U A || 008

1.7K 215 29
                                    

[08 : Sayatan Luka dari Masa Lalu]

.
.
.

"Kita masih muda, jatuh dan terluka adalah hal yang biasa."
-Untuk ARKAN

•••

"Papa ... gendong," pinta seorang bocah merentangkan kedua tangan, wajah cembeur dan bibir yang dimajukan. Berharap sang Papa mengabulkan permintaannya. Namun, pria baruh baya itu membuang mukanya malah menggendong cewek yang disebelah bocah itu lalu membawa pergi.

Bocah itu menatap hampa kepergian Papa sambil menggendong sang adik, Ia menahan air mata yang akan turun.

'Alkan juga pengen digendong sama Papa,' batin Arkan kecil menunduk. Air matanya tumpah tak tertahan, hatinya sakit, ia di abaikan.

Arkan kecil mendongak, menghapus cepat air mata. Ia tidak boleh terlihat cengeng di mata siapa pun.Tangannya melambai ketika sang adik menoleh padanya. Arkan belum bisa menyebut huruf R, ia masih sangat lugu dan polos.

Dia adalah Clara, adik bungsu Arkan. Clara tampak melengkungkan bibirnya ke bawah, berharap sang abang juga ikut menyusul.

Arkan membalikkan badannya pergi dari tempat tersebut.

"Arkan? Kamu mau ke mana?" tanya Bunda Hanna menghampiri Arkan jongkok menyamakan tingginya dengan Arkan.

Arkan menatap sebentar Hanna lalu menggelengkan kepala. Hanna memasang wajah cemberut, ia tidak suka Arkan mengabaikan pertanyaannya.

"Kok ga dijawab, hm? Kamu kenapa? Coba cerita," pinta Bunda Hanna merapikan rambut Arkan yang sedikit berantakan.

"Alkan pengen digendong sama Papa, kayak Papa gendong Lala."

"....."

Hanna mematung ditempat, seperti ada jarum yang menusuk jantungnya.

Sakit.

"Alkan juga pengen kayak Ala, tapi Alkan ga bisa cembulu bunda!" kata Arkan tersenyum lebar memperlihatkan gigi putihnya.

Setiap lihat Clara bersama Papa, Arkan juga ingin digendong, dicium, dibawa jalan-jalan, disuapin makan. Diajak bercanda dan dimanjakan.

"Kapan Bunda?" tanya Arkan.

Hanna tak bisa menjawab, wanita paruh baya itu menghela nafas gusar. Ia pun tak tahu kapan dan tidak bisa memastikan kapan momen itu akan terjadi.

Hanya waktu yang bisa menjawab semua pertanyaan Arkan kecil.

"Alkan sayang Papa kan?"

Arkan mengangguk cepat. "Alkan sayang banget sama Papa, nda."

Cairan bening jatuh membasahi pipi Hanna, dengan cepat menghapus air mata tersebut. Ia menatap mata hazel Arkan, seperti yang dikatakan cowok itu. Banyak harapan yang ingin terwujud suatu hari nanti, mata hazel itu menunjukkan segalanya.

Bunda Hanna memeluk Arkan dengan erat. "Apapun yang terjadi, Arkan gak boleh benci dan ngelawan sama Papa, ya?"

Dengan polosnya Arkan mengangguk cepat. Cowok itu membalas pelukan bundanya tak kalah erat.

"Kalau Alkan ngelawan, alkan dapat dosa, Nda," kata Arkan dengan polosnya.

Hanna mengangguk setuju, air matanya turun dengan sendiri membanjiri pipi. Kenapa rasanya sesakit ini?

Untuk Arkan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang