Bagian 20

18.4K 3.4K 78
                                    

Asap mengepul dari dalam hutan Grovewoods, bau harum daging di bakar juga menguar nikmat memasuki indra penciuman setiap orang di dalam sana. Aslan terdiam sembari mengelus bilah pedangnya dengan sapu tangan sutra bersulam emas, lelaki itu duduk di akar pohon oak di depan api unggun, menikmati semilir angin sore sembari menunggu daging kelinci buruan Theo Silas matang.

"SYUKURLAH KAU BAIK-BAIK SAJA MORIS!" Teriak si ketua bandit, menatap sedih keponakannya yang tadi mati bersimbah darah sekarang sudah baik-baik saja, di gantung terbalik di dahan pohon— sama seperti dirinya.

Si Moris menangis tersedu-sedu, bersyukur kini daging perutnya masih tertutup dengan baik, tak tergores apapun. Jantungnya juga masih berdetak dengan normal, layaknya tak pernah mati sebelumnya, "Aku .. aku masih hidup paman!! Huhuhu."

Aslan mendengus, "aduh, berani membunuh orang tapi takut kehilangan, orang bodoh." Gulp, Aslan menelan ludahnya keceplosan, Aslan—dirinya yang sekarang juga, 'kan, begitu.

Aslan gelagapan, "se-setidaknya jaga harga diri mu, menangis seperti bayi padahal sebelumnya bengis. Dasar payah." Walau sebenernya dia pun akan begitu, masa bodoh jika dia harus menjual harga dirinya, jika seseorang yang dia sayangi bisa hidup kembali, dia akan menukarkannya dengan senang hati.

"KAU! APA YANG SEBENARNYA KAU LAKUKAN?!" Teriak si ketua bandit, tubuhnya yang tergantung di atas pohon bergeliat seperti ulat kepompong.

Aslan mengorek telinga nya karena risih, "ya ampun, orang bodoh juga tahu kalau aku menggunakan sihir ilusi."

"BUKAN ITU!" Seru si ketua bandit, "maksud ku, mengapa kau .. tak membunuh kami?"

"Kenapa ya? Hmm~ karena aku butuh hiburan? Yah .. sejujurnya aku sedikit bosan, bermain dengan banyak wanita tak bisa membuat ku berpuas diri." Sahut Aslan dengan nada suara main-main.

Theo Silas yang sedang membalik daging kelinci tersedak asap karena mendengar ucapan Aslan, tuannya ini sudah berubah belum sih? Bukannya semua selir sudah di binasakan kemarin lusa?

Gigi ketua bandit bergemelutuk karena kesal, sudah beberapa kali dia di permainkan oleh si bangsawan sombong ini! "Kami lebih suka di binasakan daripada harus menjadi badut penghibur mu!"

Aslan tertawa sarkastik, "wah, benar-benar ya, hidup mu sudah berada di genggaman pedang-ku pun kau masih bisa berkata sombong." Aslan menatap wajah Moris—keponakan ketua bandit— dengan lekat. Membuat yang di tatap gelagapan dengan wajah memucat, "keponakan mu sepertinya tidak sependapat, tuh. Masih terbayang ya rasa sakitnya?"

Dan apa yang dikatakan Aslan memang benar adanya, meski hanya sihir ilusi, rasa sakit saat pedang perak Aslan merobek kulit dan daging perutnya benar-benar nyata, rasa sakit yang bisa membuat tubuhnya menggeliat kesetanan.

Si ketua bandit menatap keponakannya prihatin, memang benar, Moris masih trauma, begitu juga dengan bawahannya—yang juga terkena sihir ilusi Aslan— tak henti-hentinya mengucap syukur dengan tatapan mata kosong, jiwanya benar-benar terguncang.

Aslan tersenyum miring, "pemimpin yang egois."

Ucapan Aslan menohok si ketua bandit, entah mengapa perkataan itu menjadi tajam bagi hati nuraninya.

Si ketua bandit terkekeh lemah, "t- tolong," ketua bandit berucap lemas, "tolong, lepaskan kami, kami akan melakukan apapun asal jangan bunuh kami."

Aslan mengernyit tajam, secepat ini? Begitupun dengan Samuel dan Theo, bukannya tadi dia sangat menggebu-gebu dengan harga diri tinggi? Mengapa sekarang ..

"Bukankah itu yang kau inginkan? Mempermainkan orang dengan seenak hati, kau bahkan tak lebih buruk dari kami— tidak, kau tak lebih buruk dari ku."

Oh, Aslan paham kemana ini akan berlanjut, "ya, memang, kita ini memang orang kotor. Kau tak terima ketika aku hampir membunuh keponakan mu, tapi .. hei, berapa banyak keponakan dari paman lain yang sudah kau bunuh dengan pedang mu sendiri?"

"Belum lagi, kau merampas harta bendanya, menculik para wanita untuk memuaskan nafsu bejad mu seenak jidat. Ah, aku bersyukur sangat tampan karena para wanita sendiri yang datang kepada ku untuk aku tiduri." Aslan menahan tawanya, lidahnya ini benar-benar suka mengejek orang.

Ketua bandit terdiam, mencerna semua maksud terselebung dari perkataan Aslan yang seluruhnya mengandung ejekan.

"Aku tak berniat mempermainkan hidup siapa pun, aku hanya ingin kau mengerti, betapa berharganya nyawa seseorang. Dan .. betapa sakitnya rasa di tinggalkan oleh orang-orang tercinta." Aslan menatap telapak tangannya, membayangkan tubuh ringkih Rubyanne dengan segala luka yang terpatri di tubuhnya, juga wajah ceria Adam ketika Aslan menemaninya belajar di malam hari.

Semua itu, yang membuat hatinya menghangat hingga ke tulang, perasaan aneh, rasa takut kehilangan yang berlebihan, semuanya, Aslan ingin si ketua bandit lebih menghargai setiap nyawa. Meski hanya seorang pengemis, atau bahkan bangsawan yang korup, semuanya sama, nyawa mereka amat berharga.

Atmosfir di tempat itu mendadak mendung, Theo Silas yang biasanya akan mencela malah terdiam dengan hati yang sakit, ikut merasakan kenyerian yang Aslan tularkan melalui udara.

Aslan menutup telapak tangannya, "maaf ya kalau terlalu berlebihan, aku .. lupa diri saat itu."

Ya memang, Aslan bahkan tak terlalu mengingat dengan jelas apa yang dia lakukan, sadar-sadar para bandit sudah tergantung di dahan pohon dengan kepala terbalik. Untungnya dia cepat tanggap untuk membaca situasi dan kondisi yang ada.

Entah ia terkena sihir atau apa, tapi di saat-saat tertentu, Aslan mulai kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Mungkinkah ini gejala bahwa jiwanya akan kembali ke dunia yang lama? Bahkan Aslan tak bisa berhenti memikirkan itu.

"Lalu, apa yang kau inginkan dari kami?" Tanya si ketua bandit, wajahnya yang mengeras sudah melunak, nada bicaranya pun sudah sedikit lebih bersahabat.

Aslan menoleh, "oh, sebelum itu, darimana kalian berasal?"

Si ketua bandit tercekat, begitu pula dengan Moris, mereka saling tatap, hingga akhirnya mengangguk lemah, "kami .. penduduk asli suku Corhollow yang tinggal di dekat kaki gunung Greenpine. Tapi itu hanya cerita lama, 5 tahun yang lalu, kami di usir dari tanah kelahiran kami sendiri oleh seorang bangsawan lalim.

"Gunung Greenpine dikenal karena batu hijaunya yang bisa menyembuhkan segala penyakit maupun sihir kutukan yang menempel pada seseorang. Tak ada yang tahu fakta itu selain kami, orang-orang dari suku Corhollow, hingga suatu hari pasukan bangsawan itu membinasakan hampir separuh kerabat kami." Mata si ketua bandit berkilat sedih, memori bagaimana tanah kelahirannya hancur membuat hatinya merasa tercabik-cabik.

"Separuh yang tersisa menjadi pekerja paksa di tambang batu, yang tak di beri upah, hanya makan jika pingsan, dan istirahat jika hampir mati. Para wanita, di perkosa dan di jadikan mainan pemuas nafsu, jeritan mereka selalu terdengar di setiap malam, menyakiti hati dan telinga ku dengan sadis. Tapi tak ada yang bisa aku lakukan selain bersumpah untuk membalaskan rasa sakit ini!! Kami benar-benar sengsara, siksaan demi siksaan mencambuk tubuh dan jiwa kami. Hingga akhirnya aku, dan beberapa kerabat ku berhasil melarikan diri dari bangsawan durjana itu. Dan sekarang, beginilah cara kami untuk bertahan hidup." Tukas ketua bandit mengakhiri dongengnya.

Aslan terdiam dengan alis mengkerut, dia tidak menyangka seburuk itu masa lalu yang di alami para bandit. Memang, dalam menilai sesuatu, tak bisa hanya melihat dari satu sisi. Keputusan Aslan kali ini sangat bijak dengan mendengarkan cerita mereka terlebih dahulu sebelum memberi hukuman yang setimpal. "Aku turut berduka, kau dan kerabat mu telah melalui banyak hal yang sulit. Mungkin, ini sedikit tidak nyaman, tapi siapa bangsawan sialan yang kau maksud?"

Si ketua bandit menatap mata Aslan dengan tatapan merahnya yang menahan tangis, "Duke Anthony Hezekiah Peregrine. Aku bersumpah, akan memotong tangan dan lidah orang itu dengan pedang ku sendiri."

A STORY OF WIALACHAUES [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang