009. Teman (3)

6.5K 1.1K 139
                                    

Edeth bersenandung pelan sambil berjalan menuju danau samping rumah. Sesekali cotton candy yang ia pegang, ia cuil sedikit untuk dimakan. Asgar di belakang hanya mengekori tanpa bersuara. Ketika sampai di titik yang Edeth mau, untungnya anak itu lumayan sadar diri untuk mengambil kain yang Asgar bawa, dan membentangkannya sendiri. Lalu, melepas sepatu yang ia pakai dan duduk di bagian tengah, kemudian menepuk-nepuk sisi kiri agar Asgar ikut duduk di sana.

Keranjang rotan yang dibawa, Asgar letak di depan mereka. Menurut untuk duduk di samping Edeth dan bersila. Membiarkan Edeth mengeluarkan termos sedang berisi minuman serta menyiapkan kudapan-kudapannya. Cotton candy yang masih dipegang erat, Edeth bagi jadi dua. Bagian yang sudah ia cuil di tengah jalan tadi, ia beri pada Asgar, sementara yang masih bagus, ia makan sendiri.

Edeth suka dengan orang seperti Asgar. Padahal tahu sedang dimanfaatkan, tapi diam saja dan menurut.

Keduanya menatap air danau yang tenang seraya memakan cotton candy pelan-pelan. Angin sejuk berembus menemani. Yang paling muda, menoleh menatap si pemilik darah biru. Kembali memperhatikan kulit tan yang tampak lebih mencolok sebab pakaian Gereja yang ia kenakan berwarna putih. Tangan kiri terulur. Bergerak mengusap pipi kanan Asgar.

"Padahal sudah besar, tapi makannya masih berantakan," komen anak itu.

Manik silver membesar kaget. Tangan refleks menutup area yang barusan disentuh, "Ti-tidak sopan."

"Hah?" Dahi tertutup poni mengernyit. Ekspresi kesal Edeth terlihat jelas, "Hey, aku membantumu. Kenapa malah dikatai tidak sopan?"

"Tidak boleh menyentuh orang tanpa izin," ujar Asgar lagi.

"Tapi, kan, maksudku baik."

"Kau sendiri, kalau disentuh tanpa izin mau tidak?"

Bibir Edeth sontak terkatup rapat. Disentuh tanpa izin. Tatapan mata kembali bergulir ke air danau. Tentu dia tidak mau.

"Maaf. Aku tidak akan ulangi lagi." Lalu, ia segera menggeser duduknya agar lebih menjauh. Dari ujung mata, bisa melihat ekspresi Asgar yang berubah tak nyaman sebab ia yang menjauh.

"Asgar."

Helaan napas terdengar, "Kau seharusnya memanggilku Pangeran."

"Kau boleh memanggilku Edeth."

"Aku memang boleh memanggilmu seperti itu."

"Asgar, umurmu berapa?"

Akhirnya, Pangeran ketiga itu menyerah dan memutuskan untuk membiarkan Edeth memanggil sesuka hatinya. Anak ini kelihatan sekali bukan tipe orang yang mau mendengarkan perintah orang lain dengan mudah, "Aku sembilan. Kau?"

"Bulan depan, aku enam."

Bulan depan?

"Awal musim gugur?" tanya Asgar.

Edeth mengangguk mengiyakan, "Ku dengar, elemenmu sudah keluar. Light, right?"

Kali ini, Asgar yang mengangguk, "Sepertinya karena aku terlalu lama di Gereja, jadi elemenku juga ikut terpengaruh untuk membentuk Cahaya," Ia kembali menghela napas. Memasukkan sedikit cotton candy ke dalam mulut dan merasakannya meleleh di lidah, "Aku harap, aku bisa cepat-cepat bisa menyentuh elemen api."

"Kenapa?" Cotton candy di tangan, ia belah menjadi dua lagi. Satu ia beri pada Asgar yang tampak suka pada makanan manis itu. Satu lagi langsung ia habiskan.

"Cahaya tidak berguna kalau aku memakai pedang. Jika nanti aku malah menyembuhkan lawan bagaimana? Kan itu bodoh."

Rambut bergerak ketika kepala mengangguk. Tutup termos, Edeth buka. Lalu mencurah teh ke dalam tutup tersebut yang ia jadikan gelas, "Asgar mau menjadi Ksatria?"

NEW LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang