E N A M

27.7K 5.3K 312
                                    


Matahari sudah menyembul di ufuk timur, artinya malam sudah berganti menjadi pagi.

Aslan menggeliat manja ketika cahaya lembut matahari masuk ke penglihatannya. Lelaki itu membuka matanya, sedikit malas karena ia masih mengantuk.

Kebiasaannya yang selalu bangun tidur saat matahari baru menyembul terbawa ke dunia dalam novel. Padahal jelas, Aslan yang dulu selalu terbangun di saat matahari sudah meninggi berkat olahraga malam rutinan yang di lakukannya hingga fajar sadik bersama para selir.

Duda beranak tiga itu kemudian duduk dan mengucek matanya pelan. Itu sedikit bengkak sebab ia menangis semalaman, menangisi kucingnya yang tertinggal di dunia yang lama. Aslan masih belum merelakan bahwa dirinya telah mati dan berpindah jiwa.

Sebenarnya tidak mudah bagi Aslan untuk beradaptasi, meski ia seorang lelaki tulen di kehidupan yang lalu, ia masih memiliki ketakutan yang tak mudah dihilangkan dalam sekejap mata.

Bukan hanya tubuh seorang tiran yang kini ia tempati, bayang-bayang kematian di tangan putrinya masih menjadi mimpi buruk yang begitu kelam. Apalagi Aslan memiliki banyak musuh dan dibenci anak-anak nya. Itu tidak baik sama sekali bahkan ketika dia bisa bercinta setiap malam dengan wanita yang berbeda.

"Uh astaga, aku terlalu banyak menangis hingga ketiduran." Aslan memukul-mukul pundaknya yang terasa pegal. Kemudian ia bangkit dan mulai merenggangkan otot-otot nya yang kaku setelah tidur.

Tapi ..

"Dimana Ruby?" Aslan panik ketika melihat kasurnya kosong, ia masih mengingat jelas ketika sebelum tertidur, Aslan menangis sembari memeluk Ruby. Namun sekarang bocah berambut platinum itu menghilang entah kemana.

"Ruby?!" Aslan mulai berteriak panik, ia mencari-cari bocah mungil itu di balik selimut dan kolong dipan. Takut jika gadis mungilnya terselip di antara bantal-bantal.

Aslan baru akan memanggil seluruh isi mension ketika ia mendengar suara gemericik air di dalam kamar mandi. Buru-buru pria itu menghampiri asal suara, mengabaikan seisi kamar yang sudah ia buat berantakan.

Aslan menempelkan telinganya pada daun pintu, kemudian mengetuk dengan pelan, "Ruby? Kau ada di dalam sana, nak?"

Aslan mencoba bicara dengan nada sehalus dan selembut mungkin. Tapi tetap saja, ada suara 'gedebuk' setelahnya.

Aslan meringis dalam hati, wajah tampan tak membantu sama sekali. Lelaki itu membuka pintu dengan keras, takut jika Ruby jatuh menghantam lantai.

Namun Ruby terlihat baik-baik saja, hanya seluruh tubuhnya yang basah kuyup karena tercebur ke dalam bak mandi. Bak mandi itupun di penuhi oleh baju kotor Aslan yang sebelumnya berada dalam keranjang.

Lelaki berumur 35 tahun itu bisa bernapas lega ketika tahu anak gadisnya baik-baik saja. "Apa yang sedang kau lakukan?" Aslan mengangkat tubuh Ruby yang sudah seluruhnya basah kuyup.

Tubuh gadis mungil itu bergetar, entah karena kedinginan atau takut terhadap Aslan. Ruby juga tak berani menatap Aslan secara langsung, kepalanya terus menunduk, melihat ke arah baju-baju Aslan yang terendam air sabun mandi.

Aslan mengangguk, bisa menebak isi otak gadis mungilnya, "kita sudah tidur bersama bukan berarti kau budak ku. Tak perlu khawatir aku akan menghukum atau mengusir mu ketika kau tak mencuci baju ku atau membersihkan ranjang ku," Aslan menjeda kalimatnya sembari menurunkan tubuh Ruby.

"Kau bisa bertanggung jawab dengan cara menjadi anak yang baik, manis, imut dan sopan. Tapi karena kau sudah memiliki semuanya, panggil aku papa saja sebagai kompensasi." Lelaki itu merapihkan rambut platinum Ruby yang berantakan dengan telaten, seolah ia sedang memilin benang emas yang teramat berharga.

"Kau harus bertanggung jawab karena sudah membuat pikiran ku penuh dengan mu. Bahkan aku harus memeluk mu ketika tidur karena aku takut kehilanganmu." Itu bukan omong kosong, faktanya Aslan sempat berpikir untuk bunuh diri saja dan pergi ke alam baka dari pada harus mengulang kehidupan menjadi orang lain. Tapi sekali lagi, hati nurani nya terenyuh ketika melihat wajah polos Ruby ketika tidur, hatinya bisa tentram ketika ia memeluk gadis mungil itu.

Aslan menggenggam kedua tangan Ruby, "sekarang begini, aku sudah tidak bisa mengabaikan mu. Jadi, mari kita mulai semuanya dari awal. Perbuatan ku yang lalu memang tak termaafkan, tapi untuk selanjutnya, kau bisa percaya dan mengandalkan ku. Aku ayah mu Ruby, sekarang tak perlu menunduk ketika bertemu dengan ku, karena aku tidak akan berpaling. Jangan sungkan untuk menggandeng tangan ku, karena aku takkan melepaskannya. Kau bisa memanggil ku ayah sebanyak yang kau mau, karena aku sungguh menyukainya."

Aslan tersenyum, senyum terbaik yang pernah ia lukis di wajah nya yang tampan, "bisakah kau mempercayai ku?"

Pipi tembam Ruby memerah, gadis itu memang tak terlalu mengerti apa yang coba Aslan katakan karena kalimat nya terlalu panjang. Tapi ia merasa hangat ketika Aslan menatap matanya, mengelus rambutnya, semuanya. Ruby merasa  perutnya diisi banyak kupu-kupu ketika Aslan mengajaknya bicara.

Hati gadis mungil itu menghangat hingga menjalar ke pipi. Perlahan tapi pasti, Ruby mulai menatap wajah ayahnya secara langsung, dan membalas senyuman sang ayah lebih indah.

••••

Aslan menggendong Ruby ketika mereka berjalan menuju ruang makan, pemandangan yang aneh sekaligus menghangatkan hati dan suasana manor yang selalu suram seperti kuburan kuno.

Sungguh, itu benar-benar pemandangan yang akan membuat seisi kekaisaran gempar jika mengetahui bahwa seorang Duke Agung yang dikenal tiran, tak berhati, dingin, dan macam iblis itu menggendong anaknya dengan tatapan penuh kasih.

Beberapa pelayan mulai bergunjing ketika Aslan dan Ruby melewati mereka. Ada yang sangat terharu dan bahagia, ada yang merasa gemetaran karena dulu tak berlaku baik pada Rubyanne.

Apalagi berita tentang Lady Marilyn Hermessent yang di kurung di dalam gudang karena melecehkan Rubyanne. Jika Lady kesayangan sang Duke saja di hukum tanpa pertimbangan, apalagi para pelayan yang tak memiliki wewenang apapun.

Duke Agung itu terus membuat rumor dengan perilaku baru nya yang manis dan hangat, seperti roti isi coklat yang baru selesai di panggang.

Sampai di ruang makan, Adam sudah duduk manis di sana dengan koran harian yang tengah ia baca, tak lupa sembari menyeruput coklat panas kesukaannya. Hanya ada Adam, Arduino, dan beberapa pelayan, tak ada wanita seksi yang menggeliat manja mengotori mata suci Aslan.

Perut Aslan tergelitik melihat kelakuan sok dewasa putra nya, "apa yang kau baca, Adam?"

Adam menengok sekilas, "oh, skandal Count Ermel dengan putri bungsu dari kerajaan Prexetia yang kini sedang memanas karena sang putri di kabarkan hamil."

Jawaban polos Adam membuat dahi Aslan mengkerut, " ... aku rasa itu bukan bacaan bocah berumur 10 tahun."

"Kenapa? Lagi pula semua orang membacanya, informasi seperti ini di perlukan untuk memantau situasi para aristokrat di kekaisaran."

Aslan yang sudah duduk di tempatnya mengaga, anak lelaki 10 tahun di depannya ini bukan bocah sembarangan! Kalau bukan monster, dia pasti iblis.

Reflek Aslan mengulurkan punggung tangannya untuk menyentuh dahi Adam, "nak, apa perlu aku memanggil psikiater?"

Adam mendelik, "apa itu psikiater?! Kalau anda mengira saya sakit, maka saya sangat baik-baik saja, ayah."

Aslan mengangguk, mungkin ia yang terlalu bodoh di sini.

"Kalau begitu, singkirkan koran itu dan makan hingga kenyang. Ruby kau—" Kalimat Aslan terpotong karena tak melihat keberadaan Ruby, jelas ia mendudukkan nya di kursi yang saling berhadapan dengan Adam. Namun kini gadis mungil itu menghilang.

Adam mengernyit, "ada apa ayah?"

"Dimana adik mu?"

"Adik apa?"

"Yang tadi menempel di bahu ku." Aslan mulai panik, meski begitu ia tetap menelan kentang tumbuk yang di sajikan di atas meja.

"Mohon ampun Yang Mulia, Nona muda masih ada di tempatnya." Aslan menatap Arduino, kemudian menengok pada bangku milik Ruby. Rupanya memang benar, anak itu ada di sana, tenggelam dalam meja dan kursi yang menelannya.

A/n : setelah ini update mungkin tidak akan beraturan. Mungkin sesuai antusiasme pembaca?

A STORY OF WIALACHAUES [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang