U A || 038

1.1K 113 6
                                    

[38 : Abang Marah?]

.
.
.

"Apa kamu masih peduli padaku? Atau hanya sekedar bersimpati saja?"
-Untuk ARKAN

•••

"S-sakit," rintihnya

Arkan segera menggendong Clara ala brydal style. Merintih menangis kesakitan sembari berusaha mengatur normal deru nafas, gadis dalam gendongan Arkan menangis menggantung kedua tangan di leher sang abang.

"Bunda gak bisa ikut." Langkah kaki Arkan berhenti. Wajahnya tertoleh ke kanan melihat Bunda Hanna memasang wajah bersalah.

"Maaf, Bunda gak bisa ikut Ar. Bunda mau pergi ke butik," jelasnya.

Dalam kondisi seperti ini Ia lebih mementingkan butik daripada kesehatan anaknya? Hanna benar-benar sudah berubah sekarang.

Arkan menarik nafas dalam-dalam, mencoba tidak tersulut emosi. "Iya gak papa, Bun."

Setelah mengatakan kalimat tersirat kekecewaan tersebut pada Hanna, Arkan akan membawa Clara ke rumah sakit.

Hanna menatap sendu punggung Arkan yang mulai menjauh dari pandangannya. Ia khawatir, sangat.
Hanna tidak mengungkapkan hal tersebut secara langsung tak seperti ia mengungkapkan kata rindu pada Arkan, Hanna hanya beralasan saja, ia yakin dengan adanya Arkan maka Clara akan baik-baik saja.

Karena Clara itu butuh Arkan, mungkin selamanya.

Hanna pernah berfikir ingin menjodohkan Clara dan Arkan. Tidak mungkin, Arkan menyayangi Clara layaknya seperti Abang yang menyayangi adiknya. Atau seorang ayah yang mencintai anak perempuannya, seperti itu.

Arkan berlaku seperti seorang ayah, bahkan Brama pun tidak memperlakukan Clara seperti Arkan.

°🎭🎭🎭°

Dokter memeriksa denyut jantung Clara. Lalu melepaskan alat yang menempel ditelinganya.

"Adik kamu alergi biasa, tidak ada yang terlalu di khawatirkan," jelas Dokter tersebut. Arkan menghela nafas gusar. Clara hanya menyengir kuda.

Cewek itu kembali duduk, merah-merah di tangan dan kakinya perlahan menghilang namun rasa gagal belum lenyap. Clara menggerutu kesal. Tangannya aktif menggaruk tulang betis kaki.

"Abang kan udah bilang, kalau makan bakso jangan pake daun seledrinya," omel Arkan.

Clara tersenyum, Arkan masih mengkhawatirkannya itu artinya...

"Ara gak makan bakso, ih," kesalnya merotasikan kedua bola mata. "Ara makan sala."

Bola mata Arkan langsung membulat mendengarnya. "Apa?" Sala? Apa itu?

Clara memamerkan gigi putih berderet rapi. "Iya, Clara lupa."

Tuk

Arkan menyentil dahi Clara pelan, sudah tahu punya alergi daun saledri masih saja bisa lupa hal-hal kecil yang merugikan diri sendiri. "Kebiasaan," tanggapnya.

Untuk Arkan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang