U A || 024

1.3K 130 29
                                    

[24 : Menggapai Asa?]

.
.
.

"Mimpi yang setiap malam aku alami adalah berupa bentuk angan-angan yang suatu saat aku harapkan menjadi kenyataan. Aku tau sebenarnya mimpi hanya bunga tidur. Tapi, apa salahnya jika aku menginginkan lebih?"
-

•••

Arkan melepaskan helm, menyugar rambutnya kebelakang. Kaki terbalut sepatu converse  melangkah masuk ke dalam rumah.

Hidup Arkan tak lepas dari sekolah, rumah, markas, dan juga tanggung jawab sebagai ketua osis. Setelah pulang dari sekolah tadi, cowok itu tidak langsung pulang ke rumah melainkan ke markas untuk menenangkan pikiran sekaligus menyelesaikan tugas-tugas sekolah yang menumpuk karena terlalu dibiarkan. Dan berakhir pulang ke rumah pukul 19.00 pm. Setelah shalat maghrib Arkan baru pulang.

"Arkan?"

Baru satu langkah masuk seseorang memanggil dengan sebutan nama. Sudah lama Arkan menginginkan Brama memanggil dengan nama bukan cacian atau makian. Sekarang Tuhan mengabulkan permintaannya,  jantung Arkan berdetak kencang mendengar dirinya terpanggil.

Mata Arkan berkaca-kaca, cowok itu menoleh ke samping tepat di mana Brama duduk di sofa tak lupa dengan laptop dan beberapa berkas di meja.

Meski ucapan tersebut terdengar dingin dan cuek, tolong katakan bukan mimpi kali ini atau haludinasi Arkan kesekian kali.

"Iy-ya Pa?" sahut Arkan gugup, demi apapun hatinya menghangat sekaligus terharu.

Brama berdiri, melepaskan kacamata, mengambil beberapa kertas. Wajah dingin dan menakutkan tak pernah lepas.  Brama berjalan mendekati Arkan, lalu melemparkan kertas tersebut tepat mengenai wajah. Rahang mengeras, tangan mengepal erat. Matanya memerah iblis.

"Nilai kamu kenapa semua menurun?" tanya Brama berang.

Arkan menatap kertas jatuh dilantai menunjukkan nilai angka '93' rendah? Hanya kurang 7 angka untuk mencapai nilai sempurna.

"PA--"

Satu tamparan melayang tepat sasaran. "Jangan meninggikan suara kamu!" desis Brama tajam dan menusuk.

Arkan mengepalkan kedua tangan menyentuh pipi barusan ditampar, rasanya tidak sakit jika dibandingkan dengan luka hati dan batin.

"Pa, Arkan anakmu 'kan?" tanya pemuda itu dengan lirih, mencoba menahan gemuruh di dada.

"Lakukan satu hal. Jauhi Clara, buat nilaimu menjadi sempurna jika ingin saya anggap sebagai anak!" kata Brama tegas dan penuh penekanan.

Arkan tertawa sumbang. "Percuma pa, kalau papa hanya mencari kesalahan Arkan." Brama terdiam ucapan Arkan berhasil menohok hatinya.

Arkan menghela nafas berat. "Boleh gak kalau Arkan meluk papa?" pinta Arkan. Harap-harap dikabulkan, harap-harap marah mereda menjadi sebuah anggukan.  Walaupun ia yakin akan ditolak, Arkan akan terus mencobanya. Brama menjauh saat Arkan berjalan mendekatinya.

"Satu menit aja pa, Arkan mau ngerasain gimana rasanya dipeluk sama Papa," lirih Arkan memohon.

Brama mendorong tubuh Arkan kuat hingga terjatuh di lantai dan kepala Arkan terbentur di sofa. "Jangan mimpi, bangun! itu tidak akan terjadi. Saya tidak sudi dipeluk sama anak yang tidak tahu diri seperti kamu," tolak Brama tajam.

Arkan menyentuh kepalanya, terasa sangat pusing dan sakit.

"Arkan sakit pa.." gumam Arkan dalam hati.

Untuk Arkan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang