BLACK HELLEBORE || Part 11-Hermes and Ares

28 4 1
                                    

Perjalanannya menuju Village benar-benar terasa susah. Jalanan begitu terjal dengan salju yang sangat tebal. Mereka terlalu jauh memasuki area kaki gunung Rainier. Perjalanannya hanya diterangi oleh sedikit cahaya bulan. Pohon-pohon cemara ini benar-benar mengganggu William. Sudah sekitar dua puluh menit, akhirnya William sampai di perbatasan utara danau Rainier. William melihat kuda Alessia—Carolus, berjarak tidak jauh darinya. Emosi William kembali naik. Matanya memicing tajam melihat kuda putih itu. Tanpa berpikir panjang lagi, William segera mengeluarkan pistol dari saku mantelnya, kemudian menembakan lebih dari lima peluru ke arah kuda itu. Masa bodoh dengan amarah Alessia nantinya. Setelah ini, William benar-benar akan membenci kuda.

_______________________________________

BLACK HELLEBORE || Part 11—Hermes and Ares

||

Rockefeller Cottage | Seattle, Washington—USA
07.30 AM

30 AM

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

      Liburan yang dibayangkan William benar-benar berbanding terbalik dengan sebuah kenyataan yang menghantamnya saat ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


      Liburan yang dibayangkan William benar-benar berbanding terbalik dengan sebuah kenyataan yang menghantamnya saat ini. Keadaan Alessia benar-benar buruk. Apa yang akan ia katakan kepada orang tuanya dan juga orang tua Alessia. Ini benar-benar buruk.

Alessia masih tertidur dengan keadaannya yang bisa dikatakan tidak baik-baik saja. Kepalanya diperban, kaki kiri terkilir dan tangan kanannya patah. William tidak bisa tidur semalaman. Pikirannya hanya dipenuhi dengan Alessia dan Alessia.

Semalam ketika tiba di cottage, William segera menghubungi beberapa dokter spesialis keluarganya untuk segera datang. Ketika mereka mengobati Alessia, William benar-benar kehilangan kendali. Alhasil, para bodyguard dan penjaga horse ranch menjadi korbannya. William marah besar, hampir semua orang-orangnya yang berada di cottage terkena imbas dari kemarahan William.

William Rockefeller bagaikan sosok Hermes bagi Alessia. Namun, kemarahannya membuat sosok Hermes dalam dirinya digantikan oleh sosok Ares yang kejam serta tidak memiliki belas kasihan.

Dering ponselnya membuat William tersadar dari lamunannya. William segera melangkahkan kakinya keluar dari kamar yang ditempati Alessia. Khawatir wanita itu akan terganggu dari tidurnya.

William duduk di depan perapian. Tangan kanannya mencengkeram ponsel dengan kuatnya. Mata cokelat William berpendar tajam seraya melihat pemandangan gunung Rainier dari jendela besar di depannya.

Liam Wilson, pria dua puluh tiga tahun yang mengabdikan dirinya untuk William, memberikan informasi bahwa Dominic Alfred, berada di daerah yang sama dengan William. Yang artinya, Dominic sedang berada di Seattle. Bukan hanya keberadaan Dominic yang membuat William marah, tetapi foto Dominic yang dikirimkan Liam membuatnya berpikir bahwa kejadian ini ada hubungannya dengan pria brengsek itu.

***

Alessia terbangun dari tidurnya seraya memegangi kepalanya yang terasa sakit. Alessia meringis melihat keadaannya yang bisa dikatakan sangat buruk. Sebulir air mata terjatuh dari mata hijau birunya. Tangannya. Alessia melihat tangan kanannya yang digips. Kenapa harus tangan kanannya?! Kenapa tidak tangan kirinya saja?! Lukisannya? Bagaimana dengan lukisan-lukisan yang akan dijadikan lelangan dalam kegiatan amal nanti?

Air mata Alessia mengalir semakin deras. Suara rintihannya terdengar begitu memilukan. Melukis adalah bagian dari hidupnya. Melukis ibarat udara bagi Alessia. Kenapa tidak kakinya saja yang patah? Kenapa harus tangan kanannya!

Alessia merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Untuk menjaga dirinya sendiri saja ia tidak bisa. Alessia mengusap air matanya, tetapi percuma... air mata itu seakan tahu, bagaimana terpuruknya ia saat ini.

Alessia mencoba berdiri dari tempat tidurnya dengan bertumpu pada nakas. Namun nahas, kaki kirinya yang terkilir ternyata tidak mampu menahan beban tubuhnya. Alhasil, tangannya tanpa sengaja menjatuhkan lampu tidur dan beberapa furnitur kaca, menyebabkan bunyi yang cukup nyaring. Alessia terlonjak kaget ketika mendengar suara debuman pintu yang bunyinya lebih kencang dari barang yang dijatuhkannya.

"Kau pikir apa yang kau lakukan?!" William berlari menghampiri Alessia yang jatuh terduduk di lantai.

"Will aku—"

"Jangan bergerak! Kau bisa terluka"

"Aku memang sudah terluka, Will," ucap Alessia dengan lemahnya. William memandang Alessia dengan sendu. Tanpa mengatakan apa pun, William segera mengangkat Alessia untuk dibaringkannya di kasur.

Alessia memperhatikan William yang tengah sibuk memeriksa setiap inci tubuhnya. Memastikan tidak ada goresan sedikit pun. Air matanya semakin mengalir deras. Dirinya benar-benar merasa spesial atas perlakuan William. Pria yang sedari dulu menjadi pelindungnya. Penyembuh setiap rasa sakitnya. Pria yang selalu menjadi sandarannya ketika dirinya berada di titik terbawah. Dia William—orang pertama yang selalu mengapresiasi apa pun yang Alessia lakukan, terutama melukis.

Alessia berusaha menahan isakannya. Ia tidak ingin William melihat dirinya dalam keadaan rapuh. Meskipun semua orang juga tahu, kalau dirinya sedang dalam keadaan rapuh. Setidaknya ia ingin menunjukkan pada William, bahwa Alessia yang pria itu kenal adalah Alessia yang kuat, bukan Alessia yang lemah.

William mendudukkan dirinya di samping Alessia. Memperhatikan wajah pucat gadis cantiknya. Senyuman di bibir manis Alessia harus kembali! Seseorang harus membalas atas perbuatannya!

"Apakah kepalamu masih sakit?" William memperhatikan Alessia dengan lekat.

"Tidak, Will. Aku baik-baik saja," ucap Alessia dengan senyuman di wajahnya.

"Maafkan aku, Al. Aku gagal menjagamu." Tangan William terulur untuk menghapus sisa air mata Alessia.

"Tidak, ini memang kesalahanku. Seharusnya aku menuruti perkataanmu, Will."

"Kau tidak akan pernah menuruti perkataanku," sindir William sarkastis.

"Kau benar," ujarnya membenarkan perkataan William.

"Berjanjilah untuk selalu berada di sisiku, Will. Apa pun yang terjadi."

William tidak membalas ucapan Alessia. Ia hanya menarik Alessia kedalam pelukannya. Untuk sementara waktu, dia hanya ingin seperti ini bersama Alessia.

_______________________________________

Bye... See you..

Black HelleboreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang