"Aku lupa belum memberitahu Nenek. Nenek tahunya aku pulang ke Incheon pukul sembilan. Tapi aku menghilang saat Nenek sedang mandi. Dan sekarang sudah pukul dua belas siang. Nenek pasti cemas sekali," gusar Yuna sembari menunggu telepon baliknya diangkat oleh orang yang sudah sejak tadi menghubunginya, tapi tidak ia respon gara-gara ponsel Yuna adalah langganan silent mode.
Setelah panggilannya diangkat, gadis itu mengarang cerita pada Shihya, kalau ia dijemput oleh guru olahraganya untuk pertandingan lari dadakan. Yuna tidak bisa menolak, bahkan tak sempat izin. Kini ia masuk babak final, jadi kemungkinan besar akan mendapat tawaran inap gratis di salah satu vila.
Seribu syukur, Shihya percaya. Yuna sudah menduga kalau neneknya akan selalu percaya padanya tanpa ragu. Beruntung sebab Shihya tak curiga apa pun.
"Doakan aku agar menang ya, Nek."
"Ya. Lari yang benar, jangan sampai terkilir."
"Siap!"
Pip.
Jaebum menahan tawa mendapati wajah Yuna yang tertekan karena terpaksa mengarang. Sosok yang ditatap pun mendelik. "Apa lihat-lihat?" sembur Yuna, disusul hela napas malu. "Asal kau tahu, ya, aku ini sangat sangat sangat jarang berbohong. Apalagi masalah lomba, pasti aku akan ditagih medali oleh Nenek. Tapi tidak ada cara lain," jelasnya, klarifikasi.
"Sama, aku juga jarang berbohong," sahut Jaebum.
Yuna tak terima. "Cih, kau sudah sering berbohong di depanku, tahu? Pertama, kau berbohong pada ayahku saat di apartemenmu. Kedua lebih parah, kau membohongi dirimu sendiri padahal hampir mau mati."
"Maksudnya?"
Tangan tersilang di depan dada Yuna terapkan saat ini, tak lupa mengaktifkan mimik sewot di wajahnya. Ia sok-sokan sedang berakting emosi––walau kenyataannya memang emosi. "Bahumu sudah seperti aci diberi kecap."
Jaebum kontan tergelak. Yuna sudah berlagak serius, tapi malah kata-kata lawak seperti itu yang keluar dari mulutnya. Parah, lama-lama recehnya Yuna bisa menular ke dia. Laki-laki itu geleng-geleng kepala heran. Dasar perempuan, ya, dibahas terus!
"Aku tidak sedang melucu, Jaebum. Aku serius. Jangan kau ulangi lagi. Kalau kau terluka parah lagi, panggil aku saja, aku justru senang jika bisa membantu. Kalau kau sampai mati hanya gara-gara merasa merepotkanku, maka matimu tidak akan tenang karena aku akan membencimu selama aku hidup!" Sekonyong-konyong, Yuna marah. Namun hanya berlangsung beberapa detik. Ia kembali lembut seperti sedia kala, "Janji, ya?"
"Sok imut," Jaebum malah meledek, mendatangkan hadiah sebuah pukulan lumayan keras di lengan atasnya.
"Heh! Sejak kapan aku berpura-pura imut? Aku ini memang tidak ada imut-imutnya, kok. Kalau Eunha baru imut. Berarti ... kau itu yang mengakui sendiri kalau aku imut."
"Percaya diri sekali. Kau itu cerewet dan berisik," ledek Jaebum lagi. Entahlah, sekarang tiba-tiba timbul hasrat untuk mengganggu gadis itu. Cukup menghibur juga karena nyatanya dia memang menggemaskan tanpa disadari. Wajahnya ketekak-ketekuk kusut. Lucu.
"Aku tidak cerewet, haish!" bantah Yuna emosi.
"Tidak sadar?"
"Baiklah, mungkin hanya denganmu saja! Karena kau itu irit bicara! Kalau bukan aku yang bicara terus, lalu siapa lagi?"
Jaebum mengedikkan bahu.
Kedua insan itu kompak menoleh ke arah pintu penjara saat pintu besi besar tersebut terbuka dan menghadirkan sosok Mark di sana. Mark mengakhiri perdebatan mereka yang sama sekali tidak berguna. Kedatangannya langsung mengubah wajah usil dan sumringah Jaebum menjadi datar lagi seperti semula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Werewolf [The Lorzt's Regulation]
WerewolfBermula dari ketidaksengajaan yang menimpa. Tombak yang menusuk jantung sang kepala sekolah tepat di depan mata Choi Yuna membuatnya harus terseret dalam sebuah aturan bangsa werewolf. Sedangkan Lim Jaebum, tentu berusaha untuk mencegah bahaya dari...