26

854 46 1
                                    

"Nak, kamu nggak pa-pa? Wajah kamu pucat banget," ucap Bu Kina melihat Asha yang terlihat tidak sehat. Ibu guru itu menatap Asha tanpa berkedip beberapa detik.

Asha menggeleng kecil. "Nggak pa-pa, kok, Bu. Terima kasih atas perhatiannya," ucap Asha sopan dan tersenyum, walaupun terkesan dipaksakan.

"Beneran?" Bu Kina merasa tak percaya. "Kalo lagi nggak sehat, ke UKS, ya? Wajah kamu beneran pucat banget, loh, ini." Wanita paruh baya itu terlihat khawatir dengan kobdisi tubuh Asha yang tidak fit.

Asha hanya mengangguk mengiyakan, dirinya terlalu lemas untuk berkata. Jujur saja, saat ini kepala Asha terasa sangat berat, bahkan telinganya sedikit berdenging, dan pandangannya mulai mengabur. Asha mencoba berkedip-kedip untuk menormalkan pandangannya.

"Shh ... sakit banget, sih," lirihnya sembari memijit pelipisnya.

"Asha! Wah, congratulation! Adeknya abang hebat banget!" seru Haiyan dari arah samping berjalan mendekati Asha, bersama Sidhar dan Ube.

"Temen gue, tuh!" ujar Ube terlihat bangga, yang lebih condong ke sombong.

Sidhar mengerlingkan bola matanya. Tangannya juga tidak diam untuk meraup wajah pongah Ube. "Yeu! Sombong amat! Baru temen lo, bukan elo-nya yang menang. Nggak usah sombong!"

"Sirik aja, lo!" lontaran kata dari mulut Ube.

"Lo tau, nggak? Orang sombong ntar jadi kecebong. Mau lo jadi kecebong?"

"Apa, sih. Nggak jelas. By the way, gue udah pernah jadi kecebong sekali," balas Ube.

"Sstts! Diem lo berdua!" perintah Haiyan merasa telinganya panas dengan celotehan dua orang di belakangnya.

Atensi Haiyan kembali pada Asha yang masih menunduk tidak merespon, Haiyan memegang pundak bocah itu. "Are you okey?" tanyanya.

"Sakit ...," lirih Asha langsung pingsan di pelukan Haiyan.

Haiyan yang siap ditubruk Asha yang tidak sadarkan diri pun akhirnya terjengkang. "A-sha!" teriaknya.

"Asha! Asha! Lo kenapa?!" panik Sidhar dan Ube membantu Haiyan mengangkat Asha.

"Asha kenapa, Bang?!" tanya Ube.

"Ya, gue nggak tau!" jawabnya jujur.

Mereka bertiga kalang-kabut. "Ke rumah sakit!" titah Haiyan, "pake mobil lo, Dhar."

Sidhar mengangguk lalu segera pergi untuk mengambil mobilnya di parkiran.

__Asha Note's__

"Nih bocah, adaaaa aja bikin orang jantungan. Lo sebenernya sakit apa, sih, Sha?" gumam Haiyan berdiri di depan kaca ruang Gawat Darurat.

Melihat ke dalam ruangan di mana Asha tengah memejamkan matanya dengan napas teratur. Juga, Dokter yang sudah selesai memeriksa sedang membereskan alatnya.

Ketika Dokter dan Perawat itu berjalan keluar, Haiyan juga berjalan mendekati pintu.

Cklek!

Pintu terbuka. Dokter langsung bisa melihat Haiyan bersama ekspresi cemas cowok itu.

"Bagaimana keadaan ... adik saya, Dok?"

"Adik? Apa kamu kakak dari pasien?" tanya Dokter itu.

Haiyan mengangguk dengan ragu. Entah   kenapa firasatnya tidak enak. "Iya, Dok. Apa adik saya baik-baik aja?"

"Mari ikut ke ruangan saya. Ada hal penting yang harus saya tanyakan." Dokter itu tersenyum tipis. "Mari!" ajaknya.

Keduanya berjalan bersama menuju ruangan Dokter, Fadli namanya. Ketika berjalan, benak Haiyan melayang jauh.

"Silakan duduk." Dokter Fadli mempersilakan Haiyan untuk di hadapannya.

"Jadi, bagaimana ... adik saya kenapa?"

__Asha Note's__

"Bang!"

Haiyan yang sedang melamun dibuat tersentak oleh panggilan seseorang yang baru datang. Haiyan mengucek pelan matanya melihat orang itu. "Oh, elo, Dhar."

Sidhar mengangguk dan ikut duduk di samping Haiyan.

"Keadaan Asha gimana, Bang?" tanya Sidhar.

"Dia tidur," jawab Haiyan menatap pintu yang tutup dengan pandangan rumit.

Sidhar memperhatikan gelagat Haiyan merasa janggal dan curiga. Haiyan yang biasanya selalu terlihat tenang di segala situasi dan kondisi, kini ia terlihat linglung seperti memikul beban yang sangat berada di kedua pundaknya. Apa yang terjadi?

Jujur saja, bagaimanapun Sidhar mencoba mengenyahkan pikiran buruk pada kondisi Asha, ia tidak bisa. Melihat Asha yang beberapa bulan terakhir, kesehatannya terus menurun. Sidhar orang yang peka, dia tahu jika ada yang disembunyikan.

Keduanya lalu kembali hening, bergelut dengan pikiran masing-masing. Sampai ketika Sidhar kembali membuka suara.

"Asha sakit apa?"

"Dia ... cuma kelelahan." Haiyan menjawab serta memalingkan wajahnya.

Sidhar tahu, Haiyan berbohong. Namun, ia kembali diam.

Mereka berdua dilanda keheningan untuk beberapa saat. Dengan keduanya berkecimpung bersama pikiran masing-masing, sebelum Sidhar membuka suara untuk ke sekian kalimya.

"Keluarga Asha ... apa mereka harus dikasih tau? Bagaimanapun mereka keluarganya Asha dan lebih berhak ngurus Asha yang sedang sakit."

Haiyan tersadar dan memikirkan apa yang baru saja Sidhar katakan, itu benar.

"Jangan!" Suara lirih seseorang yang mengejutkan Sidhar dan Haiyan. "Jangan kasih tau keluarga gue," lanjut Asha yang sedang berdiri di ambang pintu.

Sidhar dan Haiyan terbelalak segera mendekati Asha yang terlihat lemas tetapi masih memaksakan diri untuk berdiri.

"Maksud lo apa, Sha?" Sidhar tidak habis pikir.

"Jangan kasih tau keluarga gue, kalo gue sekarang lagi sakit. Gue nggak mau mereka khawatir, dengan keadaan Damar yang juga sakit, gue nggak mau buat mereka lebih khawatir." Meskipun Asha tidak yakin dengan apa yang ia katakan, paling tidak itu mewakili harapannya.

"Siapa yang suruh lo keluar?" geram Haiyan menatap tajam Asha yang kini menciutkan lehernya. "Balik ke dalam."

Asha menurut, Haiyan dan Sidhar mengawal di belakangnya.

"Dokter masih cari ruang rawat inap buat lo. Kita tunggu di sini sebentar lagi." Haiyan membantu Asha kembali terbaring di brankar.

Tidak lama seorang suster masuk dan memberitahukan jika Asha ditempatkan di ruangan yang berisi empat orang. Haiyan tak terima, tetapi memang hanya ruangan itu yang tersisa. Bahkan Haiyan berencana memindahkan Asha ke rumah sakit lain. Akan tetapi Asha menolak dengan alasan tak ingin merepotkannya lagi, juga Asha berpikir jika ia tidak akan kesepian dengan adanya tiga orang penghuni seruangan.

Mau tidak mau akhirnya Haiyan setuju dan Asha dipindahkan ke ruangan itu. Setelah mereka menunggu sebentar sambil mengobrol ringan, Haiyan dan Sidhar pamit untuk pulang.

"Tas gue biar sama lo aja, ya, Dhar. Lagian gue nggak lama di sini."

Sidhar mengangguk kemudia ragu-ragu bertanya, " Lo beneran nggak mau kasih tau mereka? Bagaimanapun mereka tetep keluarga lo."

Senyum Asha perlahan memudar, ia menunduk menyembunyikan raut menyedihkan di wajahnya dan berusaha menampilkan senyum terbaiknya. Asha mengangguk. "Jangan kasih tau mereka, gue bakal repotin lo," jeda Asha melirik Haiyan dan melanjutkan, "dan Bang Iyan buat ngurus gue di sini, makasih."

Sidhar mengembuskan napas pelan, Asha memang keras kepala. Ia mengangguk dan akhirnya kedua orang itu pergi. Asha masih duduk sebentar, Asha turun dari brankar menarik tirai kelambu berwarna hijau itu, lalu kembali. Perlahan ia memposisikan diri untuk berbaring dengan nyaman di brankar. Dengan pandangan kosong menatap langit-langit putih di ruangan itu sebelum kesadarannya menghilang akibat obat bius yang tersisa dari obatnya.

Asha's Notes [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang