12

893 53 0
                                    

Embusan angin menyapa rambut pendek Asha yang berjalan pelan di trotoar jalan raya. Pukul delapan pagi di hari Minggu, tentu saja sekolah Asha libur hari ini.

Asha memakai hoodie bertudung berwarna merah maroon dan celana jeans hitam, kakinya melangkah menyusuri jalanan Ibukota yang lumayan ramai pagi ini. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie, Asha melihat-lihat sekeliling.

Taman. Yah, Asha berhenti di sebuah taman bunga dan duduk di salah satu kursi yang berada di sana. Sejak keluar dari rumah sakit, pikiran Asha seperti linglung, ia berjalan hanya mengikuti ke mana kakinya menapak.

Saat ini, Asha dengan setia berdiam diri, duduk tanpa memikirkan apa pun dalam otaknya, melamun. Semua terasa kosong, hampa, seperti ada bagian dalam dirinya yang hilang, tetapi Asha tidak tahu apa itu.

Waktu terus berlalu, semakin siang, semakin banyak orang yang mulai berdatangan ke taman itu. Seperti seorang remaja yang duduk tidak jauh dari Asha, remaja itu membawa serta laptop miliknya (mengerjakan tugas) mungkin. Sepasang kekasih yang berduaan. Seorang kakek-kakek yang membawa anjing peliharaannya untuk jalan-jalan. Atau sebuah keluarga yang sedang berpiknik di taman itu.

"Damar ... maafin kakak ...," gumam Asha menunduk ketika mengingat wajah kesakitan Damar.

Tanpa aba-aba, bahu Asha ditepuk oleh seseorang membuat sang empunya terkejut bukan main, siapa yang dengan tidak berakhlaknya membuat Asha hampir jantungan. Dengan refleks Asha meloncat dari tempat duduknya dan terjatuh ke rerumputan taman yang sedikit basah karena embun.

"Eh, sorry! Gue, nggak tau ...." Seorang remaja laki-laki yang sepertinya sebaya dengan Asha itu meminta maaf karena tidak sengaja mengejutkan Asha.

Asha yang sedikit kesal segera bangkit, lalu berdiri di depan remaja yang tengah mengatur napasnya yang ngos-ngosan itu. Menilik dari kepala hingga kaki lalu kembali ke kepala lagi, mata Asha menyipit dan menyimpulkan, "Lo kabur dari rumah sakit, ya?" Asha menodong wajah remaja itu dengan jari telunjuknya. Sangat kentara karena remaja itu memakai pakaian pasien dari rumah sakit, semoga bukan rumah sakit jiwa.

Mata remaja itu membulat, dengan cepat remaja itu menarik tangan Asha dan menggiringnya duduk di kursi. "Sssttt!" Remaja itu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.

"Emm ... iya, sih, gue emang kabur dari rumah sakit." Remaja itu mengusap tengkuknya yang terasa dingin.

"Lo nggak tau, sih, rasanya dikurung di rumah sakit, dikelilingi orang sakit semua. Bukannya sembuh malah bisa-bisa tambah parah gue di sana." Remaja itu menjelaskan hal yang padahal Asha tidak peduli.

Asha kembali duduk tegap memandang langit yang sedikit mendung tanpa menyahut remaja tadi yang mengoceh dengan sendirinya. Sepertinya remaja itu tipekal orang yang banyak bicara.

"Ngomong-ngomong ... Lo ngerasa dingin nggak, sih?" pertanyaan remaja itu yang membuat Asha sadar dari lamunannya.

Menengok ke samping kanan, ternyata remaja tadi sangatlah pucat membuat Asha terkejut. "Astaga! Itu lo pucet banget, bego!" Suara nyaring Asha membuat remaja itu mengelus dadanya yang terkejut.

"Lo jangan sampe mati di sini, bangsat!" umpatan Asha.

Remaja itu mendelik. "Sembarangan kalo ngomong! Lo do'ain gue mati di sini?!"

Melepaskan hoodie yang ia kenakan, Asha lalu memberikannya pada remaja itu yang menatapnya bingung. Asha merapikan kaos panjang yang ia pakai, lalu menatap remaja tadi yang meminta penjelasannya.

"Itu hoodie, lo pake sono! Gue nggak mau, ya, ntar di tuduh ngebunuh lo di sini. Lo juga sih, sok-sokan kabur, nyari penyakit aja emang nih bocah," omel Asha membuat remaja itu terharu.

"M-makasih." Segera, remaja itu memakai hoodie milik Asha yang ternyata pas di badannya.

Asha hanya bergumam untuk menyahuti.

"Abis ini gue anter lo balik ke rumah sakit. Lo nggak boleh kabur lagi! Kalo lo terus-terusan di luar, gue yakin lo nggak bakal lama--"

Tidak menggubris Asha, remaja itu justru menanyakan, "Lo bawa duit nggak? Beliin gue sarapan, dong."

"Dih, siape lo? Minta traktiran sarapan? Kenal aja kaga." Nggak punya malu nih anak, udah nyusahin gue, minta sarapan pula, emang gue bapaknya, pikir Asha.

"Pelit amat jadi manusia!"

"Bodoamat." Dengan malas Asha menarik paksa tudung hoodie yang dikenakan remaja itu.

Tersentak karena tiba-tiba ditarik dan diseret pergi dari taman dengan tidak sabaran, remaja itu berontak, "Woi, woi, woi! Main seret aja, lo, heh! Gue mau dibawa ke mana, nih? Woi ...."

Asha tak mrnggubrisnya dan memilih terus berjalan sembari melihat-lihat beberapa pedagang yang berada di pinggir jalan. Tidak lama matanya menangkap sebuah gerobak bertuliskan "Bubur Ayam" yang berada dibawah pohon mangga pinggir jalan.

Asha kembali menyeret remaja yang Asha tidak tahu namanya tersebut menuju ke gerobak penjual bubur ayam. Remaja itu diam, lelah karena ocehannya tidak pernah dianggap Asha yang seenaknya sendiri. Memilih nurut saja, menjadi anak baik tidak ada salahnya juga.

"Mang!" panggil Asha yang mengagetkan si penjual.

"Ebuset ... ngagetin aja lo, Tong." Penjual itu mengelus dadanya.

Asha jadi merasa bersalah, ia tersenyum manis dan berkata, "Hehe maaf, Mang. Nggak sengaja. Ngomomg-ngomong saya mau beli bubur ayamnya."

"Oh iya nggak pa-pa, untung nggak punya riwayat jantung. Mau beli berapa?" tanya mamang itu yang bersiap meracikkan bubur ayamnya.

"Dua porsi," jawab Asha.

"Bungkus atau makan sini?" Mamang itu kembali bertanya.

"Makan sini aja. Oiya, saya duduk di sana, ya, Mang." Asha menunjuk seorang remaja laki-laki berhoodie yang duduk meringkuk memeluk lututnya di bawah pohon mangga.

Mamang itu memberikan acungan jempol seolah berkata "siap".

Asha menghampiri remaja itu dan duduk di sebelahnya. "Btw nama lo siapa?" tanya Asha. Setelah diingat-ingat, mereka belum mengetahui nama masing-masing.

Wajah yang sebelumnya malas berubah menjadi bersemangat setelah Asha melontarkan pertanyaan itu. Dengan bahagia remaja itu menggenggam tangan Asha.

"Kenalin, nama gue Rifqi, R I F Q I. Pake Q bukan K. Gue anak tunggal. Hobi main bola. Warna kesukaan merah. Makanan favorit rendang. Kalo lo?" jelas remaja itu, Rifqi.

"Gue Asha." Singkat, padat dan bangsa--

"Asha? Oke, salam kenal. Btw nama lo kayak cewek--" ucapan Rifqi terpotong karena tatapan tajam Asha. "Eh, enggak, kok! Nama lo bagus, iya, bagus," ralat Rifqi.

Asha hanya bergumam. Tidak lama bubur pesanan mereka pun datang.

Asha memberikan semangkuk bubur itu pada Rifqi. "Nih, sarapan. Abis ini lo beneran gue anterin balik ke rumah sakit."

Mata Rifqi berbinar, menerima mangkuk itu. Namun sebelumnya, Rifqi memindahkan irisan ayam dari mangkuknya ke mangkuk Asha.

"Eh, napa lo?" bingung Asha.

"Gue alergi daging ayam," ucap Rifqi tersenyum kecil.

_____

Hai! Gimana kabar kalian? Semoga sehat selalu ya!

Asha's Notes [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang