34

845 39 1
                                    

"Dhar, ambil lemnya!" perintah Haiyan dengan mata masih terpaku pada lubang kecil di depannya. Pantas saja, kasur angin itu kempes ternyata ada lubang di sana.

Alis Sidhar mengerut atas apa yang Haiyan kerjakan, tetapi akhirnya melakukan apa yang diperintahkan. "Nih," ucapnya sambil menyodorkan sesuatu pada tangan Haiyan yang menengadah.

"Kok koyo, sih, Dhar?!" kejut Haiyan dengan mata melolot pada Sidhar, membolak-balik barang tipis di tangannya heran, "gue tuh butuh lem, bukan koyo!" lanjutnya membantibg koyo ke lantai keras.

"Lah, nggak ada lem di sini," jelas Sidhar apa adanya.

Darah sepertinya sudah mulai naik ke pelipis Haiyan. "Ya beli, dong!" kesalnya.

Pasalnya, sekitar hampir 2 jam Haiyan memutarbalikkan kasur angin yang telah ia gunakan setiap malam menemani Asha di rumah sakit itu tiba-tiba kempes. Karena itulah Haiyan merasa lelah, pusing, dan emosian ketika tidak menemukan lubang yang membuat si kasur kempes.

"Tadi pas di toko kenapa nggak beli sekalian?" heran Sidhar.

Tadi, setelah melihat kasur angin itu tidak lagi mengembang, keduanya pergi ke toko untuk membeli beberapa alat guna menambal kasur angin secara mandiri, berguru pada google tang serba tahu.

Kerutan di dahi Haiyan semakin dalam
"Lo nggak ingetin gue!" ngegasnya.

"Lah, lo nggak bilang sama gue!"

"Kalian berdua berisik banget, sih!!!" bentak Asha yang tidurnya terganggu karena ulah Haiyan dan Sidhar.

Keduanya langsung kicep.

Hari ini Haiyan dan Sidhar sebenarnya datang kemalaman. Asha yang sudah terlelap akhirnya terganggu oleh kegaduhan yang kedua orang itu buat karena tidak tahu cara menambal si kasur angin yang bocor.

Setelah kasur itu kembali mengembang atas bantuan koyo--mungkin tidak akan bertahan lama, tetapi yang paling penting sekarang bisa digunakan. Sekarang mata Asha sulit terpejam lagi, ia memilih memandangi langit-langit ruangan serba putih itu.

"Oh ya, Ube kemana, ya, Dhar? Semenjak gue di sini, gue nggak pernah lihat tuh anak, suaranya pun nggak denger. Kalian nggak ngajak dia jengukin gue?" tanyanya tiba-tiba.

Di beberapa kesempatan, hanya Haiyan, Reshan, Sidhar, dan juga Naren yang mengunjunginya. Hanya 4 orang itu yang seting keluar masuk mengunjungi ruangan Asha selama 4 hari terakhir ini. Tidak pernah sekalipun Ube datang bersama mereka. Asha jadi terheran-heran ke mana perginya Si Ube.

"Anu ... itu ... dia ...." Sidhar gelagapan sendiri karena pertanyaan Asha. Ia menatap Haiyan seolah berkata, "ini gimana, Bang?! Gue harus ngomong apa?!" Sambil menggaruk belakang kepalanya.

Mata Haiyan sempat berkedip bingung akan memberi jawaban apa pada Asha.

"Anu apa? Yang jelas lo ngomongnya." Asha mengernyitkan dahinya karena jawaban tidak jelas yang Sidhar berikan.

"Ube lagi ke rumah tantenya, katanya ada kepentingan, gitu ...," kilah Haiyan cepat menyahut ketika Sidhar hanya membuka dan menutup mulutnya ragu.

Sidhar sempat menahan napasnya kembali menatap Haiyan--yang meletakkan telunjuknya di depan bibir--yang ia tahu dengan jelas perkataan barusan itu kebohongan.

Asha tidak melihat interaksi mencurigakan dua orang yang merebahkan diru di atas kasur angin itu. Asha merasa sedikit kecewa, tetapi ia tahu setiap orang punya kesibukan masing-masing, tak terkecuali Ube. "Oh, oke," sahutnya.

"Tidur, Sha," titah Haiyan agar Asha tidur.

"Mhm," gumam Asha dengan mata sebening kaca itu menatap kelambu hijau yang menutupi jendela. Perlahan terpejam.

"Dhar, temenin gue ngerokok, yuk!" ajak Haiyan berbisik.

Sidhar mengangguk dan bangkit dari duduknya, mengantongi handphone di saku jeansnya, dan bergegas menuju pintu. Kemudian keduanya berjalan keluar untuk merokok sebentar.

Tanpa keduanya sadari kalau Asha masih belum tertidur. Sang empunya segera membuka mata, memandangi pintu tertutup.

"Kenapa perasaan gue nggak enak, ya? Rasanya kayak ada yang mereka sembunyikan? Tapi apa?" Mata Asha tenggelam memikirkan apa yang mungkin disembunyikan Haiyan dan Sidhar.

__Asha Note's__

Genap satu minggu Asha menginap di rumah sakit. Kemain sore, teman-teman sekelasnya datang menjenguknya, juga beberapa guru yang ikut menjenguk Asha. Satu minggu ini juga Asha seperti raja yang selalu dilayani pelayannya 24 jam penuh. Ekstra kasih sayang sang ayah dan kakak kandungnya.

"Ayah ... Asha mau pulang. Asha udah sembuh, loh," ucap Asha manja pada ayahnya.

Menaikkan sebelah alisnya. "Eumm ... nanti tanya Dokter dulu, ya," kata Naren lembut membersihkan sudut mulut Asha dengan tisu setelah sarapan pagi.

Senyum Asha mengembang hingga memunculkan dua bulan sabit di kedua matanya. "Makasih, Ayah."

"Sama-sama. Oh ya, ayah mau lihat kondisi Damar dulu sebentar, hm," pamit Naren.

"Asha ikut, ya? Sekalian Asha mau jalan-jalan ke luar." Asha turun dari brankarnya berjalan mendekati Naren. "Ayuk!" ajaknya menggandeng lengan ayahnya itu.

"Hati-hati!" wejang Naren takut ketika melihat anaknya itu sangat bersemangat.

Untungnya Damar anak yang kuat. Setelah menderita bertahun-tahun akibat hanya memiliki satu ginjal, operasi akhirnya dilakukan. Kini Damar memiliki dua ginjal genap dalam tubuhnya.

"Sehat selalu, Dek."

__Asha Note's__

Dua hari berlalu Asha telah pulang ke rumah, dengan syarat menjaga pola makan, pola tidur, dan pola hidup yang teratur. Juga setiap satu minggu sekali ia harus kontrol ke rumah sakit guna memantau kondisinya yang belum pulih sempurna.

"Asha!" panggil Naren di dekat mobil.

Asha berjalan cepat keluar dari rumah. Wajah Asha bersinar, matanya berbinar, senyum manisnya merekah di bibir pucat anak itu. "Asha udah siap. Ayah jadi nganter, 'kan?" tanyanya.

"Tapi kamu pucat banget. Jangan sekolah dulu, ya? Kita tunggu beberapa hari lagi?" Naren khawatir pada Asha.

Senyum Asha merosot seketika. "Ayah ... Asha sehat, kok. Asha kangen sekolah ...." mohon Asha.

Naren mengelus poni Asha. "Yaudah, oke. Ayo naik!" ajaknya.

Sesampainya di sekolah Asha disambut senyum teman-temannya, tidak terkecuali Haiyan dan Sidhar meskipun masih tanpa Ube.

"Ube punya kepentingan apaan, sih, Bang? Kok lama banget."

Haiyan mengedikkan bahunya. "Nggak tau."

"Dia nggak ada kabarin kalian, gitu?" tanya Asha lagi.

"Nggak ada. Lo gimana?" sahut Sidhar.

"Ya, sama. Sempet gue telepon waktu itu, tapi nomornya nggak aktif. Kalian nggak mau nyari? Gue takut terjadi apa-apa sama dia."

Haiyan mengembuskan napas. "Iya nanti kita cari. Sekarang yang penting itu kesehatan lo. Gue nggak mau, ya, lo sampai masuk rumah sakit lagi," papar Haiyan yang diangguki Sidhar.

"Hmm, oke!"

__Asha Note's__

Satu bulan waktu bergulir.

Saat Asha sedang melewati bangunan tua yang sebagian sudah roboh di pinggir jalan, matanya melihat sosok familiar yang muncul dari tempat itu, lalu berlalu bersama motornya berpapasan dengan mobil yang sekarang Asha dan Naren kendarai

"Ayah, berhenti! Berhenti dulu," ujar Asha tiba-tiba hingga Naren memberhentikan mobil mendadak.

"Ada apa?" panik Naren bertanya.

Asha's Notes [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang