22

693 72 7
                                    

- - -

Tepat menjelang pagi hari Annabeth keluar dari ruang operasi. Langkahnya gontai menuju ke salah satu bangku depan ruangan sembari melepas masker yang masih menempel menutup hidung dan mulut. Helaan napas lelah meluncur dari bibir merah delima milik dia. Ia mulai memegang kepalanya sembari menatap lantai mengusir rasa pusing dan lelah yang merambat hingga kepala. Terlihat bayangan seseorang menjulang tinggi hadapan dia.

"Minumlah, aku tahu kau sedang merasa lelah." Annabeth mendongakkan kepala.

"Terima kasih, dr. Angela." Angela mengangguk paham akan hal itu.

"Jika kau sudah tak lelah segeralah ke ruanganmu. Ada seseorang yang menunggumu disana sedari tadi." Annabeth menatap iris mata kehijauan itu lalu mengangguk perlahan. Angela meninggalkan Annabeth.

Ia menatap segelas kopi instan yang dibeli oleh dr. Angela dengan tenang. Mulai mengarahkan ujung gelas ke mulutnya menyeruput kopi tersebut dengan perlahan. Rasa penat miliknya sudah luntur sedikit demi sedikit. Kakinya mulai bergerak menuju ke ruangan kerja. Selama perjalanan banyak sekali para pegawai yang menyapa dia. Annbeth hanya melempar senyuman lalu melenggang pergi.

"Selamat pagi, maaf telah menunggu saya. Jadi apa keluhan anda?"

"Aku merindukan seseorang yang tiba-tiba berlari keluar dari kediamanku kemarin siang."

Annabeth mengerutkan kening dia bergerak lebih cepat agar tahu siapa pasien yang duduk dikursi itu. Satu nama terbesit dipikiran namun dia tak yakin jika lelaki yang mengaku menjadi soul mate milik dia datang kemari sepagi ini hanya untuk bertemu dengan dia. Ia meletakkan segelas kopi diatas meja kerja lalu menatap pria itu. Matanya membulat sempurna.

"Mengapa kau berada disini sepagi ini, Aldrich?"

"Mengapa kau meninggalkan ku kemarin? Bukankah sudah ku bilang aku tak suka bantahan." Lelaki itu bangkit dari duduknya berjalan ke arah Annabeth.

"Ada seseorang yang butuh pertolonganku, Aldrich."

Pria itu menarik tangan milik Annabeth lalu memeluk wanita yang menjadi mate milik dia erat. Aldrich merindukan aroma milik gadisnya. Dia sekarang sudah terlalu kecanduan oleh sosok Annabeth. Ia bahkan ingin menarik perkataannya terdahulu yang berkata bahwa ia tak menginginkan sosok mate manusia seperti Annabeth yang ada dipelukannya. Pelukan semakin erat hidung milik Aldrich juga tak tinggal diam sedari tadi mengendus aroma milik Annabeth yang manis dan menenangkan.

"Apakah jika aku membutuhkanmu kau akan berlari seperti kemarin?"

Annabeth terdiam tangan miliknya yang sedari tadi tak memeluk balik sosok Aldrich kini mulai bergerak menepuk pelan punggung lelaki itu pelan lalu mengusapnya dengan sayang. Pelukan ini terasa hangat menjalar ke hati milik dia seperti pelukan dari keluarganya yang berada di London. Aldrich yang mendapat balasan mulai tersenyum tipis merasakan elusan lembut dipunggungnya.

"Tentu saja, aku akan seperti kemarin." Balas Annabeth tenang.

"Ambil mantel mu kita pergi keluar untuk makan. Aku tahu kau belum makan, love."

"Tentu, tunggulah diluar sebentar."

"Tidak. Aku akan tetap disini menunggumu."

"Oke, tunggu sebentar. Jangan melihatku seperti itu." Aldrich hanya tersenyum remeh. Hal itu membuat Annabeth semakin menajamkan matanya.

"Jangan menatapku seperti itu, love. Cepatlah kau akan ada pasien lain bukan."

Annabeth mulai mengambil mantel miliknya lalu memakainya. Ia mengambil ponsel yang diletakkan diatas meja memasukkan dalam kantong mantel. Aldrich tersenyum ke arah Annabeth tanpa menunggu ia menyambar tangan milik Annabeth menyatukan dengan tangan miliknya. Kedua orang itu keluar dari ruangan beberapa dokter tersenyum ke arah Annabeth lalu dibalas dokter cantik itu dengan senyuman manis. Hal itu membuat Aldrich jengkel seketika.

My Mate is a DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang