40

2.2K 72 1
                                    

Tlang!

Pena dari genggaman jari-jari ramping Asha terjatuh ke lantai menimbulkan denting ringan di ruangan hening itu. Telinga Haiyan menegak. Haiyan yang mendengarnya segera membuka mata, hal pertama yang ia lihat adalah Asha yang kesakitan memegang kepalanya erat.

"Asha! Kamu ...," jerit Haiyan membantu memindahkan barang-barang di pangkuan Asha ke atas nakas.

"Sakit!" teriak Asha merasakan sakit yang begitu parah mendadak menyerang kepalanya, berdenyut kencang seakan-akan bisa meledak.

Tangan Asha memcengkeram kasar kepalanya. "Sakit, sakit, sakit ...," rancau Asha sambil menangis saking sakitnya.

Haiyan menahan tangan Asha yang mencoba melukai kepalanya; memukul, menjambak, meremas kepalanya. "Hey, hey, Asha ... jangan lukai kepala kamu. Dengerin abang ... dengerin abang," kata Haiyan tetapi sepertinya tidak digubris sama sekali oleh Asha.

Beberapa saat Asha berjuang melawan agar kesadarannya tidak hilang. Namun sangat ajaib, di detik berikutnya rasa sakit yang menyerang kepala Asha itu hilang seketika. Asha diam dengan napas tidak beraturan, ngos-ngosan, merenungi apa yang telah terjadi.

"Tenang ... tenang, Asha. Jangan bikin abang takut," lirih Haiyan sambil merapikan helai-helai poni Asha yang tidak karuan, pun mengelap keringat yang membasahi wajah anak itu dengan telaten.

Asha memejamkan mata, menegak selivanya kasar. Tenggorokannya kering.

Ketika membuka mata kembali, menampilkan bila mata sebening kaca itu dalam dan sendu. Panik dan gelisah yang sempat merajai mata bening anak itu telah hilang digantikan pacaran ketenangan yang dalam. Asha tersenyum. "Ikhlasin Asha, ya?" katanya tiba-tiba.

Haiyan lagi-lagi terdiam hingga beberapa menit berlangsung hening.

Asha berusaha meraih tangan Haiyan. Menggenggamnya meskipun lemah. Asha menatap kakaknya itu dengan mata merah berkaca-kaca. "Asha mau berterima kasih karena abang udah bantu Asha, abang selalu ada buat Asha, abang selalu ada di sisi Asha ... meskipun Asha bukan siapa-siapanya Abang."

"Asha adeknya Abang," koreksi Haiyan tegas.

Asha menarik napas dalam-dalam. Bulu mata Asha bergetar pelan. Dengan suara lembut dan tulus ia kembali berucap, "Terima kasih, Abang. Terima kasih karena abang bersedia menemani Asha dari dulu sampai sekarang. Maaf ... karena Asha belum bisa membalas kebaikan Abang. Maaf karena selama ini Asha belum bisa jadi sosok adik yang baik."

"... Ikhlasin Asha, ya?" katanya lagi mengulang.

"Enggak, Asha. Hidup kamu masih panjang. Abang panggilin Dokter." Air mata Haiyan akhirnya luruh.

Sayangnya, rumah sakit ini tidak menyediakan tombol darurat, sehingga Haiyan harus pergi keluar ruangan untuk menemui dokter.

Asha mencekal tangan Haiyan. "Jangan pergi ...," desahnya, suaranya mulai tercekat.

Napas Asha mulai memberat, seperti oksigen seolah tidak memihaknya dan memilih pergi. Pikiran Asha kabur, bingung. Keringat dingin mulai bercucuran dari pori-pori tubuh Asha. Tangan Asha terkepal saat rasa dingin membeku mulai membuat kakinya mati rasa.

Tidak lama pintu terbuka menampilkan seorang pemuda berjaket hitam, itu Sidhar. Sidhar mematung ketika melihat keadaan Asha yang berada di ujung tanduk. Sidhar perlahan mendekati Haiyan.

"Asha ...," lirih Sidhar. Matanya memanas melihat Asha yang sedang sakratulmaut.

"Asha ... Asha ... bertahan ... lo kuat," suara Haiyan bergetar menggenggam tangan Asha yang semakin dingin.

Tanpa memandang Sidhar, Haiyan menyuruhnya memanggil dokter saat itu juga. Haiyan sendiri tidak bisa pergi karena Asha tidak ingin ditinggal olehnya. Sidhar bergegas keluar ruangan memanggil dokter.

"Sakit ...." Asha merintih kesakitan. Oksigen seolah terenggut darinya hingga ia merasak sesak yang luar biasa.

Air mata Asha mengalir, mata sayunya semakin memberat. "Ikhlasin Asha ...," pinta untuk yang ketiga dan terakhir kalinya. Tidak kuasa lagi matanya itu terbuka, Asha terpejam.

Buru-buru Lara dan Bisma mendekat. Begitu pun Lara yang air matanya turun semakin deras, menangis tanpa suara melihat dengan jelas bagaimana manusia berada di ambang kesadaran, di mana antara hidup dan matinya seseorang. "Kami ikhlas, Asha ...," lirihnya memeluk sang suami erat.

"Kami ikhlas, Asha," jawab Haiyan cepat tanpa menunda-nunda waktu Asha. Hatinya sakit melihat Asha yang tengah meregang nyawa.

"Ban--tu ... talqin ...," pintanya sambil menahan nyeri dada yang kian menguat.

Haiyan dejavu pada rintihan Asha yang terdengar menyayat, hingga rasanya seperti memukul-mukul hatinya menjadi berkeping-keping. Haiyan mendekatkan bibirnya pada telinga Asha.

Menarik napasnya dalam-dalam sebelum Haiyan melafalkan kalimat tauhid. "Laa ilaaha illallaah ...." Tubuh Haiyan merinding ketika melafalkannya.

Meski dengan suara tersendat, Asha berusaha sangat keras untuk mengikuti apa yang Haiyan ucapkan. "L-laa ... ila-aha il-lallaah ...."

"Muhammadur rasuulullaah ...." Suara Haiyan semakin melemah.

"Mu--ham--madur ... rasu--ulullaah ...." Bibir pucat Asha melengkung membentuk senyuman manis.

Embusan napas terakhir Asha seketika membuat tiga orang di ruangan itu menangis. Meskipun bibirnya kini seputih kertas, senyum itu sangat manis seolah ia mengucapkan terima kasih tanpa suara.

Tap tap tap! (suara sepatu menapak lantai)

Suara dari empat pasang kaki mendekati brankar Asha. Dokter laki-laki setengah baya itu mengecek denyut nadi dan pernapasan Asha. Jantung Asha tidak lagi berdenyut, napasnya tidak lagi berembus. Sebuah fakta menyakitnya detik ini juga adalah, Asha telah tiada.

Dokter menatap Haiyan dan yang lainnya sendu, lalu menggeleng. "Innalillahi wa innalillahi ro ji'un ...." Kemudian dokter menutup wajah Asha dengan selimut perlahan.

Tubuh Sidhar lemas, menatap Asha yang kini telah diselimuti di seluruh tubuhnya. "Lo nge-prank lagi, 'kan, Sha?" celetuk Sidhar dengan pikiran kosong.

Setelah sadar apa yang ia katakan adalah omong kosong, Sidhar langsung mengusap wajahnya. "Astaghfirullahal'adzim ...." Air mata tidak lagi tertahankan jatuh membasahi pipi anak itu.

Lara pingsan dalam dekapan Bisma karena kesedihan yang ia rasakan tidak terbendung lagi. Bagi Lara, Asha adalah adiknya. Ia kehilangan seseorang yang ia anggap adik sendiri tidak lama setelah kepergian sang ibu. Mental Lara sudah bisa dipastikan terguncang hebat.

Haiyan sendiri dengan tangan bergetar mengusap wajahnya yang dibanjiri air mata. "Innalillahi wa innalillahi ro ji'un ...."

Brakkk!!

"Enggak!" teriak seseorang yang mendobrak pintu secara kasar. Orang itu berlari mendekati brankar Asha. "Nggak mungkin! Lo pasti bercanda, 'kan, Sha?! BANGUN! Bangun, Sha!" bentak orang itu tepat di samping Asha.

Orang itu Ube, dengan tangan bergetar ia menarik selimut yang menutupi wajah Asha yang tersenyum manis. "Bangun, Sha ... gue belum sempat minta maaf sama lo!" Udin terisak-isak. "Maafin gue, Sha ... maafin gue ...," lirihnya di sela-sela tangis.

Haiyan memegang kedua pundak Ube dari belakang. "Asha udah pergi, ikhlasin dia," bujuknya.

"Enggak! Siapa yang bilang Asha udah mati? Asha belum mati! Dia cuma tidur!" bentak Ube tidak terima, "Bang, Asha lagi tidur, 'kan? Bangunin dia, Bang. Gue punya salah sama dia, gue mau minta maaf ... bangunin Asha ... bangunin Asha ... gue mau minta maaf sama dia ...," rancau Ube histeris hingga tubuhnya luruh ke lantai.

Mengusap air matanya, lalu Haiyan menepuk pundak Ube dua kali seraya berucap, "Ikhlasin Asha ...."

Asha's Notes [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang