02

2.7K 168 6
                                    

"Hmmm ... Asha kemana, dah? Tumben-tumbenan, tuh anak bisa telat. Apa dia sakit, ya? Tapi biasanya kalo sakit kasih surat izin tuh--"

"Mungkin dia lelah." Dan seketika kepala Ube menjadi target jitakan sayang dari sang sahabat, Sidharta--panggil saja Sidhar.

"Sakit, Monyet! Pengen tak hih!" protes Ube menatap tajam Sidhar yang menatapnya datar.

Sidhar berkata malas, "Lagian itu mulut sembarangan aja kalo ngomong, minta di tampol?!"

"Mau, dong, ditampol sama bibir kamu ...." Ube mengedipkan sebelah matanya menggoda sang sahabat yang langsung melarikan diri karena jijik. "AHAHAHAHA KOMUK LO, KONDISIKAN, BABI!" Tawa menggelegar milik Ube membuat semua murid yang berada di kelas itu menatapnya sebentar, sebelum kembali ke aktivitas masing-masing. Itu sudah sangat biasa! Ya, tentu dengan kegilaan mereka berdua yang sudah seperti serial kartun televisi kucing dan tikus.

Kini kelas mereka sangat ramai seperti pasar ayam, karena guru piket yang mengajar mata pelajaran jam pertama dan kedua hingga jam istirahat tidak hadir.  Kenapa? Entahlah, yang jelas momen langka seperti ini harus dinikmati. Menjadi suatu hari yang sangat membahagiakan tentunya pagi para pelajar seperti Ube dan Sidhar.

Ube yang masih tertawa terpingkal-pingkal belum berhenti hingga Sidhar memanggilnya. "Woi, Ube! Ikut nggak!?" Sidhar yang di ambang pintu berteriak agar Ube yang meringkuk di bangku belakang dapat mendengarnya.

Berhenti tertawa, Ube menatap Sidhar berbinar, sungguh membosankan tanpa adanya satu kawannya lagi di sini, lebih baik keluar kelas dan mencari angin. "Kemana?!" tanya Ube tidak kalah kencang

"Berak! YHAHAHAAAA!" Sidhar sangat puas menertawakan Ube yang kini wajahnya sudah memerah. Mereka berdua sangat receh.

Bangkit dari duduknya, lalu berlari ke arah Sidhar yang memulai ancang-ancang untuk kabur. "BABI, LO! BANGKE!" maki Ube menggelegar.

Memang di antara mereka berdua, Ube adalah orang yang paling gampang tersulut emosi. Ube itu jahil, usil, nakal, tapi jika dijahili atau diusili ia akan marah dan mengamuk. Jika sudah seperti itu hanya 'es' lah yang bisa menurunkan emosinya. Ube si paling pencinta es yang dingin-dingin segar mantap betul. Mereka pun berakhir kejar-kejaran seperti kucing dan tikus.

Beberapa kali membuat rusuh kelas tetangga yang juga lagi jam kosong hingga hampir berpapasan dengan seorang guru di tikungan. Sidhar yang di depan telah berhenti lalu mengintip di samping tembok, dan dengan tidak berakhlaknya Ube datang dari belakang ingin mengeluarkan suara emasnya untuk memarahi Sidhar.

"Mau--hmmp!" Dengan cepat Sidhar membekap mulut sahabatnya itu dengan telapak tangan yang meraup mulut hingga hidung, sampai-sampai Ube tidak bisa bernapas.

"Siapa di sana?!" Sialnya, guru itu mendengar sedikit suara Ube. Buru-buru Sidhar mengcosplay suaranya yang berbunyi ....

"Miiiaawwww!" Dan ... guru itupun tertipu! Hebat sekali kamu Sidhar, sangat mirip.

Mengembuskan napas lega, hingga perut Sidhar di sikut dengan keras. "Aduh, goblok! Sakit, bego ... mana belum sarapan, ck," decak Sidhar mengumpat.

Ube meraup udara dengan rakus, menatap Sidhar. "Gue nggak bisa napas, Babi! Gila lo, ya, hih! Gemes banget pengen jadiin lo geprek," gemas Ube mengepalkan tangannya dan meninju telapak tangannya yang lain di depan wajah Sidhar.

Sidhar cengengesan menunjukkan gigi-gigi rapi miliknya. "Dahlah ... kantin skuy!" Sidhar merangkul Ube yang mendengkus, tetapi juga ikut jalan ke kantin, karena diseret.

"Eh, itu ada yang bolos, tuh! Wah, nggak bisa dibiarin kayak gitu!" Ube bersuara melihat ada gerakan-gerakan tidak biasa dibalik semak-semak.

"Dih, ogeb! Lo pikir kita ngapain? Sama aja bolos. Walaupun emang gurunya nggak dateng." Sidhar mengamati orang yang lagi mengendap-endap itu dengan saksama. "Kok gue ngerasa familiar banget, ya, sama tuh bocah?"

"Itukan Asha, goblok! Wait ...."

"ASHA!!" kaget serempak Sidhar dan Ube.

Sidhar dan Ube lalu saling tatap. Semacam benang tidak kasatmata terhubung dari mata ke mata seolah-olah menyalurkan ide, lalu tersenyum penuh arti. Mereka berdua berjalan pelan ikut mengendap-endap, tetapi terkadang bersembunyi di balik tembok, pintu, semak-semak, tong sampah, ataupun pilar-pilar besar hingga sampai ke tujuan dengan aman, selamat, dan tentunya tidak ketahuan.

__Asha Note's__

Beralih ke Asha yang mengintip dari balik pohon melihat guru itu sudah tidak di sana, Asha mengembuskan napas lega dan bergumam, "Huh ... untungnya nggak ketahuan." Mengelus dadanya yang berdebar.

"Kata siapa?"

Jantung Asha serasa jatuh ke perut mendengar suara di belakangnya. Dengan gugup dan gemetaran, Asha berbalik cepat lalu jatuh terduduk di bawah pohon. Mendongak menatap dua orang yang tersenyum miring--memandanginya dengan menyebalkan--kesal dari balik kacamata hitam yang ia kenakan. Tiba-tiba dapat Asha rasakan kepalanya berputar, rasanya sakit, seperti berkilo-kilo gram batu menghantam keras.

Pandangan Asha kabur, telinganya berdenging sebelum kepalanya terasa sangat berat dan semuanya gelap.

__Asha Note's__

"Ssshh ...." Asha mendesis lalu tangannya bergerak meremat rambut. Matanya terbuka dengan pandangan kabur,

Cklek! (suara pintu terbuka)

"Astaga, Asha! Lepasin tangan lo!" Sidhar berlari dari luar ruangan UKS menaruh bungkusan plastik yang ia bawa ke atas meja, dan segera mencekal tangan Asha yang menjambak rambutnya sendiri.

"Lepasin! Lepasin! Arrgh ... sakit!" rancau Asha berontak tanpa membuka mata.

Sidhar kalang-kabut mencoba menenangkan sahabatnya itu. "Tenang, tenang, hey ... ini gue ... bukan mata lo, Sha! Tenang, okey?" Asha sedikit tenang membuka matanya yang berair.

Kedua tangan Asha di genggam hangat oleh Sidhar. Kepala Asha sakit, ingin sekali ia memukul, menjambak rambutnya atau bahkan membenturkan kepalanya pada apa pun benda yang keras. Selalu seperti ini. Sejak lama Asha merasakan sakit yang terus berulang setiap ia melalukan aktivitas yang cukup melelahkan.

"Tenang, okey? Mana yang sakit? Ini?" Sidhar dengan telaten memperbaiki tatanan rambut Asha selagi sang empunya melamun. "Loh, kok nangis?!" Melihat air mata Asha jatuh membuat Sidhar bingung.

Mengambil tisu dan mengelap pipi Asha yang basah. Dapat Sidhar lihat mata sahabatnya itu bengkak dengan kantung mata yang menghitam, Sidhar berpikir jika Asha menangis semalaman (?) Menatap Asha sendu. "Sha! Hey! Jangan bengong, dong ... lihat gue ... jangan nangis, okey? Itu mata udah bengkak jangan diperparah haduhhh--"

BRAKKK! (suara dobrakan pintu)

"LO APAIN ADEK GUE, ANJING!" Seorang remaja yang terlihat lebih tua dari Asha dan Sidhar mendobrak pintu ruangan UKS itu.

Menarik bahu Sidhar dan menjauhkannya dari Asha membuat Sidhar mengumpat--dalam hati tentu saja. Mengusap bahunya yang dicengkeram lalu ditarik tidak main-main, mengerucutkan bibirnya sebal.

"Asha, lo nggak pa-pa? Diapain sama ini Monyet, hmm? Biar gue hajar tuh Monyet nggak beradab. berani nyakitin lo. Sini lo Monyet! Beraninya nyakitin adek gue!" cerocosnya menatap Sidhar tajam.

"E-enggak! Bukan gue! Gue nggak nyakitin dia, kok, beneran! Sha, lo jelasin, dong ... sebelum gue jadi geprek di sini," pembelaan Sidhar.

"Halah! Pasti lo, 'kan yang buat adek gue sakit sampai nangis-nangis gitu! Ngaku lo, Bab--" orang itu mencengkeram kerah kemeja Sidhar yang terduduk di lantai dengan tangan satunya yang terangkat hendak melayangkan pukulan.

"Heol! Buset ... rame bener, ini kandang ayam, apa UK--S? Hehe ...." Ube yang baru datang tersenyum kikuk melihat adegan di depannya. "Ah! Tadi gue di panggil pak Sigit, duluan, ya!"

Dengan cepat Sidhar melepaskan tangan orang itu lalu bangkit berdiri dan menarik kerah belakang Ube yang hendak kabur. "Eeets, mau kemana, lo?"

Asha's Notes [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang