13

837 54 0
                                    

Hai! Asha update, nih!

Btw author mau minta tolong, dong, sama kalian. Kalian mau bantuin? 👉👈

Bantuin author buat tandain typo, ya?😁

Makasih banyak! Luv buat kalian <3

______

Setelah semua daging ayam dalam mangkuk Rifqi itu berpindah tempat, dengan binaran bahagia Rifqi memakannya dengan lahap. Asha yang tidak terlalu nafsu makan dibuat geleng-geleng kepala oleh tingkah laku Rifqi yang seperti tidak makan selama setahun.

"Ki," panggil Asha sekenanya.

"Pake, Q!" protes Rifqi. Kenapa semua orang selalu memanggilnya "Ki" atau "Rifki"? Padahal namanya adalah "Rifqi" bukan "Rifki", batin Rifqi merasa kesal.

"Lo kalo makan pelan-pelan, anjir. Malu diliatin orang, noh! Lo makan kayak nggak pernah makan setahun, tau nggak? Gue juga nggak bakalan minta kali," gerutuan Asha yang malu karena tingkah Rifqi.

Tidak lama, semua isi mangkuk Rifqi pun ludes dimakannya. Dengan santai ia nyengir menunjukkan deretan giginya pada Asha. "Demi apa! Ini bubur enak banget!" kata Rifqi hyperbola.

"Demi-kian! Perasaan rasanya bubur ya, gini-gini aja, sih. Emang, lo nggak pernah makan bubur?" tanya Asha sebelum melahap sesendok buburnya dan mengunyahnya pelan.

"Entah." Rifqi mengangkat kedua pundaknya. "Mungkin karna gue makan makanan dari rumah sakit mulu kali, ya, yang rasanya hambar," lanjutnya.

"Boleh nambah, nggak?" Dengan tidak tahu malunya, Rifqi malah meminta semangkuk bubur lagi.

Lama menunggu Asha yang cengo, Rifqi memilih pesan bubur semangkuk lagi pada si penjual. "Mang! Semangkuk lagi, ya! Nggak pake ayam!" teriak Rifqi tanpa mempedulikan wajah cengo dari Asha di sampingnya.

Buset, nih anak. Gue jadi ragu kalo dia beneran sakit. Apa jangan-jangan dia sakit jiwa? Terus kabur, gitu? Wah ... wah ... bisa jadi nih, batin Asha yang mencoba menerka-nerka.

Beberapa saat kemudian, Rifqi kembali melahap semangkuk bubur tambahan miliknya. Asha melihat sesendok demi sesendok bubur yang masuk dalam mulut Rifqi entah kenapa merasa sedikit mual. Terbiasa tidak pernah sarapan pagi membuat Asha menjadi seperti ini, mual. Dengan menahan mualnya Asha berusaha keras menghabiskan semangkuk bubur miliknya.

Tidak bisa. Asha menyerah. Daripada ia memuntahkan bubur yang sudah masuk ke dalam kerongkongannya lebih baik menyudahi makannya sekarang. Asha hanya menghabiskan setengah dari porsi utuh bubur itu. Itulah salah satu alasan kenapa ia kurus kering seperti ini.

Meletakkan mangkuk itu, Asha segera berdiri lalu pergi menyeberang jalan ke sebuah toko. Asha membeli dua botol air mineral, tentu saja untuk dirinya dan Rifqi. Setelah membayar, Asha kembali ke penjual bubur untuk membayar.

Menghampiri Rifqi yang sepertinya kekenyangan, Asha menyodorkan sebotol air mineral padanya.

"Wah! Pengertian syekaleee," ucap Rifqi mendramatisir. Dengan senang hati ia menerima lalu segera meminumnya.

"Udah, 'kan?" tanya Asha.

"Ud--" Rifqi bersendawa panjang lalu melanjutkan, "Ah ... udah."

"Sekarang balik. Lo dari rumah sakit mana?" Asha bertanya serius.

"Gue masih mau main ...," rengek Rifqi disambut tatapan jijik dari Asha.

"Nggak! Nggak ada!" tolak mentah-mentah dari Asha. "Lo, sakit apa, sih? Gue liat juga sehat-sehat aja. Ow-oh! Atau jangan-jangan lo pasien dari rumah sakit jiwa, ya! Ngaku lo!" desak Asha.

Rifqi melotot. "Heh! Enak aja! Gue tuh, sakit beneran tau! Tuh, dari rumah sakit Kurnia Hospital--ups." Rifqi segera membekap mulutnya yang keceplosan mengatakan nama rumah sakit dimana seharusnya ia dirawat.

"Nah, 'kan! Tunggu! Kayaknya gue kenal tuh rumah sakit." Asha mencoba mengingat-ingat di mana ia melihat nama tersebut.

"Kurnia ... Hospital ...." Asha mengulang nama tempat itu untuk mengingat-ingat.

"Kurnia ...."

"Aha! Kurnia Hospital! Gue inget. Astaga ... gue baru aja dari sana tadi."

Yah, rumah sakit itu. Rumah sakit yang sama dengan tempat Damar dirawat. Kenapa Asha bisa lupa? Kenapa ingatan Asha sangat lemah? Asha melamun. Raut wajah Asha berubah sedih membuat Rifqi yang menyadarinya bertanya-tanya.

"Lo harus balik!" Keputusan Asha lalu segera menarik Rifqi untuk berdiri.

Mereka berjalan berdua menyusuri jalan menuju rumah sakit tujuan.

Tidak berselang lama.

KURNIA HOSPITAL

Nama yang tertera di sebuah bangunan besar berwarna putih bersih itu. Itu rumah sakit, di mana Damar di rawat yang ternyata sama dengan Rifqi. Saat ini Asha kembali ke tempat itu, ia berdiri tepat di seberang jalan seperti biasanya ketika ia sedang akan menjenguk Damar. Namun kali ini, Asha tidak sendirian. Ia bersama teman barunya.

"Bisa diem nggak, sih?!" bentak Asha pada Rifqi yang mencoba berontak untuk kabur.

Asha menggenggam erat hoodie miliknya yang dipakai Rifqi. Bisa dibilang Asha menyeretnya setelah makan bubur hingga sampai di sana.

Rifqi yang melihat ekspresi tidak bersahabat dari Asha akhirnya memilih untuk diam dan mengikut saja.

Asha mengantar Rifqi hingga ke ruangan anak itu. Melewati kamar rawat Damar, Asha berhenti berjalan. Dengan langkah pelan ia berjalan ke jendela untuk melihat keadaan adiknya tersebut.

Dari kejauhan dapat ia lihat Damar yang senantiasa terbaring lemah. Dan di sana ada ayahnya yang merangkul ibunya yang menangis. Di sisi lain, ada kakaknya yang duduk termenung di kursi.

"Damar ... apa gue yang di posisi lo, mereka juga bakalan sama kayak gini? Bodoh banget orang yang iri sama lo yang sakit-sakitan, dan sayangnya orang bodoh itu ... gue," pikir Asha.

Tidak terasa cairan bening itu kembali menetes dari netra Asha. Asha membencinya, Asha membenci kenyataan bahwa dirinya iri dengan Damar. Asha menyayangi Damar. Apa dengan sakit ia bisa mendapatkan perhatian keluarganya, seperti halnya Damar?

Seseorang memegang bahu Asha membuat sang empunya menoleh. Di sampingnya Rifqi berdiri dan turut melihat ke jendela kaca yang sama dengan Asha. Merasakan gerakan dari Asha, Rifqi menolah lalu bertanya, "Mereka ... siapa?"

Mengingat masih ada jejak air mata di pipinya, Asha memalingkan wajahnya dengan cepat, dan segera menghapus jejak itu dengan tangan kosong.

"Lo ... nangis?" Rifqi melontarkan pertanyaan yang sebenarnya pernyataan itu pada Asha.

"Huh? Enggak! Siapa yang nangis?" elak Asha yang malu terlihat menyedihkan di depan orang yang baru saja ia kenal.

"Dih, bohong lo, ya? Itu mata lo merah!" Tidak semudah itu Rifqi percaya dengan kata-kata Asha. Sungguh pembohong amatir.

"Napa lo jadi ngurusin gue?! Sono pergi--" Sebelum Asha meneruskan kalimatnya, tubuh Rifqi tiba-tiba terjatuh pingsan.

Asha terkejut bukan main, ia berusaha menopang tubuh Rifqi yang sebenarnya lebih berisi daripada tubuhnya. Dan akhirnya Asha pun meletakkan Rifqi yang tidak sadarkan diri di lantai dengan disenderkan ke tembok. Asha segera bangkit pergi untuk memanggil Perawat, Dokter, atau siapapun yang ada untuk membantu membawa Rifqi kembali le ruangannya.

Tidak lama Asha datang bersama dua orang perawat laki-laki dan mendorong brankar menuju ke arah Rifqi.

"Mas, itu orangnya yang pingsan!" tunjuk Asha.

Rifqi segera diangkat dan langsung dibawa ke ruangannya.

Asha's Notes [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang