T U J U H

26.6K 4.9K 61
                                    


Aslan bisa bernapas lega ketika mengetahui anaknya tidak kabur dan masih terdiam di tempatnya. Ruby yang menjadi pusat perhatian pun diam tak berkutik, gadis itu hanya melirik takut-takut ke arah orang-orang dewasa yang menatapnya takjub.

Takjub karena masih ada anak berumur 5 tahun yang ukuran tubuhnya seperti anak berusia 3 tahun. Sangat kecil dengan rambut platinum yang menjuntai hingga lutut.

Gadis mungil itu semakin mempesona dengan gaun santai berwarna pink pastel dan bandana rajut berbentuk pita dengan warna senada.

Hati Aslan selalu saja meleleh ketika melihat wajah lugu dan bola mata bulat milik putri bungsunya.

Aslan yang gemas melihat Ruby berkedip-kedip kebingungan lantas menggendong Rubyanne dan mendudukkannya di pangkuan, "astaga, nak. Jangan membuat orang tua ini ketakutan."

Ruby hanya diam, sedangkan Adam menatap ayahnya dengan wajah yang tak bisa di ilustrasikan lewat kata-kata, terlalu sulit di baca.

"Bukankah dia anak dari Nyonya Ranessa Elmire?" tanya Adam.

"Ya, dia adik mu."

Adam terdiam beberapa saat, kemudian bertepuk tangan dengan heboh, "wah, aku tak menyangka ayah benar-benar membawanya. Ayah sudah membuat 2 kejutan untuk ku,

"Yang pertama, para selir tak hadir di meja makan, aku sungguh terkejut karena biasanya ayah tak bisa lepas dari para wanita penghibur. Dan sekarang .. ayah membawa serta anak itu, mengakuinya bahkan menghukum Lady kesayangan mu karena sudah melecehkan putri mu?"

Aslan menghela napasnya, merasa maklum karena perubahan Aslan terlalu mendadak dan luar biasa berbeda jauh dengan Aslan yang dulu, "aku meminta Duncan untuk menyiapkan sarapan khusus untuk kita. Hanya kita, sebagai keluarga, tanpa ada orang lain yang menganggu.

"Kini segala sesuatu nya sudah berbeda, Adam. Aku ingin menebus kesalahan ku yang lalu, aku ingin menjadi orang tua yang bisa di andalkan oleh anak-anak ku. Aku tak ingin menelantarkan kalian lagi."

Adam terdiam, menatap manik ayah nya secara langsung, mencoba membaca kebenaran dari dalam sana. Dan tak ada keraguan bahkan kebohongan yang terlihat dari mata biru itu.

"Terserah pada mu .."

Aslan tersenyum kemudian mengelus pucuk kepala Adam, ia tahu ini memang tidak mudah, tapi Aslan bukan sosok yang akan berbalik meski jalan yang akan di laluinya terjal berbatu. "Kau bisa mempercayai ku Adam."

Adam hanya mengangguk, sedangkan Aslan semakin tersenyum puas, lelaki itu bahkan dengan semangat memotong-motong steak sapi untuk kedua anaknya. Duke Agung itu bahkan tak segan-segan untuk menyuapi kedua anaknya.

Ruby senang tentu saja, dan menganggap hal itu hal yang mungkin biasa dilakukan bagi orang tua terhadap anaknya. Namun berbeda dengan Ruby, Adam merasa tak nyaman dan geli terhadap tingkah laku ayah nya. Walau begitu, anak berumur 10 tahun itu tak mengeluh atau menolak suapan Aslan. Setiap steak sapi itu masuk ke mulutnya, hatinya penuh dan menghangat, itu yang ia sukai.

"Nah Adam, apa jadwal mu hari ini?" Tanya Aslan sembari menyuap satu potong buah persik ke dalam mulutnya.

Adam yang sudah menghabiskan sepotong besar steak sapi mengelus sudut bibirnya menggunakan serbet kemudian membalas, "padat, belajar etiket, sastra, fisika, matematika, sejarah, menunggang kuda, berlatih pedang, kemudian berlatih sihir, dan-" kalimat Adam terpotong karena Aslan buru-buru mengangkat tangannya.

"Serius? Kau belajar semua itu?"

"Tentu saja, semua anak-anak bangsawan memiliki jadwal belajar yang padat. Bukankah dulu ayah juga begitu?"

Aslan hanya mengangguk ia masih tak terbiasa dengan sistem pendidikan para anak-anak bangsawan.

Ya, Aslan juga memakai sistem pendidikan mengekang seperti itu di dalam novel nya. Tapi itu hanya untuk kebutuhan penokohan dari sudut pandang Adam yang menghabiskan seluruh masa mudanya untuk belajar. Mana ia tahu, rupanya para bangsawan muda melakukan hal yang sama.

"Sekarang sebaiknya kau kurangi jadwal mu. Kau masih 10 tahun, ingat? Anak-anak seusia mu harusnya bermain petak umpet di pekarangan belakang sana. Ada waktunya ketika kau harus belajar dengan giat demi tujuan mu kelak di masa depan. Tapi itu bukan sekarang, kau harus habiskan masa muda mu untuk tersenyum dan bermain sepuasnya."

"Bukankah ayah sendiri yang bilang bahwa bermain-main hanya untuk orang yang kalah?"

"Nak, kekalahan bukan akhir dari segalanya. Aku tak mendukung mu untuk kalah, sebaliknya, aku percaya bahwa anak ku tak mungkin kalah."

"Aku tak bisa berkata-kata lagi sekarang." Adam memegang dadanya, rasa hangat itu kian terasa di hatinya.

"Kalau begitu, kurangi jadwal mu hingga setengahnya, setelah itu kau bisa bermain dengan adik mu. Aku tak bisa menemani kalian berdua karena pekerjaan ku menumpuk. Ruby masih belum terbiasa, jadi aku mohon jaga dia dan buat dia merasa nyaman."

Adam menengok ke arah Ruby, sedangkan Ruby bersembunyi di dada sang ayah, masih malu dan takut terhadap orang-orang seperti Adam.

"Dia ini benar-benar adikku, ayah?" Tanya Adam tanpa mengalihkan pandangannya pada Rubyanne.

"Tentu saja, bukankah kalian begitu mirip?" Jawab Aslan cepat.

"Dia bukan adik kandung ku!" Ujar Adam dengan nada dingin penuh penolakan.

UPS! Maaf cerita dihapus demi kepentingan penerbitan!

A STORY OF WIALACHAUES [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang