25

845 47 0
                                    

Keesokan harinya, badan Asha menggigil hingga giginya saling bergemeletuk. Peluh keringat dingin sebesar biji jangung meluncur deras mengalir dari pelipisnya. Bibirnya pucat pasi, dan matanya terhias lingkaran yang menghitam akibat kekurangan tidur.

Asha tidur meringkuk, memeluk tubuhnya sendiri agar tidak kedinginan. Bahkan ia memakai tiga selimut sekaligus. Meskipun begitu, rasa dingin itu masih ada seolah-olah menempel dan tidak mau lepas.

Kemarin, Asha pulang dari rumah sakit tepat setelah adzan Subuh, sampai di rumah. Diantar oleh Sidhar dan Ube, dan akhirnya bonceng tiga. Awalnya Asha menolak, ia bersikukuh akan pulang sendiri, karena tak mau merepotkan kedua temannya itu. Namun tentu saja, tolakkan Asha tidak digubris sama sekali.

Pusing, seperti baru saja turun dari wahana rollercoaster, serta nyut-nyutan seperti akan meledak menjangkit kepala Asha tiba-tiba. Asha meremas dan menjambak rambutnya karena saking sakitnya.

Asha yang merasa kesakitan mencoba mengulurkan tangannya meraih pil yang sudah ia siapkan di meja samping ranjang jauh-jauh hari, karena beberapa minggu terakhir selalu kumat. Meraba-raba meja mencari pil itu, sampai akhirnya ia menemukan satu, langsung ia ambil.

Asha segera membuka bungkus pil dengan sembarangan dan menelannya tanpa bantuan air putih sama sekali. Walaupun sulit dan tidak terbiasa, ia harus menelannya.

Kedua tangannya masih meremas rambut, berharap rasa sakit yang datang itu segera menghilang. Namun jujur saja, jambakan atau remasan pada kepalanya tidak mengurangi rasa sakit sedikitpun.

Asha mencoba tenang, mengatur napasnya yang ngos-ngosan untuk kembali normal. Ia juga mengelap peluh keringat yang membanjiri wajah hingga badannya.

Beberapa saat berlalu, napas Asha yang tadinya sangat berat dan memburu kini terasa lebih ringan karena efek pil itu mulai bekerja. Merasa sedikit lebih baik, Asha mencoba bangun, matanya berkedip-kedip sesaat agar pandangannya tidak kabur.

Asha bangkit, menuju lemari untuk mengambil seragamnya. Hari ini akan ada pengumuman hasil Olimpiade, dan Asha harus hadir sebagai pemeran utamanya.

Tak!

"Shh!" desis Asha ketika jari kelingking kakinya tidak sengaja menabrak kaki pintu.

Asha memasuki kamar mandi. Sebenarnya ia tidak mandi, hanya mencuci wajah dan menyikat gigi, karena Asha tidak yakin ia bisa pergi ke sekolah jika mandi, mengingat ia baru saja sembuh dari menggigil.

Asha segera mengganti bajunya dengan seragam dan buru-buru ia merapikan rambut dan memakai parfume sedikit lebih banyak. Tidak lupa ia juga memakai hoodie (sebenarnya itu menyalahi aturan sekolah, tapi Asha tidak pikir panjang). Jika disuruh lepas hoodie, ya, dilepas, itu prinsipnya.

Asha keluar dari pekarangan rumah dan berjalan beberapa meter hingga sampai ke pangkalan ojek, Asha lalu menyewa jasa dari satu-satunya tukang ojek yang sudah berada di sana.

"Pak, ke sekolah Harapan Bangsa," ucapnya dengan suara pelan.

Badan Asha lemah, ia baru saja tertidur kurang dari dua jam. Selain kurang tidur, ia juga kurang makan, sedari kemarin ia tidak nafsu makan, karena lidahnya yang terasa pahit. Andai saja bisa, Asha tidak ingin masuk sekolah hari ini.

"Adek kelas berapa?" Pertanyaan yang dilontarkan Tukang Ojek itu menyadarkan Asha dari melamun.

Tapi sayangnya, ia tak tahu apa yang ditanyakan tukang ojek. Jadi, ia hanya menjawab sekenanya. "Iya, Pak."

Si Tukan Ojek hanya mengangguk dan tersenyum. "Udah sampai," katanya setelah memberhentikan motor di depan gerbang sekolah.

"Ini, Pak, uangnya." Asha memberikan uang selembar 20 ribuan.

"Alhamdulillah ...," syukur si Tukang Ojek.

Asha yang terlihat pucat dan tidak bertenaga membuat mulut si Tukan Ojek gatal ingin bertanya.

"Kamu nggak pa-pa, Dek? Muka kamu pucat banget," ucapnya.

Asha sedikit linglung, mungkin akibat mengantuk. "Eh, hmm, nggak pa-pa, kok, Pak."

Ketika Asha hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba kakinya kesemutan membuatnya sedikit oleng.

"Eh, Dek. Hati-hati!" teriak si Tukang Ojek kaget. "Kamu bener nggak pa-pa?"

Refleks Asha menyeimbangkan tubuhnya agar tidak ambruk. "Eh, iya, Pak. Makasih. Saya nggak pa-pa kok, cuma sedikit pusing." Asha menegakkan punggungnya dan sedikit mengucek mata karena pandangannya mengabur. "Saya masuk dulu, Pak," pamitnya melangkah menjauh dengan sedikit menyeret kaki kanannya yang kesemutan.

__Asha Note's__

Kini, semua siswa-siswi Harapan Bangsa sudah berkumpul di halaman sekolah, yang biasa digunakan untuk upacara bendera. Beberapa ada yang bergerombol dan berbincang-bincang dengan teman, ada yang memasang tampang malas karena mengantuk, bahkan ada yang duduk lesehan. Itu semua karena menunggu pak kepala sekolah yang belum datang.

Sampai Pak Dian mengambil mikrofon. "Tes ...," memastikan mikrofon sudah menyala.

Nginggg!

Mendengar suara dengingan dari speaker, para murid pun hening untuk beberapa saat. Sampai suara Pak Dian kembali mengudara, "Dimohon untuk segera berbaris yang rapi!"

Para murid itu dengan malas berjalan dan membuat baris sesuai kelas masing-masing.

Melihat ke-tidak-semangatnya murid-murid itu, Pak Dian kembali berucap, "Ayo, cepat baris! Nanti keburu siang."

Seketika itu juga mendapat protes.

"Udah siang, Pak!"

"Pak, kok, lama banget, sih?"

"Pak, panas ...."

Mendengar rengekkan para murid itu Pak Dian hanya geleng kepala. Ini baru jam 8 pagi! "Sudah, sudah. Ayo cepetan baris!"

Pak Dian mengedarkan pandangannya, setelah semua berbaris dengan rapi, beliau pun akhirnya berdeham sebelum berpidato.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Yang terhormat Bapak Kepala Sekolah ... yang saya hormati seluruh Bapak Ibu guru dan staf karyawan yang bekerja, dan tak lupa para siswa ... yang saya cintai dan saya banggakan."

"Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan karunianya kepada kita semua, sehingga di hari Sabtu ini kita semua bisa berkumpul di sini tanpa ada halangan suatu apapun."

"Anak-anakku semua
Pada kesempatan pagi hari ini, ada beberapa hal yang hendak saya sampaikan. Yang pertama, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh petugas yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik."

"Sebenarnya, acara hari ini sangat mendadak karena tadi pagi, saya baru diinformasikan bahwa; dua anak yang mewakili sekolah kita ini, memenangkan Olimpiade, mendapatkan juara pertama dan sejumlah hadiah untuk sekolah."

Setelah suara Pak Dian jatuh, suara riuh bergemuruh memenuhi lapangan. Semua terkejut, tentu saja, sudah menjadi buah bibir tentang seberapa besar hadiah utama Olimpiade itu.

Pak Dian melihat para muridnya yang melotot terkejut pun tersenyum. "Kita panggil saja, AKASHA ADHYAKSA dan TAUFIK HIDAYATULLAH! Silakan maju ke depan."

"Beri tepuk tangan untuk mereka berdua!"

Ketika Asha dan Taufik berjalan ke depan, suara tepuk tangan dan sorakan mengiringi langkah keduanya. Ini akan menjadi sesuatu yang membanggakan.

Sampai di podium, Asha dan Taufik memberikan sepatah-duapatah kata sebagai penyambutan, dilanjut dengan penerimaan medali emas dan piala beserta sertifikatnya.

"Mungkin segitu saja acara pagi ini. Apabila ada kekurangan dalam menyampaikan amanat ini, saya memohon maaf sebesar-besarnya.

Wassalammualaikum warrahmatulahi wabarakatuh."

Pak Dian mengakhiri acara. Semua siswa-siswi kembali ke kelas masing-masing. Kecuali Asha, Taufik dan beberapa guru yang masih tinggal.

"Nak, kamu nggak pa-pa?"

Asha's Notes [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang