Elnathan memeluk adik bungsunya erat-erat. Tidak rela harus berpisah karena liburan sekolah sudah selesai. Segala macam skenario penculikan Edeth agar anak itu bisa ikut ke Akademi, sudah Elnathan bayangkan. Tapi, kalau ujung-ujungnya nanti Uriel malah murka dan melarang mereka berkomunikasi, kan Elnathan tidak mau.
"Sering-sering kirim surat padaku, okay?" ujarnya. Mengecup dua belah pipi yang masih gembil itu beberapa kali.
Edeth yang diperlakukan seperti itu hanya memasang wajah datar. Lalu, mendorong wajah Elnathan dengan risih dan melepaskan diri dari pelukannya.
"Tidak! Aku masih mau peluk!"
Theo menghela napas.
Ketika kereta kuda milik Uriel telah siap, pria itu langsung merebut putra bungsunya dan memasukkan anak itu ke dalam kereta.
"Kami pergi duluan," ujar Uriel.
Si anak tengah mengangguk, "Hati-hati "
"Edeth jangan pergi!"
Mengabaikan si sulung yang masih sangat sangat tidak rela melepas adiknya, kereta itu langsung beranjak. Keluar dari halaman mansion, Edeth mengintip ke belakang. Melihat Elnathan yang masih berdiri di tempat yang sama, dan harus diseret oleh Theo agar mau masuk ke kendaraan mereka. Kemudian, barulah duduk dengan benar.
Dua orang yang berada di dalam kereta itu saling tatap. Uriel membenarkan letak rambut Edeth yang sedikit berantakan karena unyelan dari Elnathan. Kemudian, memperhatikan penampilan anak itu. Dahinya mengerut, "Kau tidak bawa buku?"
Edeth menggeleng, "Aku mau lihat-lihat dulu. Kalau menarik, aku masuk."
Sang Papa menghela napas. Sudah pasrah dengan kelakuan anaknya, "Nanti kalau selesai duluan, tunggu di ruangan Alois saja ya. Biar ku jemput di sana."
"Loh, Alois tidak ke Akademi?" Berhubung Elnathan kembali ke sana, Edeth kira Alois juga.
Uriel menggeleng, "Alois hanya tinggal menunggu kelulusan saja. Jadi, dia boleh tinggal di Istana, untuk mengerjakan tugas sebagai Pangeran Mahkota."
Hmmm ... okay. Si manis itu mengangguk paham. Berpangku dagu dan menatap keluar jendela. Melihat orang-orang yang mereka lewati karena kereta melalui jalan kota. Mengenali salah satu toko kue yang sempat ia kunjungi bersama Elnathan kemarin.
Kemudian, menatap ke depan. Memperhatikan pakaian Uriel yang selalu terlihat mewah di matanya. Dandanan Uriel itu tidak pernah kalah dari keluarga kerajaan. Karena ciri-ciri yang mereka miliki sama, rambut hitam, warna mata merah, kulit putih pucat, Edeth bertanya-tanya apakah ketika dia besar nanti, dia akan menjadi seperti Uriel?
Well, menjadi seperti Uriel tidak buruk juga.
Dia lebih ingin menjadi seperti Papanya. Muak sekali tiap mendengar Rosa berkata bahwa ia akan tumbuh seperti Callista.
"Uriel, kau belum memberiku uang saku," ujar Edeth mengingatkan.
Yang ditodong hanya menghela napas. Menepuk saku celana dan saku jas, untuk memeriksa apakah ia punya uang untuk diberikan.
"Kalau tidak ada, nanti saja di rumah," Edeth tersenyum manis.
Lucu memang. Tapi, entah kenapa Uriel tidak terlalu suka dengan senyum yang ini.
"Uang saku karena kau pergi kerja, seperti biasa lima koin. Terus, aku pergi sekolah, tambah lima koin. Dan karena diberikannya terlambat, aku naikan dua kali lipat. Totalnya dua puluh koin ya. Tolong masukkan ke celenganku."
Lihat? Kecil-kecil sudah jadi rentenir. Untung Ayahnya kaya.
"Edeth, jangan merampokku saja. Rampok uang orang lain juga," gerutu Uriel.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEW LIFE
FantasyAku lahir kembali. Di dunia yang benar-benar berbeda dari dunia sebelumnya. Menerima nama baru. Keluarga baru. Takdir baru. Namun, dengan semua ingatan yang masih terekam jelas di kepala, tidakkah Mereka yang menghidupkan aku kembali melakukan kesal...