28

813 56 0
                                    

Asha yang mengetahui gelagat sang ayah segera wajahnya memucat, seolah darah tidak mengalir lagi di tubuhnya. Memang, selama tiga hari Asha dirawat inap di rumah sakit, ia tidak memberi kabar apapun kepada keluarganya, toh, tidak ada yang mencarinya. Bahkan Reshan tidak mengenalinya yang memakai baju pasien rumah sakit. Padahal, Asha sering melihat kakaknya itu berkeliaran di rumah sakit.

Ya, Asha sebenarnya dirawat di rumah sakit yang sama dengan Damar, yaitu Rumah Sakit Kurnia Hospital. Meski begitu, ketika bersimpangan dengan keluarganya Asha memilih bersembunyi. Beberapa kali Asha diberitahu oleh Haiyan, Sidhar dan Ube jika Reshan bertanya kepada mereka kemana perginya anak itu. Namun, Asha dengan tegas meminta ketiga orang sohibnya itu untuk tidak mengatakan dengan jujur.

Saat ini Asha telah sampai di rumah, dan ayahnya pasti sangat marah, melihat dari mata pria itu yang memerah dan dadanya yang naik turun.

Setelah Asha dan Naren memasuki rumah, Naren segera membanting tangan Asha dengan keras.

"Anak nggak tahu diuntung! Tiga hari nggak pulang ke rumah, sekarang baru ingat kalo punya rumah, hah!" bentak Naren menatap nyalang putranya itu.

Sebelum Asha sempat bereaksi, Naren kembali melayangkan makian untuknya. Menaikkan suaranya beberapa oktaf. "Seneng kamu? Bisa keluyuran ke sana ke sini, bersama berandal-berandal itu?!"

Naren berkata dengan nada rendah penuh peringatan, "Kayaknya kamu udah nggak betah tinggal di sini, ya?"

Asha tersentak segera mendongakkan wajah, dengan mata merah berair memohon pada ayahnya, "Ayah ... maafin Asha."

"Kamu! Jadi ini yang kamu lakukan setiap hari? Mau jadi apa kamu keluyuran sama berandal kayak gitu, hah! ANAK NGGAK TAHU DIRI!" Naren mengangkat tangannya bersiap untuk memberikan cap telapak tangannya pada pipi Asha.

Namun, seperti seorang pahlawan yang datang di saat yang tepat, Haiyan datang tepat sebelum Naren mendaratkan tamparan itu. "CUKUP!" teriaknya menangkis tangan Naren lalu menggenggam lengan pria itu dengan kuat.

Naren yang tangannya dicengkeram merasa tidak terima, ia mengibaskan tangannya membuat genggaman tangan Haiyan terlepas. "Siapa kamu mau ikut campur urusan kami?!" bentak Naren dengan mata melotot ke arah Haiyan.

"Anda nggak bisa nampar Asha!" balas Haiyan mengabaikan perkataan Naren.

"Siapa kamu? Nggak tahu diri! Ini masalah keluarga saya! Kamu jangan ikut campur. Dasar berandal!" Naren kembali mengambil tangan Asha bersiap untuk menariknya pergi.

"Saya bisa lapor ke Dinas Perlindungan Anak, karena Anda menganiaya anak Anda sendiri," ancam Haiyan.

"Jangan sok jadi pahlawan kamu! Pulang!" Naren dengan keras mengusir Haiyan.

Asha menatap Haiyan memohon untuk segera pergi dan tidak mengkhawatirkanya, bagaimanapun Naren adalah ayahnya. Tepat ketika Haiyan mencoba kembali membantah Naren, Sidhar dan Ube datang dan memilih menyeret Haiyan.

"Udah, Bang. Kita pulang aja. Gue yakin om Naren nggak bakalan nyakitin Asha, bagaimanapun Asha anak kandungnya."

"Lepas!"

Haiyan segera membuka pintu mobil bagian tengah dan masuk. Diikuti Ube yg duduk di samping Sidhar yang menyetir. Mereka keluar dari halaman rumah Naren dengan keheningan.

Sedangkan di rumah Asha. Naren menatap putranya itu dengan ekspresi suram. Kali ini ia tidak membentak ataupun memukul Asha. Memilih menahan amarahnya dan berkata dengan suara rendah, "Pergi." Dan dirinya sendiri juga pergi keluar entah kemana.

Asha menatap punggung ayahnya itu sendu, berbalik dan berjalan perlahan menuju kamarnya sendiri.

__Asha Note's__

"Asha, di luar ada yang nyariin lo. Katanya, sih, kurir paket online gitu."

Asha yang duduk-duduk santai di dapur kafe mengangkat kepalanya menatap perempuan yang datang membawa pesan itu. "Kurir paket online?" monolog Asha mengingat-ingat. Beberapa detik kemudian ia menjentikkan jarinya. "Oh iya!" serunya segera beranjak dari kursi.

Asha buru-buru keluar kafe dan menemui kurir paket itu. "Ini buat saya, 'kan Pak?"

"Mas Asha ya?" pasti Kurir itu.

"Iya itu saya."

"Silakan tanda tangan dulu di sini."

Setelah tanda tangan dan serah terima barang, Asha mengambil kotak persegi panjang itu dengan binaran mata. Ia tidak bisa membuka paket itu di sini sekarang, jadi Asha menenteng kotak itu kembali memasuki kafe untuk tampil menyanyi beberapa lagu lagi sebelum akhirnya pulang.

Satu Minggu berlalu cepat. Di perjalanan pulang sekolah, Asha masih mengenakan seragam pramuka mampir ke rumah sakit untuk mengambil hasil tes yang sudah ia lakukan satu minggu yang lalu. Setiap langkah, jantung Asha berdebar semakin keras memikirkan bagaimana hasil tes nanti. Semoga saja, Asha tidak menderita penyakit kronis, tetapi bayang-bayang berbagai penyakit mengerikan menyerang pikirannya.

Dua jam kemudian, setelah kerja keras mengambil amplop berisi hasil tes dari dokter, Asha berjalan di lorong rumah sakit dengan banyak beban di pikirannya. Amplop berisikan hasil tes ia genggam erat, merasa kecewa.

Positif kanker otak stadium 2. Begitulah tulisan yang tertera. Hampir satu setengah jam Asha mendapat penjelasan dari Dokter mengenai penyakit yang ada di tubuhnya.

"Kanker otak stadium 2, Sel kanker masih tumbuh secara perlahan, tetapi dapat menyebar ke jaringan tubuh di sekitarnya," kata Dokter terus terngiang di kepalanya.

Bruk!

Karena lengah, Asha menabrak seseorang di depannya membikin amplop di tangannya lepas jatuh tepat di atas kaki pihak lain. Asha menatap Reshan di depannya terkejut, buru-buru ia membungkuk untuk mengambil amplop.

Namun sayang, Reshan bergerak lebih cepat. Ia mendahului Asha mengambil amplop itu. "Amplop apaan, nih?" tanyanya membolak-balik amplop itu mengamati.

"Itu ... balikin," gugup Asha ingin meraih tangan Reshan yang diangkat tinggi.

"Amplop apa dulu?" desak Reshan.

"Bukan apa-apa!" jawab Asha menyahut amplop di tangan Reshan cepat segera menggenggamnya erat.

Reshan menatap adiknya itu curiga. Ia merasa bahwa Asha menyembunyikan sesuatu darinya, tapi apa? Tepat ketika Reshan hendak meminta pernyataan Asha, suara tangis ibunya tidak jauh dari tempat Reshan dan Asha berdiri, membuat kedua pemuda itu bergegas mendekat.

"Bunda, ada apa?" Jantung Reshan memacu lebih cepat.

"Adek kamu ... panggilin dokter," beber Allina menangis.

Resha bergerak cepat memanggil dokter. Tidak lama Reshan kembali bersama seorang dokter pria dan dua perawat perempuan.

Asha membeku. Ia menatap ibunya yang menenggelamkan wajah pada telapak tangan tersedu-sedu. Tubuh ringkih wanita yang telah melahirkannya itu bergetar. Ingin sekali rasanya Asha memeluk ibunya, membisikkan kata-kata menenangkan agar ibunya tidak lagi gelisah.

"Bunda ...," lirih Asha tangannya menggantung di udara saat ingin mendekap wanita di depannya, urung.

Allina tidak menyadari keberadaan Asha, ia masih terisak ketika melihat dokter kembali memasang alat-alat medis ke beberapa titik tubuh putra bungsunya. "Bertahan, Sayang," ucapnya berbisik.

Asha menarik tangan kanannya, sedang tangan kirinya yang menggenggam amplop semakin terkepal di sisi tubuh remaja itu. Asha memalingkan muka dari Allina, menatap ke dalam ruangan yang terhalang kaca transparan. Dapat ia lihat seberapa lemahnya sang adik yang sedang berjuang di dalam sana.

"Bertahan, Dek."

Asha's Notes [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang