09

1K 68 0
                                    

"Asha, mau belajar naik motor, Abang ...." Asha merengek.

"Yakin?" Haiyan menatap tubuh Asha dari atas hingga bawah lalu kembali lagi ke atas. "Kok, lo udah tinggi aja, sih, Sha? Kayaknya baru kemaren kita ketemu di SMP, lo nggak setinggi ini ... yaudah boleh belajar naik motor, tapi yang matic aja, ya. Soalnya lebih gampang."

Mata Asha berbinar lalu mengangguk semangat. Haiyan dibuat gemas oleh tingkah Asha tersenyum. "Kalo gitu gue ambil motornya dulu di rumah, emm ... lo, mau ikut?" Haiyan ragu menawarkannya pada Asha.

Asha sendiri tidak tahu bagaimana kondisi keluarga Haiyan, Asha kira keluarga Haiyan sangat harmonis mengingat Haiyan yang selalu tersenyum dan terlihat baik-baik saja. Mungkin Asha akan ikut? Di sini, lapangan komplek hari ini sangat sepi. Entah kemana para pemuda yang biasanya bermain ataupun berlatih, Asha tidak peduli.

"Boleh ikut nggak? Asha ngeri nunggu sendirian di sini." Asha mengusap lengannya yang tiba-tiba merinding.

"Boleh, kok, yok!" Haiyan tersenyum kikuk lalu mengajak Asha pergi.

Di tengah perjalanan terjadi keheningan, Haiyan yang fokus pada kendali setirnya dan Asha yang melihat sekeliling ke kanan dan ke kiri. Bisa dikatakan jika Asha tidak pernah jalan-jalan jauh sampai membutuhkan motor. Rutinitas Asha hanya pergi-pulang sekolah yang berjarak sekitar 1 kilometer dari rumahnya, kadang-kadang ia juga ke kafe yang hanya berjarak kurang lebih 700an meter.

Walaupun Asha dijauhi oleh anggota keluarganya, paling tidak ia masih dibolehkan sekolah dan dipenuhi segala kebutuhannya. Naren--ayah Asha, biasanya menitipkan uang pada pembantu ataupun tukang kebun agar memberikannya pada Asha, setiap sebulan sekali. Asha harus pintar-pintar menggunakan uangnya untuk kebutuhan sekolah; alat tulis, buku, uang gedung dan administrasi lainnya.

"Yok! turun dulu." Haiyan memarkirkan motor gedenya ke garasi dan mengeluarkan motor yang satu lagi.

Asha duduk anteng di teras rumah Haiyan menunggu sang pemilik rumah selesai dengan urusannya, sembari menatap sekeliling yang sepi, sedikit tidak terurus dan ... terasa sedikit dingin, seperti rumahnya (?) Asha mengerutkan kening, tidak mungkin keluarga Haiyan--

"Asha. Lo, laper nggak?" Haiyan bertanya sembari menggaruk pelipisnya yang gatal.

__Asha Note's__

"Hm? Ya, sedikit laper hehe ...," ucap Asha cengengesan.

Kini dua orang remaja itu berada di dapur. Asha sibuk melihat-lihat rumah Haiyan yang bisa dikatakan mewah, banyak aksesoris mahal yang ada di rumah itu, foto-foto dan lukisan aestetik menggantung indah di tembok kokoh. Asha menyimpulkan jika orang tua Haiyan itu kaya, tapi ... rumah ini begitu sepi, bahkan pembantu ataupun tukang kebun tidak terlihat.

Menatap Haiyan yang sedang memilih sesuatu di lemari, mata Asha membulat takjub, banyak sekali mie instan dengan berbagai rasa--seperti swalayan pribadi. "Astaga! Itu mie banyak banget! Ada rasa original, ayam geprek, aceh, rica-rica, rendang, ayam bawang, sop buntut ... itu, lo borong semua?" tanya Asha berbinar.

Menggaruk tengkuknya Haiyan berkata, "Hmm ya, gitu. Oh iya, kita makan mie aja ya? Soalnya cuma ada itu ... lo nggak pa-pa, 'kan?"

"Tapi Asha udah makan mie seminggu ini ...," gumam Asha pelan. "Eh, nggak pa-pa, kok! Abang mau yang rasa apa?" Asha menjawab dengan mengalihkan pandangannya pada mie-mie di lemari.

"Nggak, kita beli makan di luar aja." Haiyan mendengar gumaman Asha.

"Loh, loh! Nggak bisa gitu, dong! Kita udah di sini juga, udah ... masak mie aja, sayang mienya kalo nggak di masak. Ntar keburu kedaluwarsa, nggak ke-makan buang-buang duit ...," bujuk Asha.

"Tapi, tadi lo bilang udah makan mie seminggu ini ... nanti kalo lo sakit gimana? Nggak baik makan mie instan terus-terusan," cemas Haiyan.

"Nggak pa-pa, kok! Asha udah biasa--maksudnya, udah ... udah kebal! Iya, udah kebal, Asha 'kan sehat dan kuat!" Bohong sekali jika Asha mengatakan bahwa tubuhnya sehat, seminggu terakhir Asha memang selalu memasak mie instan untuk mengisi perutnya dan tentu saja itu memberikan efek samping. Asha mengalami masalah pencernaan karena makan mie instan dengan waktu yang lama, bahkan sakit kepala juga mimisannya sudah kambuh 3 kali seminggu ini.

"Lo, nggak bohong kan? Nanti kalo terjadi apa-apa sama lo, gimana?" Mata Haiyan menyipit penuh selidik.

"Hah, lama! Ayo buru masak mienya terus makan. Abis itu belajar motor!" Asha bergerak mengambil dua bungkus mie instan bertuliskan rasa rendang. "Abang mau rasa apa?"

Haiyan mengambil dua bungkus mie dari tangan Asha, lalu mengambil ke lemari dengan rasa yang berbeda. "Udah lo duduk aja, biar gue yang masak." Ketika Asha ingin protes, Haiyan kembali bersuara. "Nggak ada penolakan. Sekarang duduk manis dan jadilah anak baik, oke?" Akhirnya Asha mengangguk pasrah.

Duduk di kursi meja makan yang satu ruangan dengan dapur, mengamati Haiyan yang memunggunginya. Tangan haiyan sangat lincah bertempur dengan alat dapur, Asha bertanya-tanya, apa Haiyan tinggal di rumah sebesar ini sendirian? Asha memberanikan diri bertanya.

"Abang tinggal sendirian?"

"Enggak."

"Terus yang lain kemana?"

"Yang lain siapa?"

"Orang tua Abang, lah?" tanya Asha ragu.

Tangan Haiyan yang tengah menggunting bungkus bumbu mie itu berhenti sejenak, mencoba santai Haiyan melanjutkan aksinya. "Kerja."

Tanpa curiga Asha menanggapi dengan oh'ria. Karena bosan, Asha memilih untuk berkeliling melihat-lihat pajangan foto yang tertempel di dinding. Melihat sebuah pigura foto keluarga besar, di sana ada dua orang dewasa dan dua orang anak laki-laki, Asha menyimpulkan jika itu ayah, ibu, Haiyan dan--

"Adek gue," suara Haiyan dari samping mengejutkan Asha.

Haiyan pernah bercerita kepada Asha jika ia mempunyai seorang adik, jadi itu adik Haiyan? Asha hanya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.

"Abang nyium bau kayak kebakar gitu nggak, sih?" Asha seperti mencium bau gosong dari ... dapur! "Abang, mienya gosong!"

Haiyan berlari dengan Asha mengekor di belakangnya. Mematikan kompor dan melihat mie yang sedikit berbau gosong, tapi masih terselamatkan. Haiyan mengembuskan napas lega. "Yaudah, kuy makan! Punya lo udah gue taruh di meja."

Mereka berdua makan dengan lahab karena memang kelaparan. Memasak dua mie sekaligus untuk satu orang, karena nggak ada nasi--satu bungkus mie tentu saja kurang.

Asha menatap jendela kaca yang memperlihatkan jalan di depan, ada sebuah rumah mewah ... tapi bukan itu yang Asha pikirkan. Pagar rumah itu sedikit terbuka memperlihatkan halaman rumah dan ... motor yang sepertinya Asha kenal. Asha menepisnya, tentu saja motor seperti itu banyak--

"Itu rumah Ube," ucap Haiyan tenang.

"Astaga! Udah pindah? Perasaan dulu pas SD pernah main ke rumah Ube, tapi rumahnya bukan gitu ... emm mungkin di renovasi kali ya? Atau pindah rumah? Nggak tau, ah, Asha lupa."

A/N :

MAKASIH BANYAK YANG UDAH BACA ASHA SEJAUH INI (≧▽≦)

HUHUUU ( ꈍᴗꈍ) AKU TUH SENENG BANGET ADA YANG MAU BACA CERITA  YANG--JAUH DARI KATA BAIK INI (ㆁωㆁ) APALAGI ADA YANG MAU VOTE (。•̀ᴗ-)✧

Salam sayang buat kalian <3

Asha's Notes [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang