20

892 53 0
                                    

Asha tersenyum sepanjang jalan mengingat jika kakaknya sekarang menjadi baik padanya. Sampai di rumah, Asha membersihkan diri lalu segera berbaring di tempat tidur, dengan kaki menggantung ke lantai. Asha menatap langit-langit kamarnya, membayangkan jika Reshan akan terus memperlakukannya seperti mereka kecil dulu, bukankah sangat indah? Asha tersenyum.

"Tadi dikasih hape sama Sidhar, gue taruh mana, ya?" Asha teringat oleh pemberian Sidhar.

Asha lalu bangun kembali dan mencari ponselnya di tas. Bengobrak-abrik isi tas yang ditemukan justru kotak makan kotor. Asha lupa di mana ia menyimpan ponsel itu. Asha memilih mencuci kotak makan dan botol air minumnya sembari mengingat-ingat.

Setelah mencuci tangannya, Asha kembali ke kamarnya. Melihat sekilas seragamnya yang tergantung dan seketika Asha menepuk pelan dahinya.

"Astaga! Tadi 'kan Sidhar ngasih hapenya di kantin. Abis itu gue kantongin. Astaga ... kok bisa lupa, sih?" monolognya.

Asha lalu merogoh saku jas-dan jaket-nya dan menemukan ponsel yang ia cari. Dengan berbinar lalu Asha meloncat ke kasurnya bersama si ponsel dengan posisi tengkurap.

"Nyoba, ah!"

Belum sempat Asha menghidupnya ponsel itu, tiba-tiba ponsel itu berdering membuatnya kaget.

Tertera nama "Sidhar Tamvans". Karena sebelumnya Sidhar sudah sedikit mengajari Asha bagaimana menggunakan ponselnya. Asha lalu menggeser tombol dengan ikon ponsel berwarna hijau, panggilan pun tersambung.

"Halo!" Asha menyapa.

"Akhirnya ... gimana? Udah bisa makenya, 'kan?" tanya Sidhar di seberang sana.

"Iya, udah bisa. Ternyata gampang-gampang susah, ya?" Asha menyahut polos.

Di seberang sana Sidhar tergelak pada kepolosan dan keawaman Asha memakai ponsel. "Ya, gitu. Oh ya, gue ngasih lo hape tapi chargernya lupa nggak gue kasih, haha," Sidhar tergelak dengan kebodohannya sendiri. "Besok hapenya lo bawa, ya. Besok gue ajarin lagi main game," lanjutnya membuat Asha bersemangat.

"Siap! Sekarang gue mau tidur. Capek plus ngantuk." Asha menyamankan posisi berbaringnya.

"Yaudah, coba matiin panggilannya. Teken tombol merah yang ada ikon telepon," suruh Sidhar.

"Pencet tombol merah yang ada gambar ikon telepon," Asha bergumam mengulangi apa yang diucapkan Sidhar. Setelah menemukan yang dicari, Asha lalu menekannya tanpa mengucapkan salam perpisahan pada Sidhar. "Oke, Sip!"

Asha menatap wallpaper dari ponsel layar sentuh itu. Di sana adalah fotonya bersama dua sohibnya; Sidhar dan Ube, foto bertiga dengan Asha di bagian tengah. Dengan senyum lebar dari masing-masing mereka. Foto itu diambil dua tahun lalu, di saat mereka sedang tour ke salah satu tempat wisata terkenal.

"Seperti kata Albert Einstein, 'Belajar dari kemarin, hidup untuk hari ini, dan berharap untuk besok.'."

Tik! (suara saklar lampu yang ditekan)

__Asha Note's__

Seseorang mengelus surai Asha yang tertidur lelap dengan sayang. Orang itu tersenyum teduh, ada jejak ketakutan di matanya yang sudah menua. Asha merasakan sentuhan di kulitnya membuat sang empunya terusik dan mengerjapkan mata agar terbuka.

"Ibuk?" Pandangan Asha buram tetapi ia merasa apa yang ia ucapkan itu tidak salah.

"Ibuk bangunin Asha, ya?" Asih tersenyum.

Asha mengucek matanya dan bangun lalu duduk berhadapan dengan Asih.

Asha menatap wanita tua itu yang sudah rapi dengan gamis dan kerudungnya heran. "Ibuk kok udah rapi? Ini masih pagi banget, loh. Ibuk mau ke pasar?" bingung Asha.

Asih merapikan surai Asha yang berantakan dan menggeleng. "Enggak, sebenernya ibuk mau pamit sama Asha."

Kedua alis Asha terangkat. "Ibuk mau ke mana?" tanyanya.

"Ibuk harus pulang. Maaf, ya, Asha ibuk tinggal lagi."

"Asha boleh ikut?" Entah kenapa Asha refleks bertanya demikian.

Asih kembali menggeleng dengan raut tegas. "No. Nanti sekolah Asha gimana? Katanya Asha mau ikut olimpiade, 'kan?"

Asih ingat ketika Asha dengan raut bahagia pulang dari sekolah, memberitahu dirinya jika Asha terpilih mengikuti olimpiade antar sekolah bersama temannya.

"Ibuk nggak akan lama, 'kan?" Kali ini Asha yakin jika firasatnya merasa tidak enak. Menatap raut Ibuknya itu seakan-akan Asha tidak akan nelihatnya lagi.

"..." Asih diam tak menjawab.

"Asha mau anterin ibuk ke stasiun, nggak?" tanya Asih.

Ingin sekali Asha mengatakan iya, tetapi ia teringat jika hari ini harus berangkat pagi-pagi sekali. "Asha ... nggak bisa, Buk. Hari ini Asha harus berangkat pagi," lirihnya menunduk.

Sungguh, perasaan Asha berperang antara ia mengantar Ibuknya itu atau berangkat sekolah.

Asih mengangguk maklum. Asha itu murid rajin dan disiplin, itu bagus. "Gitu, ya? Yaudah, Asha sekolah yang pinter, ya. Jangan bandel-bandel. Asha juga jangan lupain kewajiban Asha sebagai makhluk ciptaan Yang Kuasa," nasihat Asih.

Asha mengangguk. "Tentu. Ibuk nggak akan lama, 'kan, di kampung? Jangan lama-lama ... nanti Asha rindu." Asha memeluk Asih sayang.

Kali ini Asha sangat berat melepas Asih pergi, begitupun dengan Asih. Asha pun menangis di pelukan Asih.

Asih menepuk punggung Asha. "Jangan rindu, berat. Kamu nggak akan kuat, biar Ibuk aja," ucap Asih menirukan kata-kata dari film di TV.

"Kapan-kapan Asha harus ke rumah ibuk, ya. Nanti ketemu sama anak ibuk. Asha bisa liburan ke sana." Asih mengelap air mata Asha. "Asha suka pantai, 'kan?"

Asha mengangguk.

"Kenapa ibuk nggak pulang besok aja? Nanti Asha anterin," Asha menawar membuat Asih tertawa.

"Nggak bisa, dong, gantengnya Ibuk." Jeda. "Asha di sini harus bahagia, hm? Asha harus berusaha mendapat maaf dari ayah dan bundanya Asha. Asha nggak mau, 'kan, jadi anak durhaka?"

"Asha udah berusaha ... tapi mereka nggak mau maafin Asha. Kenapa Asha nggak jadi anaknya Ibuk aja?" celetuk Asha membuat Asih kembali tertawa.

"'Kan sekarang Asha udah jadi anaknya Ibuk yang paling pinter dan ganteng."

"Asha nanti sarapan, ya? Ibuk udah bikinin ikan bakar kesukaan kamu. Ibuk juga udah siapin bekal dan jus mangga kesukaan kamu juga," kata Asih membuat Asha terdiam.

Asih melihat Asha yang tidak seperti biasa, biasanya Asha akan bahagia dan matanya berbinar mendengar Asih membuatkannya makanan dan minuman kesukaan anak itu, dibuat heran. "Asha nggak seneng?"

Asha segera menggeleng. "Asha seneng, kok."

Kini Asha dan Asih berada di depan pintu.

"Ingat kata Ibuk. Kalau Asha punya masalah, hadapi, oke? Jangan lari dari masalah, karena semakin kamu menghindar, masalah akan semakin bertambah banyak."

Asih sangat tahu bagaimana kebiasaan anak itu yang memilih untuk menghindar daripada menghadapi ketika punya masalah.

"Ibuk jangan pergi lama-lama. Asha nggak bisa hidup tanpa Ibuk--"

"Sssst! Asha bisa dan harus bisa hidup mandiri. Asha ... ibuk udah tua, ibuk nggak akan bisa terus bersama Asha. Asha harus mandiri," ucapan Asih terhenti karena Asha memeluknya.

"Jangan ngomong gitu ...," rengek Asha.

Asha's Notes [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang