06

1.3K 83 0
                                    

"Asha tau kalo Abang yang hajar kak Reshan. Asha nggak suka itu!" Suara Asha memecah keheningan yang terjadi di antara ia dan Haiyan.

"Asha ... gue--"

"Diam! Udah berapa kali Asha bilang, jangan ikut campur urusan Asha. Abang kenapa, sih? Ikut campur mulu sama masalah Asha, sama urusan Asha? Ini masalah Asha! Biarin Asha selesain masalah Asha sendiri! Abang nggak usah ikut campur." Napas Asha memburu karena marah.

Asha kecewa pada Haiyan yang dengan tidak berpikir panjang menghajar Reshan. Bagaimanapun, Reshan adalah kakak kandung Asha. Tentu saja Asha marah ketika kakaknya dihajar, walaupun kakaknya juga salah tapi itu bukan sepenuhnya salah Reshan. Reshan hanya mencoba mengamankan diri dengan sedikit mengancam Asha waktu itu. Yeah, begitu.

"Gue lakuin ini karena gue sayang sama lo, gue mau lindungin lo, dan buat lo selalu bahagia ...." Haiyan menyayangi Asha seperti ia menyayangi adiknya sendiri. Haiyan tidak ingin hal yang terjadi pada adik kandungnya, terjadi juga pada Asha.

Hidup Haiyan tidak jauh berbeda dengan Asha, keluarganya bahkan hancur sehingga membuat adik Haiyan menjadi korban. Atas keegoisan orang tuanya, Haiyan harus kehilangan adik satu-satunya, orang yang sangat Haiyan sayangi. Haiyan gagal menjaganya, sampai ketika ia menemukan sosok rapuh Asha. Sejak saat itu, Haiyan bersumpah pada dirinya sendiri untuk melindungi Asha dengan sebisa mungkin. Entah kenapa setiap melihat Asha, Haiyan selalu melihat sosok adiknya itu pada diri Asha.

"Apa? Lindungin? Buat Asha bahagia? Asha udah bahagia! Asha bahagia kayak gini ... Asha bahagia bisa sama Abang dan yang lainnya ... Asha bisa jaga diri Asha sendiri." Asha tidak ingin melibatkan orang lain yang tidak bersalah masuk ke dalam masalahnya, cukup dirinya.

"Gue berhak buat lo bahagia, dan gue berhak lindungin lo, Sha," teguh Haiyan.

"Memangnya Abang siapa? Abang cuma orang luar yang ikut campur urusan hidup Asha! Berhenti, Bang ... Asha mohon ...." Dengan tatapan menyedihkan Asha memohon.

"Nggak bisa, Asha ...." Haiyan menggeleng pelan.

"Asha tau siapa yang selalu kasih informasi ke Abang ... berhenti, Bang ... jangan buat Asha semakin merasa bersalah ke dia." Asha menunduk, pikirannya dipenuhi oleh sosok dengan senyum cerianya.

"Asha ...."

"Jangan usik Damar buat cari informasi tentang Asha, Asha mohon," lirih Asha.

Haiyan mematung, bagaimana Asha tahu jika ia menggali informasi tentang Asha dari Damar? Mengingat hubungan kedua orang itu, Haiyan yakin mereka tidak mungkin untuk bercengkerama dengan leluasa.

"Gimana lo bisa tau?" tanya Haiyan.

"Itu nggak penting. Asha minta tolong sama Abang ... jangan ikut campur urusan Asha, lagi." Entah sudah berapa kali Asha memohon.

"Asha nggak mau libatin Abang ke masalah Asha. Asha hargai, Asha juga sayang sama Abang ... tapi nggak gini ...," jeda, "biarin Asha selesain masalah Asha sendiri, Asha butuh waktu."

Asha pergi dari tempat itu dengan rasa bersalah. Benar jika ketika kita marah apapun yang dilakukan pasti membuat kita menyesal. Asha menyesal telah mengatakan hal buruk kepada Haiyan, tetapi itu sudah berlalu. Asha membutuhkan waktu tenang sendiri.

__Asha Note's__

"Kalian bisa diam, nggak?! Kepala gue pusing dengerin lo berdua ngoceh nggak jelas. Kalian diam ... atau pergi?" pilihan dari Asha, "atau gue yang pergi," lanjutnya dengan nada datar.

Asha menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan di atas meja. Hari sudah sore, sudah waktunya para murid pulang ke rumah masing-masing, kecuali Asha yang masih enggan untuk bergerak dari tempat duduknya.

Sidhar dan Ube adalah teman yang setia, buktinya mereka masih setia pada Asha yang sudah memarahi mereka entah berapa kali seharian ini. Hal-hal sepele yang mereka lakukan selalu Asha permasalahkan. Ube dan Sidhar bahkan bergidik ngeri ketika menduga jika Asha PMS (pra me*struasi) yang biasa terjadi pada kaum hawa. Apa mungkin?

Sidhar menghela napas. "Asha ... kalo ada masalah itu diselesain. Pake kepala dingin buat mikir solusi dari masalahnya. Jangan lari dari kenyataan. Lo pasti ada masalah, 'kan? Oke ... Gue nggak minta lo buat cerita, tapi dengerin gue ...," jeda Sidhar menelan selivanya.

"Setiap orang punya masalahnya sendiri. Tinggal bagaimana cara menyelesaikannya, apakah dengan lari dari masalah bisa buat lo tenang? Nggak akan, Sha. Justru masalah itu bakalan terus usik dan ngejar lo. Hadapi masalah itu," lanjutnya.

"Betul!" setuju Ube.

"Yeu, Kampret! Bisanya 'betul' doang," cibir Sidhar menatap Ube.

Asha merenungkan nasihat Sidhar. Asha terlalu gegabah ketika mengambil keputusan untuk melabrak Haiyan. Niat Haiyan baik, Asha tahu itu. Namun, cara yang digunakan Haiyan salah, dan Asha tidak suka fakta itu.

"Asha tadi berantem sama bang Iyan ...," ucapan Asha mengundang keterkejutan Sidhar dan Ube.

"Kok bisa?" Ube bertanya.

"Dia abis hajar kak Reshan ...."

"Ya bagus, dong! Biar kakak lo itu kapok--Aduduh!" Lengan Ube dicubit keras oleh Sidhar yang melotot.

"Ngomong yang bener!" tegur Sidhar pada Ube.

"Sekarang udah sore. Mending kita pulang sebelum gerbang ditutup." Sidhar bangkit berdiri lalu menepuk dua kali punda Asha. "Lo harus pulang, dan lo bisa minta maaf sama bang Iyan besok. Jangan mikir yang berat-berat, gue tau kalo bang Iyan pasti paham situasi dan kondisi lo."

__Asha Note's__

Ketika menuju rumah, Asha melintas sebuah jembatan penyeberangan. Berhenti dan berjalan menuju pembatas jembatan.

Asha berdiri di pinggir jembatan menghadap ke barat yang memperlihatkan matahari senja berwarna jingga yang indah. "Senja itu indah, ya? Asha juga pengen kayak senja. Walaupun sebentar, tetapi kesannya mampu memberi kenangan yang membekas."

"Asha pengen ... suatu hari, Asha bisa rasain kehangatan keluarga, walaupun sebentar ...."

Hatchiu!

Asha bersin, Asha segera meraih sepedanya kembali dan mengayuhnya menuju rumah. Sesampainya di rumah, lagi-lagi sakit kepala serta mimisan itu kembali menyerangnya membuat Asha terduduk memijat keningnya di depan kamar. Tubuh Asha rasanya lemas seperti jelly, dan membuatnya tidak mampu bergerak.

"Arrgh! Sakit!" Meremas rambutnya frustrasi.

Menunggu beberapa saat, Asha lalu membuka pintu, masuk, lalu pingsan tengkurap di balik pintu yang tertutup dengan darah yang terus mengalir dari hidungnya.

Seseorang memperhatikan Asha sejak dari sekolah hingga memasuki kamarnya. Hati orang itu serasa diremas dengan kuat melihat keadaan Asha yang mengenaskan. Sebenarnya, Asha sakit apa? Orang itu bertanya-tanya. Meskipun ia mencoba untuk tidak peduli pada keadaan Asha, ia tidak bisa.

Orang itu tidak tau harus berbuat apa, ia selalu memperhatikan Asha secara sembunyi-sembunyi. Dari balik tembok, kaki orang itu melemas hingga ia terduduk lemah. Orang itu bertekad akan mencari tahu penyakit apa yang diidap Asha.

"Maafin kakak ... kakak bakal bantu Asha dapat maaf dari ayah sama bunda. Kakak janji!"

Orang itu kakak Asha, Reshan. Sejujurnya ingin sekali ia menghampiri Asha dan merengkuh sosok rapuh itu. Reshan tidak pernah membenci Asha. Tapi keadaan yang memaksanya untuk berpura-pura.

Asha's Notes [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang