BLACK HELLEBORE || Part 10-Carolus And The Foot Of Mount Rainier

25 3 1
                                    

William memperhatikan Alessia yang melajukan kudanya semakin kencang ke arah utara.

"Ck, Wanita itu benar-benar nekat," gerutu William dengan gusar.

"ALESSIA DOMANI!" teriak William dengan lantangnya. Wajah William merah padam menahan amarah. Gigi-giginya sudah saling menggeletuk. Rahang kokohnya terlihat menegang seiring jarak Alessia yang semakin jauh darinya. Alessia benar-benar memacu kudanya dengan sangat kencang. Setelah ini, ingatkan William untuk tidak mempertemukan Alessia dengan kuda.

_______________________________________

BLACK HELLEBORE || Part 10—Carolus And The Foot Of Mount Rainier

||

     matahari mulai menghilang di bawah garis cakrawala sebelah barat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

     matahari mulai menghilang di bawah garis cakrawala sebelah barat. Langit-langit mulai berubah menjadi kemerahan. Puncak gunung Rainier layaknya disiram cahaya hangat mentari.

Alessia masih saja asyik dengan kudanya. Tidak ingin berhenti sama sekali. Kemarahan William benar-benar tidak dihiraukan oleh wanita itu, hingga akhirnya William yang terpaksa selalu mengikuti kemana pun Alessia pergi. Ia tidak akan membiarkan Alessia hilang dari penglihatannya walau sedetik pun.

Daerah kaki gunung Rainier cukup sepi. Hanya ada mereka berdua di sana. Karena memang William sengaja mengosongkan tempat itu. Tidak ingin waktunya bersama Alessia diganggu oleh siapa pun. Namun sepertinya ia salah. Alessia benar-benar mengabaikannya. Seakan-akan hanya ada Alessia dan Carolus di sana.

"Alessia, ayo kita kembali ke village. Hari sudah mulai gelap," seru William, ketika melihat Alessia tengah mengitari sebuah pohon cemara. Entah apa yang sedang dia lakukan.

"Tunggu sebentar Will, aku seperti melihat sesuatu di pohon ini," gumam Alessia yang sepertinya tidak terdengar oleh William karena jaraknya yang lumayan jauh.

"Kau bicara apa, Al?! Aku tidak dengar," balas William dengan berteriak.

"Kemarilah, Will. Sepertinya aku melihat—"
perkataan Alessia terpotong dan digantikan oleh teriakan histerisnya yang memanggil nama William. William tak kalah terkejut ketika melihat Alessia dibawa lari sekencang-kencangnya oleh Carolus. Bahkan lebih kencang dari pacu kuda William.

Ada yang tidak beres. William segera memacu kudanya lebih kencang lagi. Ia kehilangan jejak Alessia. Namun suara jeritan Alessia masih terdengar olehnya. Cukup sulit untuk menjaga keseimbangan agar kudanya tidak terperosok kedalam salju. Salju semakin tebal dan hari juga semakin gelap. William kalap. Dirinya benar-benar panik saat ini. Kedua tangannya bergetar hebat. Takut terjadi suatu hal yang buruk pada Alessia.

Suara jeritan Alessia menghilang diantara lebatnya pohon cemara. Pohon-pohon ini semakin rapat. Mempersulit pergerakan kudanya—Halbert. William berulang kali berteriak memanggil Alessia, tetapi nihil. Alessia sama sekali tidak menyahutnya.

William segera menghubungi para bodyguard-nya, untuk segera memabantunya mencari Alessia. Jika terjadi sesuatu pada Alessia, William benar-benar akan menyalahkan dirinya sendiri.

William sudah hampir mengitari sebagian kaki gunung Rainier, tetapi Alessia belum juga ditemukan. Ia mencengkeram kuat-kuat kepalanya. Dadanya naik turun menahan gejolak emosi. Matanya sudah hampir memerah menahan antara amarah dan tangis. Para Bodyguard sialan itu juga tidak kunjung datang. William benar-benar akan melubangi kepala mereka. Ingatkan dirinya untuk memberi perhitungan kepada penjaga Horse ranch yang mengatakan Carolus dalam keadaan prima.

William kembali memacu kudanya ke segala arah. Berharap menemukan Alessia dalam keadaan baik-baik saja. Peluh membanjiri William, meskipun suhu sudah mencapai -2°C. William lelah. Dia benar-benar lelah, tetapi Alessia... apakah dia akan baik-baik saja?
Samar-samar William mendengar suara seseorang yang tengah merintih. William segera memacu kudanya di tengah kegelapan malam. Matahari sudah benar-benar tenggelam di bawah garis cakrawala.

William segera menarik tali kekang kudanya ketika melihat seseorang terbaring lemah di atas dinginnya salju. William turun dari kudanya, ia berharap jika itu bukan Alessia. Alessia-nya pasti baik-baik saja. Namun trench coat dan syal yang dikenakan seseorang itu sama persis dengan yang dikenakan Alessia.

"Will—" gumam seseorang itu lirih. Pertahanan William runtuh. Ia berlari ke arah seseorang yang terbaring tidak berdaya di atas dinginnya salju. Dan sayangnya, itu adalah Alessia. Wanita yang selama ini mati-matian William jaga agar tidak tergores sedikit pun.

William segera mengangkat Alessia kedalam pangkuannya. William menangis. Sungguh, ini adalah air mata pertama yang William keluarkan untuk seorang wanita.

"Alessia, kau baik-baik saja, 'kan? Kau mendengarku?! Al—"
William tidak sanggup lagi berbicara. Tubuhnya bergetar hebat. William merasakan sebuah cairan kental di telapak tangannya ketika ia memegang kepala Alessia. Darah? Alessia berdarah?! Sialan! Malam ini, seseorang harus menanggung kemarahan William.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, William segera mengangkat tubuh Alessia ke atas kudanya—Halbert. William melepaskan sepatu boots serta sarung tangan yang tengah ia gunakan, kemudian memakaikannya pada Alessia. Milik Alessia sendiri, entah berada di mana, William tidak melihatnya. Samar-samar William melihat wajah Alessia yang membiru kedinginan serta beberapa luka di bagian tubuhnya. William bersumpah akan membunuh siapa pun yang sengaja melakukan ini. Ia tidak bodoh. William tahu, kuda itu dalam pengaruh obat.

William mendekap Alessia dengan erat. Memastikan Alessia tidak akan terjatuh seraya membisikkan beberapa kata yang ia yakin Alessia tidak akan mendengarnya. Wanita itu benar-benar menutup matanya dengan rapat. William pastikan mata hijau biru itu akan terbuka kembali untuknya. Tidak! Tidak seorang pun yang boleh melakukan ini!

Perjalanannya menuju Village benar-benar terasa susah. Jalanan begitu terjal dengan salju yang sangat tebal. Mereka terlalu jauh memasuki area kaki gunung Rainier. Perjalanannya hanya diterangi oleh sedikit cahaya bulan. Pohon-pohon cemara ini benar-benar mengganggu William. Sudah sekitar dua puluh menit, akhirnya William sampai di perbatasan utara danau Rainier. William melihat kuda Alessia—Carolus, berjarak tidak jauh darinya. Emosi William kembali naik. Matanya memicing tajam melihat kuda putih itu. Tanpa berpikir panjang lagi, William segera mengeluarkan pistol dari saku mantelnya, kemudian menembakan lebih dari lima peluru ke arah kuda itu. Masa bodoh dengan amarah Alessia nantinya. Setelah ini, William benar-benar akan membenci kuda.

_______________________________________

Hai.. Holla..
Wah.. Gimana chapter ini? Kurang greget?

Komentar dong... Wkwk
Jangan lupa vote nya juga yaa..

Menurut kalian siapa nih pelakunya?
Dan apa yg Alessia lihat di pohon cemara??

Okay.. See you next part.

Follow ig : @nandaalfiyah7

Bye....

Black HelleboreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang