31. Janji

61 12 18
                                    

Berkali-kali, bibir Yuna mengomat-kamitkan sebuah kalimat penyemangat diri. Satu kalimat sama, tetapi terus ia tekan ulang seraya menatap rupanya di cermin, "Aku harus bisa, aku harus bisa!"

Pipi tirusnya menggembung dua detik, sebelum ia tepuk lumayan keras. Bersamaan dengan pecahnya balon pipi, gadis itu membuang napas panjang. Ya, tentu, ia harus bisa menghadapi Jaebum. Lagipula, untuk apa berlama-lama mendekam di sini? Jaebum pasti sudah ngantuk kebosanan gara-gara menunggu. Plus kalau nanti dia jadi ilfeel kan jatuhnya tidak lucu.

Setelah keluar kamar dan menutup pintu, Yuna sandarkan kepala dan memejamkan mata sejenak. Ia butuh sepuluh detik lagi untuk menyiapkan mental sebelum menghampiri Lim Jaebum di teras. Sepuluh detik saja, sungguh, agar kesalahtingkahan ini bisa lebih tergeser.

"Hari ini, aku benar-benar tidak merasa normal seperti biasanya. Rasanya sangat campur aduk."

Selama ini, tak terlintas sekali pun dalam benak Yuna, bahwa ia resmi menjatuhkan hati pada sesosok manusia serigala. Bukankah itu menyebalkan? Seperti tidak ada laki-laki lain saja! Stok manusia masih banyak, tapi bodohnya ia malah jatuh cinta pada serigala. Dalam logika, mereka tak bisa bersama karena jelas berbeda. Jadi, sanggupkah gadis itu untuk menahan segala rintangan yang akan datang?

Lagi, napas yang menyimpan lelah Yuna embuskan. Ini lucu, padahal ia tadi sedang terpuruk karena mimpi yang mungkin saja merupakan giringan dari takdir buruknya. Tapi tak ia sangka, tiba-tiba belok menjadi seperti ini. Karena Yuna lelah dalam membohongi dirinya sendiri, hingga pada akhirnya ia jujur juga, walau pengakuan itu tidak bergaung langsung di telinga Jaebum. Setidaknya, hati Yuna telah mengosongkan sedikit ruang keganjalan.

"Kau datang tiba-tiba dalam dunia kami, lalu tak tanggung-tanggung juga menyusahkan kami. Cih, bercanda?"

Belum sepuluh detik, mata Yuna sudah disuruh terbuka oleh celetukan seseorang. Yuna membatin getir dengan kalimat itu, tetapi ia cuma mengulas senyum lembut. Faktanya orang itu tak salah kalau Yuna adalah manusia yang menyusahkan, datang tak diundang pula.

"Ya, aku memang menyusahkan. Maafkan aku."

Nayeon berdecih lagi. "Jangan sok polos. Aku tahu kau kesal dengan ucapanku. Kalau mau marah ya marah saja."

'Bukankah dia sangat aneh? Kenapa mendadak beromong-kosong?' batin Yuna kebingungan.

Tapi, Yuna lagi-lagi mengulas senyum sopan. "Aku keluar dulu, Lim Jaebum sudah menunggu di depan. Kau bebas mengataiku apa pun. Akan kuterima."

Mengabaikan wajah kusut Nayeon, Yuna melangkah menjauh. Ia tabah seumpama dibenci oleh saudara Jaebum, termasuk Nayeon. Memang Yuna yang sejak dulu tak pernah berminat jika diajak berdebat oleh tipe orang sejenis Nayeon. Mau sebanyak apa pun pembelaan diri dikeluarkan, kalau dasarnya orang tersebut benci ya kelanjutannya bakal terus benci. Kuping mereka menolak pembelaan diri lawannya.

Nayeon menjerit tertahan lantaran sangat kesal. Gadis itu lalu berucap lagi, dan berhasil membuat Yuna urung melanjutkan langkah, "Kau cengeng, lemah. Dan kau membuat kakakku semakin menderita. Kak Jaebum berusaha keras, bahkan mengirim surat perintah ke banyak kawasan. Kenapa kau harus masuk dalam urusan kami? Sadarkah jika kau semenyusahkan itu?"

Yuna kembali menyetop kaki mendengarnya. Awalnya iya kalau ia ingin mengabaikan tumpuk cibiran Nayeon. Tapi kali ini, ia tak dapat abai karena hatinya merasa sakit. Bicara Nayeon terlalu menusuk seperti yang sudah ia duga selama ini; Ia sangat menyusahkan dan menambah beban Jaebum, padahal Jaebum punya masalah lain yang belum terselesaikan.

Meskipun sebenarnya, Yuna sadar bila mereka itu sama. Sama-sama menambah masalah dari masalah hidup. Benar?

Yuna menarik napas, berusaha meredam nyeri hati. "Hentikan, Lim Nayeon ssi. Ya, aku sangat sadar jika aku merepotkan kalian. Tapi itu bukanlah mauku. Dan aku juga masih ingin hidup. Jika kematianku membuatmu tenang, silakan bicara pada kakakmu supaya ia langsung membunuhku."

Werewolf [The Lorzt's Regulation]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang