35

982 50 1
                                    

"Ube?"

Ube yang mendengar namanya dipanggil oleh suara akrab di telinganya menegang. Matanya tanpa sadar terbuka menampilkan mata merah yang dihiasi mata pada di sekitarnya.

"Ube, woy! Ini beneran lo, 'kan?" suara itu kembali terdengar meskipun dari kejauhan.

Ube menatap rumit pada barang kecil di telapak tangannya. Bergegas Udin mengantongi barang itu pada saku jeans depannya asal. Menata wajahnya yang kaku agar lentur ketika menampilkan senyum konyolnya. Lalu berbalik perlahan.

"Hai, Sha!" sapanya tanpa merasa ada yang salah.

Asha yang berada di depannya membeku saat melihat Ube yang menurutnya telah berubah banyak secara fisik. Wajah Ube sangat tirus, kulit dekil, dan rambutnya memanjang. Teman Asha itu memakai jaket jeans biru tua, sepatu hitam yang hampir terkoyak.

"Lo ...." Asha sulit untuk berkata-kata. "Lo ngapain di sini?"

Ube menggaruk leher bagian belakangnya. "Gue ... nggak ngapa-ngapain,"

Suasana canggung di antara keduanya terjadi sampai Ube angkat bicara. "Gue pergi dulu, ya, Sha. Sambil merogoh sakunya untuk mengambil kunci motor.

Sesuatu terbungkus plastik bening terjatuh tanpa Ube yang sedang tergesa-gesa sadari. Namun Asha melihatnya, ia maju sedikit lalu membungkuk, mengambil plastik berisi pil kapsul itu heran.

"Ube! Barang lo jatuh!" panggil Asha saat Ube menjauh.

Barang? Yang terlintas di pikiran Ube hanya satu. Seketika itu juga tubuhnya membeku ia langsung berbalik menuju Asha kembali. "Ke siniin!" pintanya memberikan telapak tangan di depan Asha.

Asha segera menarik tangannya ke belakang dan menggeleng. "Nggak!" tolak Asha menyembunyikan bungkusan itu di belakang tubuhnya. "Apa yang terjadi sama lo? Kenapa lo bisa kayak gini?" Akhirnya yang menjadi tanda tanya Asha sanggup ia utarakan.

Ube terbatuk kecil. "Memangnya gue kenapa? Bukannyaa dari dulu emang kayak gini?" kata Ube tersenyum paksa, kentara sekali di mata Asha.

Melihat itu Asha bertanya, "Kemana aja lo satu bulan terakhir ini? Lo nggak pernah jenguk gue di rumah sakit."

Cukup! Ube tidak bisa lagi menunjukkan bahwa ia sedang baik-baik saja di bawah tatapan teduh sahabat karibnya itu. Kelopak matanya sayu. "Gue nggak bisa bilang ke lo, ke mana gue pergi. Siniin obat gue!" pintanya sekali lagi.

Tangan Asha yang terbebas mulai mengepal. "Jangan kira gue bodoh, Ube! Gue tau barang apa ini." Mata Asha memerah.

Pertama, ia terkejut pada Ube yang sudah tidak dijumpainya lebih dari sebulan ini. Awalnya ia maklum pada apa yang Haiyan dan Sidhar katanya setiap bertanya keadaan ataupun kabar Ube. Namun semakin ke sini, jawaban keduanya yang tidak berubah membuat Asha berprasangka buruk.

Sekarang sudah terbukti. Apalagi kini dalam genggaman Asha ada barang haram yang mungkin telah dikonsumsi Ube selama ini. Ingin Asha tidak percaya apa yang ia lihat, tetapi begitulah kenyataannya.

Ube menunduk sedikit, helai-helai poninya ikut turun sehingga anak itu menyibaknya ke belakang. Senyum lebar tidak berdayanya merekah. "Hahaha! Bagus kalau tau. Jadi, lo nggak perlu ikut campur urusan gue lagi," ucapnya bernada datar.

"Tapi kenapa?" lirih Asha, "Kenapa sampai lo rela mengonsumsi barang haram kayak gini, huh?! Lo tau ini ilegal! Lo tau ini bahaya! Lo tau ini bisa buat lo masuk penjara ... kenapa lo lakuin ini?" histeris Asha berteriak tepat di depan Ube.

Asha tidak menyangka Ube akan melakukan hal sejauh ini. Mengonsumsi narkotika jenis sabu yang dibungkus kapsul obat.

Kepala Ube terasa berdenyut keras, ia berteriak dengan air mata luruh. "Gue hancur, Sha! Gue hancur ... cuma itu satu-satunya yang bisa buat gue sedikit punya motivasi buat hidup! Dengan itu gue bisa lupain masalah gue barang sejenak aja ...,"

"Tanpa itu, mungkin sekarang gue udah mati," lanjutnya lirih.

Tubuh Ube meluruh di depan Asha. Kedua tangannya menutup wajah merasa sangat frustrasi. Hati Asha nyeri melihat kondisi Ube yang sangat menyedihkan. Mengulurkan tangannya mengusap bahu temannya itu.

"Lo punya kami, Ube. Lo punya gue, Sidhar, dan bang Iyan. Lo nggak sendiri," kata Asha lembut.

"Gue hancur, Sha ... orang tua gue pisah. Mereka akhirnya ninggalin gue sendirian, mereka pergi tanpa berpikir bagaimana dengan gue, mereka pisah tanpa peduli sedikitpun sama gue. Mereka jahat, Sha."

Ube sangat stress karena orang tuanya berpisah. Memang, sudah lama kedua orang tua Ube mengalami cekcok satu-sama lain. Ketika ayahnya berteriak bahkan sampai melempar-lempar barang-barang di rumah pada ibunya, Ube hanya bisa membantu memeluk sang ibu; melindungi ibunya tanpa bisa melakukan apa pun pada ayahnya.

Namun, di sini bukan seratus persen kesalahan ayahnya. Semua permasalahan di rumah tangga keluarga Ube dimulai dari perselingkuhan sang ibu dengan teman ayahnya. Puncaknya yaitu kala kedua orang itu bertengkar hebat, sampai pada akhirnya pergi masing-masing dari rumah dan melupakan Ube yang saat itu menangis di pojok kamarnya meratapi semua yang terjadi.

Ube merasa kesepian. Ube merasa bingung untuk memihak siapa di antara kedua orang tuanya, yang menurutnya sama-sama egois. Lelah. Ube sempat berpikir akan mengakhiri hidupnya saat itu juga. Bukankah tidak ada lagi yang peduli dengannya? Untuk apa ia masih bertahan hidup kalau orang tuanya saja meninggalkannya?

"Gue ngerti apa yang lo rasain." Asha mengerti arti kesepian, kehampaan, dan frustrasi yang Ube rasakan saat ini. Tidakkah ia merasakannya bertahun-tahun?

Ube menyibak lengannya marah. "Enggak! Lo nggak akan ngerti apa yang gue rasain. Lo punya segalanya; ayah, ibu, kakak, adek, bang Iyan yang selalu peduli sama lo. Gimana lo bisa ngerti perasaan gue?" ejeknya pada Asha yang terdiam.

"Iya ... kayaknya emang gue lebih beruntung daripada lo." Beruntung? Asha tersenyum pahit. Mungkin memang benar setidaknya ia sedikit lebih beruntung dari Ube.

"Bedebah! Balikin barang gue!" Ube tidak lagi meminta secara baik-baik, ia menerjang Asha untuk mengambil barangnya yang digenggam Asha erat.

"Nggak!" tolak Asha bersiap untuk kabur, tetapi sayang kakinya dicekal hingga membuatnya terjatuh. "Aaakh!!!" jeritanya saat pinggang kirinya menghantam batu-bata dengan sangat keras.

Rasa nyeri langsung menjalar ke seluruh area perutnya. Keringat sebesar biji jangung menghiasi pelipisnya karena saking ia merasakan sakit yang tidak tertahankan.

Ube melihat Asha kesakitan wajahnya memucat, ia takut terjadi sesuatu pada Asha, tetapi ego menyuruh ia mengambil barang miliknya dan bergegas pergi tunggang-langgang. Meskipun jauh di lubuh hati kecilnya ia merasa bersalah.

Sepeninggal Ube. Asha memejamkan matanya menahan sakit yang luar biasa di pinggang kirinya. Itu adalah tempat ginjal tunggalnya berada. Asha mengekspresikan kesakitan yang ia rasa dengan menggaruk dan menggenggam tanah di depannya.

"Ya Allah ... sakit banget. Asha nggak kuat ...."

Asha's Notes [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang