"Mbak Lara?"
Sepulang dari tempat ia bertemu Ube, Asha melihat sebuah motor dengan seorang laki-laki dan satu perempuan di depan gerbang rumahnya yang tertutup karena semua penghuni rumah Asha sekarang berada di luar, Asha mengenal perempuan itu, Lara.
Asha berjalan mendekati dua orang yang duduk di atas motor yang berhenti, benar, itu Lara dan seorang laki-laki yang tidak Asha kenal. Sekali lagi Asha memanggil, "Mbak Lara!"
Perempuan memakai hijab itu menoleh pada Asha yang tersenyum simpul, wajah Asha yang dikenalnya masih sama dengan beberapa tahun yang lalu ... atau mungkin lebih kurus. Perempuan yang dipanggil Lara itu segera bangkit dan langsung menubruk tubuh kurus Asha, membawa Asha dalam dekapannya. Perempuan berusia 25 tahun itu menangis, membuat Asha bertanya-tanya.
"Mbak Lara, sendirian ke sini? Ibuk Asih mana? Bukannya pulang kampung, ya? Kok, nggak balik sama Mbak?" pertanyaan Asha tertelan oleh isakan Lara yang masih di posisi yang sama membuat Asha semakin kebingungan.
Asha menatap seorang laki-laki yang bersama Lara meminta penjelasan, laki-laki itu menggeleng dengan wajah sendu lalu mendekat dan menarik pelan Lara dari pelukan Asha. "Lara ...," lirih lelaki itu.
Lara yang sudah terlepas dari Asha segera memeluk kembali lelaki itu. Menatap Asha, "Kita boleh, masuk? Nggak enak ngomong di sini," ucap lelaki itu tersenyum ramah.
Asha tersadar. "A-ah, iya, Asha nggak pegang kunci gerbang depan, jadi, mau nggak mau lewat pintu belakang, nggak pa-pa, 'kan?" Asha merasa tidak enak mengatakannya, tetapi itu kenyataan.
Kini mereka bertiga duduk di meja dapur karena Asha yang takut jika membawa dua orang itu ke ruang tamu, Asha tak berani mengambil risiko. Menuangkan dua gelas air putih, Asha memberikannya. "Maaf ... Asha cuma bisa ngasih air putih," ucap Asha.
Lara dan Bisma--suami Lara yang baru saja menikah kemarin, fakta yang membuat Asha terkejut atas berita itu tapi sekaligus senang. Lara menggenggam tangan Asha dan menuntun agar Asha duduk di sampingnya.
"Asha yang sabar, ya ... ikhlasin ibuk ...," suara Lara bergetar.
"Maksud Mbak? Ibuk?" Asha mempunyai firasat buruk tentang ini.
Lara kembali menangis, dengan tidak sabar Asha bangkit dari duduknya, memegang kedua pundak Lara dan sedikit mengguncangnya, Asha takut terjadi sesuatu kepada 'ibuk Asih'. "Ibuk kenapa, Mbak?" sergah Asha.
"I-ibuk meninggal, Sha ...."
Tubuh Asha melemas, dengan tangan gemetar ia mencari pegangan pada meja tapi malah menyenggol gelas hingga terjatuh dan pecah. Untuk sesaat, otak Asha berhenti berfungsi, waktu seolah melambat.
Pyarrr (suara kaca pecah)
"Asha! Asha ... Asha ...." Lara menjerit ketika Asha jatuh terduduk di lantai, Lara kembali memeluk Asha yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.
"Nggak mungkin! Ibuk nggak mungkin pergi ninggalin Asha!"
"Mbak ... Mbak, Lara, bilang sama Asha kalo, Mbak bohong, ibuk nggak mungkin ninggalin Asha 'kan, Mbak?"
"Ibuk mggak mungkin pergi 'kan?
"Mbak pasti bercanda!"
"BILANG SAMA ASHA KALO, MBAK LARA, BOHONG!" jerit Asha histeris dalam pelukan Lara.
__Asha Note's__
Setelah perjalanan yang cukup jauh, Asha, Lara dan Bisma telah sampai di kampung asal ibuk Asih.
Asha bersimpuh lemah di samping gundukan tanah yang masih basah, nisan putih bersih bernamakan 'Asih' tertancap nyata di pusara tersebut. Dengan derai air mata Asha menabur bunga.
"Kenapa ibuk, tinggalin Asha sendiri?"
"Asha nakal, ya? Maafin Asha."
"Maafin Asha ... selama ini Asha repotin ibuk, Asha nakal, Asha pembangkang, Asha nggak dengerin nasehat ibuk."
Ketika Asha kecil tengah bermain.
"Den Asha! Jangan lari-lari!" Suara wanita paruh baya yang berteriak memanggil anak majikannya yang sangat lincah berlarian ke sana kemari.
"Ibuuuuk! Ayo main kejar-kejaran sama, Asha!" Asha yang berumur 4 tahun itu mencoba memancing ibuk Asih untuk ikut berlari dengannya.
Ibuk Asih yang dengan umurnya yang sekarang sudah merasa kelelahan walaupun hanya berlari beberapa meter. Mengatur napasnya yang memburu, ibuk Asih duduk di samping sungai karena kelelahan. "Udah, ya, Den Asha ... ibuk nggak kuat kalo lari-lari," ibuk Asih mencoba memberi pengertian.
Kini mereka berada di taman yang lumayan ramai, seperti pada taman biasanya; ada banyak bunga warna-warni, kursi duduk, orang-orang yang berlalu-lalang, juga ada sungai buatan yang bersih terawat dengan air mengalir. Duduk di bawah pohon yang rindang dengan semilir angin yang menyapa.
Ibuk Asih melambaikan tangannya untuk memanggil Asha yang berdiri di bawah sinar panas matahari dengan cemberut menyilangkan tangan di depan dada. "Den Asha, ke sini! Di sini sejuk banget, loh ... daripada di situ 'kan panas ...." Ibuk Asih membujuk.
Mendengkus, dengan langkah lesu Asha berjalan ke arah ibuk Asih yang sedang menatap sungai. Asha memeluk leher ibuk Asih dari belakang. "Asha mau main ...," rengek manja Asha.
Ibuk Asih menuntun tangan Asha agar terlepas dari lehernya dan mendudukkan Asha di pangkuannya. Memeluk Asha kecil dengan gemas. "Ini, 'kan udah siang, Den ... nanti kalo Den Asha gosong gimana? Aden mau badannya gosong kayak bokong panci?"
Mempoutkan bibirnya, Asha menggeleng. "Yaa, enggak mau ... tapi 'kan Asha mau main kayak mereka." Asha menunjuk keluarga kecil yang bahagia tengah melakukan piknik kecil-kecilan di taman itu.
Keluarga itu terlihat sangat hangat, penuh canda tawa kebagiaan. Kenapa Asha tidak bisa seperti itu? Asha selalu melihat keluarganya juga melakukan itu ... tanpanya.
Ibuk Asih menepuk punggung Asha yang tengah melamun. "'Kan, Den Asha punya ibuk di sini ... ibuk bakalan sama Aden terus, ibuk nggak akan ninggalin Asha ... Aden jangan sedih, oke, pangerannya ibuk?"
Kembali saat ini
"Ibuk bohong! Ibuk bohong sama Asha ...."
"Ibuk bilang nggak akan ninggalin Asha, tapi sekarang ... ibuk justru pergi ke tempat yang Asha nggak bisa temui ...."
"Asha masih butuh ibuk ...."
"Asha harus sama siapa kalo ibuk nggak ada?!" Asha meraung histeris dan meremat gundukan tanah di sampingnya.
Tanpa aba-aba hujan mengguyur begitu deras seolah merasakan kesedihan Asha. Lara dan Bisa juga sama, mereka berada di samping Asha mencoba menenangkan anak itu. Hujan yang membasahi tanah membuat tubuh ketiga orang itu penuh lumpur.
"Asha ... Asha! Ayo kita pulang!" suara Lara teredam oleh hujan.
"Enggak, Mbak! Asha mau di sini! Asha mau di sini ... sama ibuk," bantah Asha.
Lara tidak tega melihat Asha yang seperti ini, meminta pada Bisma untuk membawa paksa Asha agar pergi dari pemakaman. Asha terus memberontak hingga tubuhnya perlahan melemas dan pandangannya yang dipenuhi air mata semakin mengabur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asha's Notes [Tamat]
RandomSudahi bucinmu, mari membaca kisah seorang lelaki remaja bernama Asha bersamaku! Sudah End, Tamat dan Selesai✔ Cerita Complete✔ *** Blurb: Akasha Adhyaksa, seorang anak laki-laki yang berkeinginan mendapatkan kembali perhatian keluarganya. Meskipun...