12. TAMPAR

1.8K 282 8
                                    


Ini adalah hari pertama Chaeyoung menjalani masa skors. Gadis itu mengisi waktu kosong itu dengan mengerjakan tugas, belajar dan mengurus organisasi yang masih ia pimpin sampai saat ini. Sebenarnya ia merasa tidak layak di posisi ini setelah apa yang sudah ia perbuat hingga harus mendapatkan skors seperti ini. Namun Chaeyoung tidak bisa menolak ketika Pembimbing Yang memintanya tetap bertahan sampai masa jabatannya yang akan berakhir tidak lama lagi.

Tok...tok...

“Chaeyoung-ahh?”

Panggilan hangat itu membuat Chhaeyoung menoleh ke arah pintu kamarnya yang sengaja ia buka sejak ia duduk di meja belajar. Chaeyoung tersenyum pada sosok pria bersetelan jas rapi juga berkacamata itu.

“Appa? Belum berangkat kerja?”

“Sebentar lagi. Boleh Appa masuk?”

“Ne, silahkan.”

Chaeyoung melepaskan kacamata yang biasa ia gunakan ketika belajar atau menatap layar laptop. Ia memutar kursinya ke belakang dan mendekat, melihat sang ayah yang duduk di sisi tempat tidurnya.

“Kau tidak sekolah?” tanya Joosung.

Park Joosung, pengacara terkemuka yang kesuksesannya tidak perlu diragukan lagi. Beliau sangat cerdas, cekatan dan pandai di berbagai bidang. Ia bahkan memiliki beberapa perusahaan terkenal dan berpengaruh di Seoul. Keberhasilan yang ia milki sekarang tidak lepas dari dukungan mendiang istrinya juga putri kesayanganya, Park Chaeyoung.

“Maaf bila membuatmu kecewa, aku...” Chaeyoung menggantungkan kalimatnya, ia ragu untuk bicara yang sejujurnya pada ayahnya ini. “Aku sedang di skors.” Ia mengaku.

Joosung tertawa mendengar pernyataan putrinya itu. “Kenapa Appa harus kecewa? Appa tahu itu kemauanmu. Setelah semuanya mengetahui identitas, mereka tidak berani memberikanmu hukuman. Kau yang menginginkan itu dan Appa sangat bangga padamu.”

Chaeyoung memandangi kedua tangannya yang digenggam oleh ayahnya. Hangat dan nyaman. “Kau membuat Appa merasa berhasil mendidikmu. Gomawooyo Chaeyoung.” Joosung tersenyum bangga. “Eomma juga pasti sangat bangga padamu,” ujar Joosung menoleh menatap bingkai foto istrinya yang selalu terletak di bawah lampu tidur milik Chaeyoung.

“Aku merasa bersalah karena sudah membuat keributan, aku takut Appa dan Eomma sedih karenaku,” ujar Chaeyoung pelan.

Joosung menggeleng pelan. Ia selalu tau, putrinya itu selalu menginginkan yang terbaik untuk dirinya dan mendiang istrinya.
“Kau selalu membuat kami bahagia, arrachi?”

Chaeyoung menatap ayahnya lekat. Ia benar-benar takut membuat ayahnya bersedih. Joosung mengusap bahu Chaeyoung lembut.

“Tapi Appa bingung, apa yang membuatmu marah sampai memukul anak itu? Appa tahu pasti ada sesuatu yang tidak beres kan?”

“Dia merendahkan seseorang. Kata-katanya sangat tidak layak untuk diucapkan kepada seorang wanita dan ucapannya telah menyakiti wanita itu bahkan jika semua wanita yang menerima ucapan itu akan merasakan hal yang sama, Appa. Aku tidak suka melihat wanita direndahkan,” jelas Chaeyoung terbuka.

Joosung mengangguk paham. Lihatlah, Joosung masih sering terkejut mendengar pemikiran putrinya ini. Bagi Joosung, Chaeyoung sangat luar biasa.

“Benar, Appa setuju. Tapi kau mengerti kan kalau tidak semua masalah harus diselesaikan otot dan Appa juga tahu walaupun omongan tak mampu membuat seseorang menyadari kesalahan. Maksud Appa untuk kedepannya, Appa tidak pernah menyalahkanmu atas kejadian ini. Kau mengerti, Nak?”

“Mengerti, Appa.” Chaeyoung mengangguk pelan dan menunjukkan senyumnya untuk ayahnya. Satu-satuya yang ia punya sekarang.

*********
“Aku ingin bertemu dengan pasien atas nama Kim Jennie. Sebelumnya dia ada di kamar VVIP nomor 3 tapi aku baru saja dari sana dan kamarnya sudah dibereskan."

Saat ini Chaeyoung sedang berada di Seoul Hospital, tempat Jennie dirawat dan Lisa yang membawanya dua hari yang lalu. Ia berniat untuk menjenguk gadis itu. Tanpa alasan. Iya, tanpa alasan. Hanya ingin.

“Sebentar, kami periksa dulu.” Suster itu mulai memperhatikan monitor di depannya. “Pasien kami sudah dapat meninggalkan rumah sakit semalam.”

“Baiklah, terima kasih suster.” Chaeyoung mengangguk sopan dan pergi meninggalkan rumah sakit.

Sedikit kesal karena ia tidak bertemu dengan Jennie, namun setidaknya ia lega karena Jennie sudah meninggalkan rumah sakit yang berarti gadis itu sudah baik-baik saja sekarang. 

Setelah dari rumah sakit, Chaeyoung mendatangi sebuah toko bunga untuk memberi beberapa jenis bunga untuk di bawakan ke tempat pemakaman. Sudah cukup lama ia tidak mengunjungi ibunya karena kegiatan sekolah yang padat. Pemilik toko itu sudah hafal dengan wajah Chaeyoung.

“Wah kau kemari juga, aku pikir kau sudah belanja ke toko lain. Apa kabar? Ingin bunga yang mana?” sapa penjual itu dengan sangat ramah.

“Seperti biasa, Ahjussi. Kali ini mohon bawakan lebih. Aku jarang mengunjungi ibu karena sekolah, aku merasa sedih karena itu. Tapi uri eomma tidak akan marah bila aku bawa banyak bunga untuknya.” Ia tersenyum ramah.

“Arraseo, tunggu sebentar.” Si penjual tertawa kecil setelah itu mempersiapkan bunga yang biasa Chaeyoung beli dengan tambahan yang banyak seperti yang ia pinta.

Setelah mendapatkan bunga, Chaeyoung membayarnya lalu memasang kacamata hitamnya begitu pintu masuk di dorong. Ia menaruh rangkaian bunga berukuran besar itu di bangku penumpang. Lalu setelah itu, Chaeyoung meninggalkan toko bunga itu.

Sesampainya di gerbang pemakaman, Chaeyoung pun melepaskan sabuk pengamannya. Tetapi sebelum ia turun, ponselnya berbunyi menampilkan notifikasi pesan dari Taeyong.

“Aku kembal ke Seoul malam ini. Seperti kataku, aku tidak menemukan mereka. Aku menduga mereka sudah tidak ada di isi. Aku yakin. Seluruh data penduduk sudah ku periksa, mereka menghilangkan jejak.”

Brukk! Brukk! Brukk!

Chaeyoung memukul stir kemudinya kuat. Berkali-kali untuk melampiaskan kekesalanya.

“Bajingan itu harus ku temukan!”

Chaeyoung mengetikkan balasan untuk temannya itu yang mengatakan bahwa kabari dirinya bila ia butuh jemputan. Begitu selesai, Chaeyoung mendorong pintu mobilnya dan melangkah keluar. ia memasuki pemakaman dengan bunga di tangannya.

Bagi Chaeyoung, dadanya selalu merasa sesak bila datang ke tempat ini. Tempat yang tidak pernah ingin didatangi oleh setiap anak di muka bumi ini. Meski sudah dua tahun lamanya, ibu Chaeyoung meninggalkannya dan Joosung. Kekosongan itu masih selalu terasa olehnya dan kerinduan itu, tak pernah berkurang.

Chaeyoung menyusuri setiap baris makam yang ia lewati. Masih dengan rasa berdebar yang sama, ia selalu mempersiapkan dirinya sebelum tiba di tempat istirahat terakhir ibunya.  Rangkaian bunga itu ia genggam erat, menyalurkan debaran yang tak biasa dibumbui dengan sedikit rasa pilu di dalam sana.

Saat jarak hampir dekat, Chaeyoung melihat seorang wanita berdiri di samping makam ibunya. Sepertinya dia sudah selesai dan bersiap untuk pergi. Chaeyoung merasa asing dengan wanita itu.

Hingga saat ia dan wanita melangkah berlawan arah, Chaeyoung melirik wajah wanita itu. Chaeyoung tidak mengenali wajahnya karena masker dan kaca mata hitam yang menutup wajahnya. Wanita itu tampaknya tak menyadari bahwa Chaeyoung pun akan menuju ke makam yang sama.

MY COOLDEST SENIOR (CHAENNIE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang