekam di kamar seharian itu sangat anti berhubungan langsung dengan matahari. "A-aduh! Perut ku sakit! Aku lupa belum sarapan!" Katanya pura-pura kesakitan memegangi perut.

"Kau makan roti paling banyak tadi pagi." sahut Abraham yang ikut menimbrung, remaja itu tengah memindahkan beberapa tumpukan bata untuk di pakai Duncan dan Samuel membangun dinding yang baru.

Adam menggerutu, tapi karena ingin di tolong, Adam harus menurunkan gengsinya sedikit, "kakak, aku mohon~" Seumur hidupnya Adam bicara dengan nada memelas, jurus andalan puppy eyes pun ia keluarkan.

Abraham melirik hanya sekilas, lalu mengedikkan bahunya acuh, "bukan urusan ku."

Wajah Adam merah padam, antara kesal dan malu bercampur aduk, "kakak sialan!! GRAHH!!" Adam mengamuk seperti banteng, hingga berhasil terlepas dari cengkraman Alexander. Bocah itu kemudian berlari mengejar Abraham, benar-benar ingin memukul kepala kakaknya sekali saja.

Abraham yang tidak mau di pukul berlari menjauh, sama sekali tak merasa kesulitan meski di kedua tangannya menumpuk 6 buah batu bata.

"Hei, anak nakal! Jangan berlari!" Alexander pun ikut berlari, mencoba melerai Adam dan Abraham.

A STORY OF WIALACHAUES [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang