Tidak sadar, hidung Asha mengeluarkan cairan kental berwarna merah, karena saking paniknya sehingga ia tidak merasakan.
Sampai di sebuah ruangan, ada sepasang suami istri yang sedang berpelukan. Mengetahui ada yang datang, sang istri segera mendekat dan melihat bahwa putranya yang berada di brankar dorong itu.
"Anakku! Rifqi! Kamu kenapa, Nak?" wanita itu menangisi putranya yang tidak sadarkan diri di atas brankar.
"Maaf, ibu. Pasien butuh ditangani sesegera mungkin. Tolong izinkan kami lewat, Dokter akan segera ke sini," ucap seorang Perawat laki-laki yang berada di samping wanita itu.
"Ma, kita minggir dulu, biar Rifqi lebih cepat ditangani." Sang suami mencoba membujuk istrinya, dan itu berhasil.
Dua Perawat itu segera membawa Rifqi ke dalam ruangan, dan tinggal Asha yang bersama kedua orang tua Rifqi. Ayah Rifqi yang mengetahui ada orang lain selain dirinya dan istrinya, menatap Asha yang hidungnya terus mengeluarkan darah.
"Astaga, Nak! Kamu mimisan!" Sang suami menggiring istrinya untuk duduk di kursi tunggu sementara ia mengambil tisu dari tas istrinya dan memberikanya pada Asha.
"T-terima kasih, Om," ucap Asha menerima tisu tersebut.
Kepala Asha terasa pusing dan berat, sangat sakit. Asha mencoba sekuat tenaga untuk tetap sadar. Pandangannya berkunang-kunang membuatnya sulit untuk fokus.
Ayah Rifqi melihat gelagat Asha yang tidak beres menggenggam pundak anak itu. "Nak, kamu nggak pa-pa?" tanya pria itu.
Asha dapat melihat raut khawatir pria paruh baya itu. Asha tersenyum seolah-olah berkata ia baik-baik saja. Tapi ketahuilah jika Asha adalah pembohong yang buruk, karena tidak lama ia justru pingsan.
__Asha Note's__
Rifqi mengerjap dan dengan perlahan ia membuka matanya yang terasa berat dan lengket. Tubuhnya masih terasa lemas, bahkan sekujur tangan dan kakinya terasa kesemutan. Melihat sekeliling pandangannya terhenti pada jendela kaca yang terbuka menampilkan secercah sinar matahari sore (?). Berapa lama ia pingsan?
Cklek! (suara pintu terbuka)
Mengalihkan atensi Rifqi untuk melihat siapa yang datang. Dan ternyata itu ibunya.
"Rifqi, kamu udah sadar, Sayang?" Dengan bahagia ibu Rifqi segera mendekat dan langsung mengecup kening putranya itu sayang.
"Minum, ya?" Ibu Rifqi lalu membantu Rifqi untuk minum dengan sedotan.
"Gimana keadaan kamu? Apanya yang sakit?" tanya ibu Rifqi cemas. "Tadi pagi, mama kaget banget ngeliat di sini kosong. Mama cari-cari ke kamar mandi, ke taman, nggak ada. Terus mama baru sadar kalau infus kamu juga masih di sini."
"Kamu kabur? Kamu nggak sayang sama mama? Kamu mau ninggalin mama? Mama takut kamu kenapa-napa ...." Ibu Rifqi terisak membuat hati sang anak merasa teriris ketika melihat cairan bening itu keluar dari mata ibunya.
"Ma, mama jangan ngomong gitu. Rifqi sayaaaang banget sama mama. Maafin Rifqi udah buat mama khawatir. Rifqi nyesel." Tangan Rifqi terulur mengusap pipi ibunya.
"Jangan gitu lagi, ya? Jangan buat mama khawatir. Kamu anak mama satu-satunya." Dengan cepat Rifqi mengangguk meng'iyakan.
Setelahnya tangan lembut Vita, ibu Rifqi mengelus surai hitam putranya yang tentu saja dinikmati oleh sang empunya.
Tiba-tiba Rifqi teringat bahwa ia mempunyai teman baru. Dengan suara serak Rifqi bertanya, "Ma, temen aku mana?"
"Temen?" Ibu Rifqi mencoba mengingat-ingat siapa teman yang dimaksud anaknya itu. Karna Rifqi tidak pernah mempunyai seorang teman, setahunya.
"Iya, dia kurus, putih, pake kaos lengan panjang warna putih, sama celana jeans warna hitam," Rifqi menyebutkan ciri-ciri Asha pada ibunya.
"Ah! Dia. Iya, tadi mama liat. Dia tadi pingsan, loh, kasian banget. Hidungnya berdarah-darah gitu. Kayaknya dia sakit, deh," Vita menceritakan kejadian tadi.
Rifqi terkejut oleh ucapan ibunya. Apa benar jika Asha sedang sakit? Dari tatapan dan kondisi tubuhnya yang cungkring, kurus kering, mungkin itu benar. Lalu bagaimana keadaannya sekarang?
"Terus sekarang dia keadaannya gimana?"
__Asha Note's__
Asha duduk termenung di atas brankar. Beberapa jam yang lalu ia kembali pingsan seperti ketika di sekolah. Yah, rasa sakit itu sama, sama-sama menyakitkan. Asha bertanya-tanya, apakah dirinya sedang sakit? Tidak, itu tidak benar, pikir Asha.
Asha memilih segera turun dari brankar dan keluar dari ruangan itu begitu saja. Ternyata hari sudah sore. Saat ia berjalan di lorong, ia berpapasan dengan ayah Rifqi.
" Om!" Asha memanggil pria itu.
Pria itu memdengarnya dan menghampiri Asha. "Kamu udah siuman? Kamu temannya Rifqi, ya?" tanya pria paruh baya itu.
Asha tersenyum, dan mengangguk. "Iya, Om. Maaf ngerepotin Om tadi," sesal Asha.
"Ah, ngomong apa kamu ini. Tidak usah sungkan-sungkan begitu. Om seneng banget akhirnya Rifqi punya teman. Harusnya, Om yang berterima kasih sama kamu, udah nolongin Rifqi yang pingsan, udah mau jadi temennya Rifqi juga." Ayah Rifqi menepuk pelan pundak Asha beberapa kali.
Sosok ayah Rifqi mengingatkan Asha pada sosok ayahnya; baik, ceria, ramah. Tapi sekarang ayahnya telah berubah, dingin. Tanpa sadar ia membanding dua sosok ayah tersebut.
"Om mau ke kamar Rifqi, kamu mau ikut?" tawar ayah Rifqi.
Asha tersadar dari lamunannya. Ia tersenyum lalu berkata, "Emm, udah sore, Om. Aku titip salam aja buat Rifqi," tolaknya halus.
Ayah Rifqi menepuk keningnya sendiri. "Ah, iya. Kamu pasti dicariin keluargamu, yaudah kalau begitu kamu hati-hati di jalan," katanya. "Ohya, nama kamu siapa?" tambahnya sembari tersenyum lebar.
"Asha, Om."
Asha tersenyum miris, keluarganya? Mencarinya? Tidak mungkin. Tak ayal Asha tetap tersenyum manis sebelum berpamitan pergi.
Ayah Rifqi mengawasi Asha yang perlahan berjalan menjauh. Entah kenapa ia merasa iba pada sosok anak itu. Melamun. Hingga bahunya tiba-tiba terasa ditepuk seseorang membuatnya terkejut. Ia menoleh ke samping ternyata ada teman lamanya di sana.
"Apa yang kau lakukan di sini, Darin?"
"Ah, ternyata kau, Naren. Aku sempat terkejut tadi. Ah ya, aku dari toilet," jawab Darin, ayah Rifqi pada temannya yang ternyata adalah Naren. "Kudengar, putramu juga dirawat di sini, bagaimana kabarnya?" imbuhnya.
"Benar. Dia sudah siuman setelah beberapa jam yang lalu sempat kritis." Ada nada sedih dalam suara Naren.
"Aku turut prihatin. Semoga putramu lekas sembuh. Dan do'akan putraku juga," kata Darin.
"Pasti. Ah ya, aku harus pergi," pamit Naren.
Mereka lalu berpelukan ala-ala pria sebelum berpisah.
__Asha Note's__
"Hi, Boy! Bagaimana keadaanmu sekarang, hm?" sapa Darin pada putranya.
"Yah, lebih baik." Singkat dan padat.
"Kau ini, anak nakal! Kenapa kabur-kaburan?"
"Aku bosen, Pa ...," rengek Rifqi.
"Bukankah kau memiliki teman? Dia menitipkan salam untukmu. Dia harus pulang karena sudah sore," jelas Darin.
"Dia nggak pa-pa, 'kan?" Rifqi menanyakan kondisi Asha.
"Ya, dia sehat," papa rasa, terus Darin dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asha's Notes [Tamat]
RandomSudahi bucinmu, mari membaca kisah seorang lelaki remaja bernama Asha bersamaku! Sudah End, Tamat dan Selesai✔ Cerita Complete✔ *** Blurb: Akasha Adhyaksa, seorang anak laki-laki yang berkeinginan mendapatkan kembali perhatian keluarganya. Meskipun...