004. Rosenzweig (1)

10.2K 1.3K 75
                                    

Sejauh mata memandang, hanya hitam yang ia temukan. Sunyi. Dia sendiri. Tak ada satu pun makhluk lain selain dirinya. Kemudian, sebuah batu ruby seukuran bola pingpong tiba-tiba muncul. Melayang di hadapan. Ia mengerutkan dahi.

Edeth sadar betul bahwa ini hanyalah mimpi. Tangan terulur. Telunjuk menyentuh permukaan batu. Lalu, dari sentuhan ringannya, batu itu retak. Semakin membesar, dan kemudian pecah. Berkeping-keping. Serpihan-serpihan batu itu melayang. Mendekat ke tubuh Edeth. Berhenti di depan dadanya. Dua tangan anak itu bergerak. Mengungkung serpihan patah itu agar tak ada yang jatuh, dan patahan itu berpendar. Cahaya merah yang lembut. Bahkan, nyaris redup. Dari sana, sebuah asap hitam keluar. Semakin besar. Membesar.

Lalu, menenggelamkan Edeth.

Memakan tubuhnya.

"Young Master."

Kedua mata itu membuka perlahan. Sinar mentari menusuk pupil. Ia mengerang. Merasa tak nyaman. Lalu, membenarkan posisi berbaring di ranjang empuknya.

Ah, baru kali ini Edeth merasakan tempat tidur seenak ini.

Ia memiringkan tubuh. Mengingat kembali mimpi yang baru saja ia alami. Tidak paham dengan maksud dari mimpi tersebut. Ketika kedua mata dibuka kembali, ia terperanjat kaget. Seorang anak--atau remaja?--yang ia yakini lebih tua, berdiri di sisi ranjang dan menatap lurus ke arah Edeth.

"Selamat pagi," anak itu berujar tenang.

"... Pagi."

Siapa ini? Helai hitamnya mengingatkan Edeth pada Uriel. Namun, iris mata berwarna hijau Emerald, sangat berbeda dari pria tersebut. Edeth melirik Rosa yang tengah menyiapkan baju untuk ia pakai. Wanita itu mengenakan seragam maid. Menunjukkan bahwa ia sungguhan seorang pelayan, walau di dahi dan pipinya terdapat plester luka akibat pertarungan kemarin.

"Aku akan menunggu di sini," ujarnya lagi.

Edeth mengedip.

... Menunggu untuk apa?

Dua pelayan lain masuk ke dalam kamar. Anak tadi beranjak menuju sofa kamar dan duduk di sana. Buku di atas meja, ia ambil. Menatap Edeth sekali lagi, dan tersenyum.

"Young Master, ayo," Rosa meraih tubuh Edeth agar ia bisa berpisah dari ranjang. Selimut yang sedari tadi melindungi tubuhnya, tetap ia genggam. Dia tidak mau bangun. Dia masih mau tidur. Hari ini saja, dia ingin bersantai hingga sore.

Satu pelayan lain, menggenggam tangan Edeth pelan. Wanita itu tersenyum manis. Lalu, melepaskan paksa genggamannya pada selimut.

... Jahatnya.

Dan ia dibawa masuk ke dalam kamar mandi. Dia bisa mandi sendiri padahal. Tapi, tiga maid tersebut tentu tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Tubuh polos didudukkan di dalam bathtub. Dua kaki ia tekuk. Tangan terlipat di atas lutut untuk menopang dagu.

Hanya diam membiarkan tiga wanita tersebut memasukkan bermacam-macam cairan wangi ke dalam air bathtub. Berendam di pagi hari seperti ini tidak buruk juga. Ketika kulit punggungnya di sentuh oleh salah satu dari mereka, Edeth refleks beranjak berdiri. Iris merah menatap wanita yang melakukan itu dengan tajam.

"Jangan sentuh," ucapnya dingin.

Rosa yang sudah hafal benar sifat Edeth menarik anak itu dengan pelan. Mendudukkannya lagi, dan membuatnya bersandar.

"Tuan Muda tidak suka disentuh tanpa izin, jadi lain kali kalian harus memberitahu dulu," ujar Rosa.

"Ah," si pelaku mengangguk cepat, "Maafkan saya, Young Master."

NEW LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang