Sore hari ini, Asha dan Taufik kembali belajar bersama di perpustakaan sekolah dalam rangka mempersiapkan diri sebelum Olimpiade.
Asha mendudukkan bokong ke kursi. Disusul dengan Taufik yang meletakkan tasnya pada meja di tengah mereka. Asha tidak peduli, ia memilih membuka tasnya dan mengeluarkan sekotak bekal dari Asih pagi tadi.
Tak!
Asha membuka kota bekal itu, dan mencium aroma ikan bakar yang memanjakan hidung, dan pastinya akan memanjakan lidah. Tangan Asha yang sudah memegang sendok perlahan melayang hendak mengambil nasi untuk ia makan.
"Ehm! Asha ... gue ... gue boleh minta bekal lo?" cicit Taufik menatap Asha--ralat, kotak bekal Asha, dengan mendamba.
Asha menurunkan tangannya, menatap Taufik yang seperti kucing kelaparan dan kotak makannya yang menggiurkan bergantian. Entah kenapa Asha kali ini ingin memakan semua masakan yang berbumbu-kan kasih sayang dari Asih itu sendirian, tapi melihat wajah Taufik membuat Asha tak tega. Namun ...
"Emm, gue lagi laper. Lain kali aja kalo gue bawa bekal lagi, lo gue kasih." Asha tersenyum dengan wajah tanpa dosanya.
Taufik sedikit sedih, tetapi ia sadar diri. "Oh, oke," ujarnya. Lalu ia berdiri untuk mengambil buku yang ingin ia baca dan meninggalkan Asha yang makan dengan lahap.
Asha memakan nasi dan ikan bakar itu tanpa sadar air matanya menetes. Entah apa yang ia pikirkan, Asha juga tidak paham dengan perasaanya saat ini.
Buru-buru Asha menghapus air matanya itu dengan lengan. Bahkan ia makan sangat cepat dan saat ini Asha mencuci tangannya di wastafel.
"Asha," panggil Taufik yang sudah menggendong tasnya kembali bersiap untuk pergi, membuat Asha mengerutkan keningnya.
"Lo mau kemana?" heran Asha.
"Gue harus pulang dulu. Nenek sakit mendadak." Taufik terlihat cemas dan khawatir.
Asha mengangguk. "Yaudah, mending lo pulang aja. Bawa nenek lo ke rumah sakit biar cepat di tangani," katanya.
Taufik mengangguk lalu pergi meninggalkan Asha yang kembali duduk di dekat tasnya. Asha menelungkupkan wajahnya di lipatan tangan, tertidur.
Beberapa waktu berlalu, seorang pemuda datang dan membangunkan Asha.
"... Ha."
"... Sha!"
"... Asha, bangun!"
Asha yang terusik akhirnya bangun dan mengerjapkan padangannya yang kabur.
"Ayo, pulang!" ajak Haiyan membuat Asha cemberut.
"Asha ngantuk." Asha mengulurkan kedua tangannya. "Gendong."
Haiyan menganga. Menggendong Asha? Menuruni tangan empat lantai itu? Bisa-bisa badan Haiyan remuk esok hari. "Nggak!" tolaknya.
"Ayo, bangun. Lo tau ini udah jam berapa? Udah hampir jam enam! Lo mau di sini aja atau pulang?" Haiyan berkacak pinggang melihat mata Asha seperti lampu yang berkedip-kedip kurang listrik.
"Atau gue tinggal?" tanya Haiyan lagi seketika membuat Asha menegakkan tubuhnya dan bersiap untuk pergi.
"Jangan!"
__Asha Note's__
Enam hari berlalu. Asha melewati hari-harinya seperti biasa, dan sekarang ini adalah hari di mana Asha dan Taufik mengikuti Olimpiade yang telah diberitahukan seminggu yang lalu.
Untung saja, hidup Asha seminggu terakhir sangat tenang dan damai. Penyakit Asha juga tidak kambuh dan harinya berjalan dengan lancar. Namun, sejujurnya, suasana seperti itu membuat Asha gelisah dan khawatir akan ada hal besar yang mungkin saja terjadi kedepannya.
Asha menggigiti kuku jarinya karena gugup dengan perasaan campur aduk. Ia menggelengkan kepala, mengenyahkan pikiran yang sempat hinggap mengganggu konsentrasi. Untuk hari ini ia harus fokus, dan membawa pulang kemenangan dan hadiah dari Olimpiade.
"Sidhar, Ube." Asha memanggil dua sahabatnya itu. "Kok gue grogi, sih. Nanti kalo gue kalah gimana?" lanjutnya mulai overthinking.
Saat ini mereka bertiga tengah duduk di kantin yang masih sepi. Jelas, karena ini masihlah sangat pagi, tetapi mereka bertiga sudah nangkring di sana dengan nyaman.
Ube menghisap rokoknya dalam. Lalu mengeluarkan asapnya bersamaan dengan suara yang ikut keluar. "Santai ... kalo lo kalah, berarti lo nggak menang," ucapnya santai.
Puk!
Sidhar memukul lengan Ube lumayan keras. "Yang bener, anjir! Lihat, noh! Si Asha udah pucet gitu," omelnya memelototi Ube.
Sidhar yang awalnya duduk di tengah-tengah mereka berpindah posisi lebih dekat dengan Asha. Menepuk pundak sahabatnya itu dan tersenyum. "Tenang aja ... gue yakin lo pasti bisa menang dan bawa pulang hadiahnya," optimis Sidhar.
Asha yang melamun tersentak, lalu menoleh pada Sidhar. "Tapi ... kalo gue kalah? Guru-guru berharap banget sama nih Olimpiade. Karena kalo bisa menang dan dapatin juara 1, sekolah ini bakal dapat banyak sumbangan dari Crazy Rich yang ngadain Olimpiade."
Asha mengepalkan kedua tangannya di atas lutut, dengan tubuh membungkuk dan pandangan yang menunduk. Sementara Ube mengetuk-ketuk ujung rokoknya yang telah habis pada asbak, untuk mematikannya. Kemudian Ube berpindah duduk ke sisi Asha yang lain.
Menggenggam pundak Asha. "Nggak pa-pa kalau lo nggak menang. Yang penting lo udah berusaha sebisa mungkin buat menangin itu Olimpiade ...
... Dan meskipun lo kalah, lo masih tetap bisa berjuang di lain waktu. Lo tau kunci sukses?"
Asha menegakkan tubuhnya, melirik Sidhar yang tersenyum meyakinkan, begitup dengan Ube. Sungguh, Asha sangat bersyukur memiliki teman seperti mereka berdua yang sangan loyal padanya.
Asha mengulurkan tangannya ke depan, disusul oleh Sidhar dan Ube yang menumpuk tangan bertiga.
"Kunci sukses adalah--" Mereka bertiga lalu mengangkat tangan yang terkumpul bersamanya seraya bersorak, "--YAKIN!" Dan tegelak bersama.
Sebenarnya mereka cukup malu melakukan hal konyol seperti anak SD itu, tapi, toh, hanya ada mereka di sana.
"Semangat, Asha! Lo pasti bisa!" Sidhar bersorak.
Asha mengangguk dengan berbinar. Apa yang mereka bertiga lakukan sebenarnya terlihat seperti anak-anak (kekanak-kanakan). Tapi tidak apa ... saat-saat seperti ini justru akan menjadi kenangan yang indah.
"Ekhem. Udah tosnya?" Suara berat seseorang membuat ketiga sekawan itu membeku.
"Eh, hehe. Udah kok, Pak. Bapak lagi ngapain di sini?" Sidhar menjawab dengan cengirannya.
"Saya tadi mau panggil Akasha, yang akan ikut lomba Olimpiade," sahut Pak Feri.
"Oh iya, Pak! Ini dia Akasha yang Bapak cari." Ube menggeret lengan Asha untuk maju ke hadapan Pak Feri.
"Betul kamu?"
Asha mengangguk. "Iya, Pak."
"Yaudah ... sekarang kamu ikut saya. Kita akan segera berangkat sebentar lagi. Dan teman kamu sudah menunggu di depan." Pak Feri tersenyum.
Asha mengangguk, lalu mengambil tasnya yang masih duduk manis di kursi kantin.
Asha pamitan dengan kedua sohibnya itu. Mereka berpelukkan ala laki-laki; Sidhar dan Ube menepuk punggung Asha memberi semangat. "GOODLUCK!" ujar mereka hampir serempak.
Setelahnya Sidhar dan Ube juga bersalaman dengan Pak Feri. Akhirnya Asha dan Pak Feri pun berangkat.
Sepeninggal kedua orang itu.
Sidhar menatap Ube serius. "Woy, Ube, tadi Mama lo nanyain."
Ube tersenyum sinis. "Masih ingat kalo punya anak, tuh orang?" Membayang kedua orang tuanya yang sibuk berperang, menciptakan banyak luka di hatinya, membuat mata Ube memerah.
"Kemarin lo nggak pulang ke rumah lagi?" tanya Sidhar yang sebenarnya sudah tau jawabannya.
Ube tersenyum. "Gue udah nggak punya lagi tempat yang disebut rumah." Sambil mengapit sebatang rokok di antara telunjuk dan jari tengahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asha's Notes [Tamat]
RandomSudahi bucinmu, mari membaca kisah seorang lelaki remaja bernama Asha bersamaku! Sudah End, Tamat dan Selesai✔ Cerita Complete✔ *** Blurb: Akasha Adhyaksa, seorang anak laki-laki yang berkeinginan mendapatkan kembali perhatian keluarganya. Meskipun...