U A || 015

1.5K 156 21
                                    

[15 : Tanpa Batas]

.
.
.

"Jika berjuang sendiri terasa menyakitkan, kenapa tidak mencoba berhenti? Itu akan mengurangi bebanmu 'kan?"
-Unknown.

•••


Arkan sudah lengkap dengan pakaian putih abu-abu. Cowok itu menuruni anak tangga satu persatu sambil menyandang tas ransel dengan suana hati membaik di pagi hari yang indah. Seketika sirna melihat pemandangan menyakitkan di ruang makan tepat kaki kiri melangkah undukan anak tangga terakhir.

"Papa mau yang itu."

"Yang mana sayang?"

"Ayam goreng itu, Pa."

"Oh ini." Brama mengulas senyum sembari mengambilkan ayam goreng permintaan sang putri. Arkan menghela nafas panjang, memejamkan mata sejenak berusaha tenang. Ia iri pada adiknya, dari kecil. Arkan muak dengan dirinya yang mengelak dan mengelak membohongi perasaan bahwa ia tidak iri sedikitpun.

"Iya, makasih Papa."

"Sama-sama sayang."


Clara menoleh kepala ke samping, kebetulan ia mendapati Arkan sedang bermenung. Lantas, memanggil dan mengajak bergabung. "Eh, abang! Ayo sini makan bareng."

"Ara mau berangkat bareng?" sela Brama, mengelap mulutnya dengan tissu. "Kalau mau sama, ayok."

"Kamu mau kemana? Habisin dulu," cerca bunda Hanna menatap Brama yang berdiri tampak tengah bersiap-siap.

"Aku audah kenyang," jawab Brama jelas dengan tatapan menghunus pada Arkan.

"Ara berangkat sama abang aja, Pa." Brama tersenyum tipis, mencium sebelah pipi Clara dan mengacak rambut Clara hingga berantakan.

Clara menyalim tangan Brama. "Dadah papa."

Arkan mendekati Brama menjulurkan tangannya hendak menyalim tapi Brama buru-buru pergi dari hadapan Arkan.

"Pa?" gumam Arkan pelan. Kesekian kalinya Brama menolak dan menghindar.

"Arkan cepet sini makan," alih Bunda Hanna membuyarkan lamunan Arkan.

Ting!

Handphone di saku Arkan berbunyi, masih pesan dari nomor yang sama di malam itu. Arkan semakin tidak mengerti dengan pesan misterius itu.

+62888×××
სჯობს სიკვდილი, ვიდრე გაუთავებელ ტანჯვაში ცხოვრება.
(Lebih baik mati daripada hidup dalam siksaan tiada henti)

"Arkan kenapa bengong?" Bunda Hanna berkacak pinggang menatap putra sulungnya.

"I-iya bunda maaf." Arkan kembali menyimpan hp di saku celananya, dan duduk makan bersama disamping Adiknya.

"Cepat habisin makanannya, bunda mau keatas dulu," ujar bunda Hanna.

Arkan mendaratkan bokongnya di kursi sebelah Clara. Mengambil roti lalu dioleskan selai rasa coklat. Hari ini, moodnya memburuk jadi tidak makan nasi.

Untuk Arkan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang