10

1K 55 0
                                    

"Asha, badan lo kudu tegak!"

"Jaga keseimbangannya, Asha!"

"Jangan digas kenceng-kenceng woe!"

"Asha! Pandangannya lurus!"

"Itu kakinya turunin! Ntar lo jatoh lagi."

"Asha! Rem-nya tarik!"

"Jangan gugup, oke?"

"Tenang Asha! Yak! lo pasti bisa ... dikit lagi!"

"Asha ...."

"Asha ...."

Huh, Asha mendengkus. Haiyan mengajari Asha mengendarai motor, mulutnya terus mengoceh agar Asha lebih berhati-hati. Sejujurnya, Asha sudah bisa mengendarai motor sendiri, hanya saja Haiyan yang terus mengkhawatirkannya berlebihan. Asha belajar hanya di jalan lurus depan rumah Haiyan, hingga saat ....

"Abang! Minggir!!!" Tangan Asha tergelincir hingga menarik pedal gas terlalu kencang. Asha oleng!

Asha dengan kesadaran segera menurunkan kakinya agar tidak ambruk lalu menarik rem secara tiba-tiba, untung saja itu berhasil walau akhirnya kepala Asha terasa sakit juga pandangannya yang berputar.

Haiyan di ujung jalan yang tadinya berkacak pinggang dibuat kalang-kabut, berlari dengan tergesa ke arah Asha yang memijat pelipisnya berharap sakit kepala itu mereda. Haiyan mengambil alih motor dan menyuruh Asha turun dan duduk di trotoar.

"Asha ... lo nggak pa-pa? Mana yang sakit? Ada yang lecet? Lo tadi nggak jatoh, 'kan? Kaki lo, gimana? Kepalanya, gimana? 'Kan, tadi udah gue bilang ... hati-hati Asha, bandel, sih! 'Kan, gini jadinya--blablabla ...." Asha tak mendengar lagi apa yang diucapkan Haiyan dengan jelas. Asha mengangkat telunjuknya memberi isyarat agar Haiyan diam.

Haiyan diam, menatap Asha khawatir, bersalah dan menyesal. Jika Haiyan tahu akan seperti ini, ia tidak akan memberi izin kepada Asha untuk belajar mengendarai motor. Ini salahnya, dengan bodoh Haiyan meng'iyakan kemauan Asha. Haiyan menepuk keningnya sendiri dan bergumam "bodoh", Haiyan mengutuk kelalaian dirinya.

Asha duduk berselonjor di trotoar dengan memejamkan mata merasakan kepalanya berdenyut nyeri juga sangat berat seperti tertimpa beban. Sedikit demi sedikit rasa sakit itu mereda membuat Asha merasa lega. Mencoba membuka matanya, pandangannya masih terasa kabur. Mengerjap beberapa kali hingga pandangannya jelas.

"Udah mendingan?" Haiyan bertanya.

"Udah," jawab Asha memejamkan mata sekali lagi untuk memastikan jika rasa sakit itu benar-benar pergi.

"Kita ke dokter, ya? Takutnya, lo kenapa-napa." Haiyan cemas, ia tidak ingin kejadian yang merenggut adiknya kembali terulang pada Asha.

"Udah ... nggak pa-pa, kok. Asha, beneran nggak pa-pa! Serius, deh. Paling tadi cuma karena kaget aja ... nggak perlu ke rumah sakit," ucap Asha mencoba menenangkan.

Sebenarnya Haiyan ingin memaksa Asha untuk di bawa ke rumah sakit, tapi seperti yang kalian tahu, Asha itu keras kepala! Apa karena Haiyan memanjakannya?

Asha hanya tidak ingin merepotkan Haiyan.

Asha menatap ban motor di depannya, ingatan Asha melayang di saat ia berumur 6 tahun.

Tok tok (suara ketukan pintu)

"Ashaaa ...." Seorang anak laki-laki mengetuk pintu kamar adiknya.

Asha baru bangun dari tidurnya, membuka pintu dengan muka bantal dengan lukisan pulau dan ingus di sekitar pipi. "Kak, Shan? Kenapa?" Asha mengucek matanya.

Reshan menatap Asha jijik dan geli. "Cuci muka dulu, sana! Abis itu ikut kakak, kakak mau ajak, Asha, ke suatu tempat."

Asha membulatkan matanya berbinar, jarang sekali Asha bermain ke luar bersama kakaknya itu, kecuali jika orang tua mereka sedang pergi bersama. "Kemana?"

Reshan tidak tahan melihat Asha, menarik ujung lengan kaos adiknya itu menggiringnya ke kamar mandi. "Sana mandi dulu! Kalo nggak mandi, kakak nggak jadi ajak Asha."

"Tapi Asha belum ambil baju ganti--"

"Kakak ambilin, sekarang cepet mandi! Yang bersih!" Reshan segera berlari memasuki kamar Asha dan mengambilkan adiknya baju yang sudah disiapkan dengan rapi sebelumnya.

Setelahnya, Reshan dan Asha kini berada di lapangan komplek yang lumayan ramai. Asha berdiri di samping kakaknya melihat orang-orang yang sedang melakukan senam pagi bersama lalu menatap Reshan dengan tatapan polosnya. "Kita ngapain ke sini?"

"Asha mau bisa naik sepeda, nggak?"

"Mau!"

Mereka berdua berangkat dari rumah mengendarai sepeda berboncengan, tentu saja Reshan yang membonceng.

"Asha lihat ke depan, ya? Jangan lihat ban-nya! Jangan takut juga ... ada kakak yang jagain di sini. Siap?"

"K-kakak ... Asha takut ... Asha nggak mau!" Asha sudah duduk di jok sepeda dan Reshan yang berada di sampingnya menahan sepeda dengan memegang setir.

"Hey, hey, jangan gerak! Nggak pa-pa ... ada kakak di sini ... nanti kalo Asha bisa naik sepeda kakak beliin es krim sama cilok, deh." Reshan mengeluar segala bujuk rayu agar Asha mau belajar mengendarai sepeda.

Asha kecil pun akhirnya mengangguk menyetujui. Sedikit demi sedikit Asha bisa menyeimbangkan badan dan mengayuhnya. Reshan senantiasa berada di belakang Asha untuk memegangi sepeda kalau-kalau Asha oleng.

Setelah beberapa saat, Reshan kelelahan mengikuti Asha dengan berlari, ia juga melihat jika Asha sudah bisa walaupun tanpa didampingi. Reshan memilih untuk istirahat dan menunggu di tepi lapangan, lapangan ini sangat besar--menurut Reshan yang tubuhnya masih kecil tentu saja.

"Kakak? Kakak!" Asha terlalu bersemangat hingga tidak menyadari Reshan sudah berhenti dan dia berjalan sendiri.

Karena tidak mendengar sahutan, Asha dengan ceroboh menoleh ke belakang hingga fokusnya pada kendali hilang. Raut takut, cemas dan gelisah tergaris di wajah polos Asha. Asha tidak bisa berhenti karena kakinya bahkan tidak sampai menapak tanah, Asha bingung harus apa sekarang.

"Kakak! Kakak! Huhuuu, Kakak?!" Asha menangis, matanya memburam membuat ia tak jelas melihat jalan dan berakhir tergelincir dan jatuh. Kini Asha berada jauh dari keramaian.

Asha sendiri, menangis tergugu di samping sepedanya. Lutut dan lenangnya tergores hingga mengeluarkan darah, itu sakit, perih.

"Kakak huhuhuuu, Kak Shan, Asha takut! Asha mau pulang~"

Tiba-tiba ada suara teriakan.
"Asha! Asha pergi ke mana!? Aaha?" Itu suara Reshan! Asha ingat betul itu.

"K-Kakak! A-sha di siniI, huhuuu ...."

"Astaga! Asha ... ayo sini bangun dulu!" Reshan berlari dan menemukan Asha yang terduduk di aspal lalu membantunya berdiri.

Reshan memeluk adiknya sayang mencoba untuk menenangkan. "Ssst, udah ya nangisnya? Luka kecil, doang, nggak pa-pa, Asha, 'kan kuat, hm? Asha, 'kan cowo, masa nangis. Katanya kalo udah jatuh, Asha bakalan cepet bisa naik sepedanya, loh ..."

Asha hanya mengangguk.

Tadi Reshan membeli es usai melatih Asha karena haus, Reshan lalai, bagaimana Reshan lupa jika adiknya itu sangat pendek? Dan meninggalkannya menaiki sepeda yang tinggi tanpa pengawasan orang lain. Reshan mengutuk kesalahannya itu. Reshan memberikan es krim yang ia beli pada Asha, dan bocah itu pun diam, dengan ingus yang meluber.

Reshan membonceng Asha untuk pulang agar lukanya segera diobati di rumah.

Asha's Notes [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang