39

1.4K 60 0
                                    

Lara dan Bisma duduk di samping brankar Asha. Anak itu terbaring tidak sadarkan diri dengan napas pelan dan teratur. Warna kulitnya seputih kertas, jari-jari tipis yang berada di atas perutnya sangat ramping menonjolkan tulang-belulangnya.

"Andai mbak tau kamu kayak gini, mbak nggak akan beritahu berita duka itu, Sha." Air mata Lara kembali menetes hingga jatuh di atas tangan Asha.

Bisma di sampingnya menggenggam kedua pundak rapuh Lara menghibur. "Udah, Ra. Jangan salahin diri kamu terus. Semuanya udah terjadi. Berdoa aja semoga Asha baik-baik, Asha cepat sembuh, hm?" ujarnya berbisik pelan di telinga sang istri.

Kening Asha mengkerut, jari telunjuknya sedikit bergerak pertanda ia sudah siuman. Matanya terbuka sedikit. "Mbak Lara ...," panggil Asha meskipun terhalang nasal kanul.

Lara mendengar bisikan samar itu sangat bahagia, bergegas mendekatkan telingannya agar bisa mendengar apa yang ingin Asha bicarakan. "Iya ... ada apa, Asha?" tanya Lara penuh pengertian seraya mengelap lelehan air mata di pipinya.

"Hp ... telepon ... bang Iyan ...," ucap Asha dengan napas berat terputus-putus.

Asha mengatur napasnya yang berat sembari menunggu Lara melakukan apa yang ia katakan. Meskipun kepalanya pusing, kantuk yang memberatkan kelopak matanya semakin besar, tetapi ia coba tahan untuk menunggu sebentar lagi.

"Udah ... sekarang Asha mau apa lagi?" Sesekali Lara mengelap air mata yang terus berjatuhan ke pipinya.

"Bunda ...."

Satu kata, tanpa penjelasan apa pun, Lara paham yang Asha maksud. Lara mencari kontak atas nama "Bunda" di handphone Asha. Namun, nomornya tidak aktif. Karena ia tidak tega membuat Asha kecewa, Lara berganti menelepon Naren.

Mata Asha rasanya berat sekali, ingin ia memejamkannya dan tidur. Namun ia takut, setelah memejamkan matanya, ia tidak akan bangun lagi. Asha juga belum bisa tenang sebelum kata "ikhlas" terucap oleh orang-orang yang disayangi.

Dua puluh menit berlalu. Mata Asha perlahan berkedip mencoba mengusir kantuk yang terus menyerang. Tidak lama sosok jangkung mengenakan kaos oblong berwarna putih dan jeans pendek hitam tiba. Sosok itu membuat binaran mata Asha sedikit hidup.

"Asha ...." Deru napas Haiyan tidak teratur akibat berlarian di sepanjang lorong rumah sakit.

"Bang ... Iyan." Asha tersenyum manis.

Lara mempersilakan Haiyan untuk duduk di kursi, sedangkan ia dan Bisma keluar dari ruangan untuk menelepon Naren lagi, karena panggilannya sempat di tolak.

Haiyan bungkam. Pemuda itu menggenggam tangan kanan Asha, tetapi mulutnya tidak mampu berkata-kata. Rasanya kalut, pikiran Haiyan kacau setelah mendapat telepon dari Lara tadi mengenai keadaan Asha.

Mata Asha sendu, ingin ia mengatakan semua hal yang membuat hatinya sesak, banyak sekali. Namun yang keluar hanya satu kalimat. "Asha capek ...," lirihnya dengan suara putus asa.

Haiyan terdiam, tubuhnya seketika merinding mendengar Asha berkata demikian. "Sstt ... kalau kamu capek, istirahat, ya. Jangan pernah berpikir buat menyerah," kata Haiyan mengenyahkan pikiran buruk dari otaknya.

"Asha capek ... Asha udah nggak kuat lagi. Maafin semua kesalahan Asha, ya. Maafin karena Asha udah repotin Abang selama ini." Asha mengerjapkan mata hingga cairan bening itu kembali merembes keluar.

"Tadi Asha mimpi ketemu sama Ibuk (Asih). Asha kangen sama Ibuk ... biarin Asha pergi kumpul sama Ibuk lagi, ya?" Asha terisak, lelehan air mata terus merembes membasahi bantal di bawah kepalanya. "Asha capek."

Hidung Haiyan memerah, matanya terasa panas, tetapi ia berusaha tahan. "Jangan ngomong gitu, ya, Adeknya abang ... kamu tau abang udah pernah kehilangan adek satu kali. Abang nggak mau kehilangan kamu lagi ...," lirihnya.

Asha memalingkan wajahnya, menatap alat pendeteksi jantung yang menjalankan tugas. "Setiap yang hidup pasti akan mati, Bang. Sekuat apa pun berusaha menghindar, kalau memang udah waktunya, kita nggak bisa lari."

Asha mengangkat tangan kirinya, meskipun berat, ia meletakkannya di atas tangah Haiyan, dan menggenggamnya lemah. "Mau percaya atau enggak, tapi Asha rasa waktu Asha nggak banyak lagi. Bisa minta tolong?"

Haiyan diam-diam mengangguk. "Bilang. Asha mau abang bantu apa?"

Asha tersenyum simpul.

__Asha Note's__

"Mohon maaf, Pak Naren. Putra Anda sudah mendapat pertolongan pertama dari kami. Namun untuk hasil yang meyakinkan, Anda harus membawanya ke luar negeri. Harapan kami adalah agar putra Anda bisa mendapat perawatan yang lebih intensif," jeda, "kebetulan 30 menit lagi akan ada pesawat yang mengantarkan pasien lain ke sana. Apa Anda berminat untuk pergi bersama mereka?" lanjut Dokter.

Naren termenung sesaat. Namun saat itu juga Allina tanpa pikir panjang langsung menerima tawaran dokter.

Keluar dari ruangan, Naren sedikit tidak setuju pada Allina.

"Kenapa kamu setuju saran dokter tadi?"

"Memangnya kenapa? Yang dokter tawarin itu bagus, biar Damar bisa sembuh lebih cepat," jawab Allina.

Kalau Damar dibawa ke luar negeri, otomatis Naren dan Allina harus ikut menjaga sang putra. Lalu bagaimana Naren bisa memantau keadaan Asha? Sangat jelas putranya itu juga sedang sakit. Meskipun beberapa waktu ini Lara selalu mengabarinya perihal kondisi Asha, tetapi ia juga tidak bisa mengandalkan Lara terus-menerus.

"Ayo, Mas. Kita harus siap-siap sebelum nanti berangkat." Allina berjalan lebih dulu.

Naren menatap punggung ringkih istrinya yang kian menjauh. Dirinya merasakan dilema yang sangat berat, bimbang. Pikiran Naren seperti terombang-ambing oleh masalah yang datang tidak kira-kira.

__Asha Note's__

Hoek!

Asha memuntahkan seteguk darah merak pekat dari mulutnya. Bau anyir langsung mengudara serta rasa besi di mulutnya membikin ia harus cepat-cepat berkumur.

Asha berdiri di depan wastafel. Kedua tangan yang menopang tubuh kelasnya mencengkeram pinggiran wastafel erat-erat. Tepat di seberangnya, wajah putih seorang remaja tergambar. Mata sayu berkantung tebal dan menghitam, kulit pucat pasi, bibir kering, dan rambut acak-acakan.

Sigh!

Asha memalingkan wajahnya dari sosok mengerikan dari pantulan cermin itu. Kemudian Asha berpaling pergi menjauh.

Di luar kamar mandi, Haiyan datang dengan jantung yang seperti jatuh ke perut kala tidak mendapati Asha di tempat tidur. Panik bukan main.

"Asha kamu di mana?!" teriaknya mencari di setiap sudut ruangan.

Sampai saat ia akan membuka pintu kamar mandi, kamar mandi itu terbuka dari dalam.

"Asha ...," lega Haiyan, tetapi langsung dipotong oleh Asha.

"Bantu Asha," ucap Asha mengulurkan tangannya.

Dengan sigap Haiyan menenteng plastik permintaan Asha di ujung jarinya, lalu meraih lengan Asha untuk di bantunya.

Sampai di ranjang, Asha menagih permintaannya sambil tersenyum kecil.

"Abang keluar dulu, ya?" mohon Asha.

Dengan tegas Haiyan tentu saja menolak. Ia takut meninggalkan Asha. "Nggak!" tolaknya.

"Yaudah, kalau gitu abang tutup mata," ucap Asha menyerah.

Sejujurnya Haiyan bingung apa yang akan Asha lakukan, tetapi ia memilih menurutinya saja. Sambil memejamkan mata, sambil Haiyan menata hatinya untuk menerima segala yang menjadi takdir, meskipun pahit.

Asha's Notes [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang