BAB 22 : RASA YANG SAMA

99 22 5
                                    

“Aku harus ke sana!”

“Jangan nekat, tetap di sini!!”

“Tapi—” ucapan Emma terputus saat tatapannya mengarah ke depan, netranya bersirobok dengan netra hijau milik Mahito.

Draken yang bingung mengapa Mahito tiba-tiba berhenti, segera mengikuti arah pandang Mahito.

Betapa terkejutnya ia ketika melihat Emma, begitu pula dengan beberapa petinggi Touman yang ikut ke markas Moebius.

“EMMA?!” ujar Mahito, dengan ekspresi yang sulit diartikan. Di wajahnya juga terdapat raut kebahagiaan saat tahu bahwa wanita yang disukainya muncul tepat di hadapannya.

Mahito segera menghampiri Emma dan memeluknya, menumpahkan segala perasaannya lewat tangisan.

Seperti yang dilakukannya dulu saat masih kecil.

Emma segera menepisnya, baginya saat ini Mahito sudah bukan orang yang sama seperti waktu mereka masih kecil.

“A-ada apa? Aku merindukanmu, kamu ke mana aja? Kamu baik-baik aja 'kan?”

Berbagai pertanyaan datang bertubi-tubi melalui bibirnya.

Dirinya terlalu bahagia saat melihat yang terkasih muncul di hadapannya, tidak peduli bagaimana tanggapan dari anggota gengnya nanti.

Baginya, saat ini ia ingin mereka tahu betapa dirinya sangat mencintai gadisnya dan merindukan gadis pujaannya itu.

Emma menatap wajah Mahito sekilas sebelum berlari ke arah Draken, tatapan yang Mahito sendiri tidak tahu apa maksudnya.

“Eh?” hanya kata itu yang terucap olehnya, saat melihat Emma yang tiba-tiba menangis dan memeluk Draken.

Hatinya merasa sakit. Baginya, sejak kecil Emma lah orang pertama yang mau memeluknya ketika sedih dan memarahinya ketika melakukan kesalahan. Baginya, Emma lah orang yang mau menerimanya dalam kondisi apapun, bahkan ketika tubuhnya dipenuhi luka lebam.

Emma, Emma, dan Emma. Hanya ia yang Mahito punya sekarang.

Dan apakah, Emma akan pergi meninggalkannya seperti yang dilakukan orang tuanya dulu? Lalu membuangnya dan tak mengharapkan kehadirannya?

Kejadian ini mengingatkannya akan hal yang dulu sudah berusaha ia lupakan.

Rasa sakit akibat melihat pertengkaran orang tuanya karena perselingkuhan sang ibu, rasa sakit akibat melihat ayahnya yang menjadi seorang pecandu alkohol dan obat-obatan, rasa sakit akibat luka yang diterimanya dari sang ayah, rasa sakit yang akhirnya sampai membuatnya memilih jalan yang salah seperti saat ini.

Emma yang selalu dirinya harapkan menjadi sosok yang mampu mengobatinya, menjadi sosok yang mau membawanya keluar dari kegelapan, menjadi sosok yang mau membawanya keluar dari rasa hampa, dan menjadi sandarannya ketika dirinya merasa lelah akan semua kehidupan yang dijalaninya.

Nyatanya, harapannya tidak sesuai.

Gadis yang disukai bahkan dicintainya, kini masih sama pada pendiriannya. Yaitu tetap mencintai sahabat semasa kecilnya, atau yang saat ini sudah menjadi mantan sahabatnya sejak kecil.

Dirinya benar-benar merasa sendiri saat ini.

Jika bisa, ia ingin kembali ke masa lalu saat dirinya berada di sebuah jembatan. Saat dirinya belum bertemu Emma untuk pertama kali, mungkin hari ini dirinya sudah tenang di alam sana.

Ya tenang...

Setidaknya, itulah yang ia pikirkan.

Akan tetapi—

Bruk!

PAPAH DORAKENGKUNG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang