"Maafkan aku, Al. Aku gagal menjagamu." Tangan William terulur untuk menghapus sisa air mata Alessia.
"Tidak, ini memang kesalahanku. Seharusnya aku menuruti perkataanmu, Will."
"Kau tidak akan pernah menuruti perkataanku," sindir William sarkastis.
"Kau benar," ujarnya membenarkan perkataan William.
"Berjanjilah untuk selalu berada di sisiku, Will. Apa pun yang terjadi."
William tidak membalas ucapan Alessia. Ia hanya menarik Alessia kedalam pelukannya. Untuk sementara waktu, dia hanya ingin seperti ini bersama Alessia.
_______________________________________
BLACK HELLEBORE || Part 12—A Plan
||
Rockefeller Cottage | Seattle, Washington—USA
08.00 AMSuasana di Rainier masih tetap indah. Tidak ada yang berubah, meskipun sudah hampir tujuh tahun lebih Alessia maupun William tidak berkunjung ke tempat yang penuh dengan kenangan masa kecil mereka.
Alessia tengah duduk di sofa panjang dekat perapian dengan pemandangan di hadapannya yang memperlihatkan keindahan Rainier, meskipun dibatasi oleh kaca besar. William sendiri tengah sibuk membuatkannya cokelat panas sejak lima belas menit lalu. Entah apa yang dilakukan pria itu dengan cokelatnya.
Alessia beralih memperhatikan William yang sedang berada di meja pantry. Alessia mengembangkan bibirnya ketika melihat William sedikit kesusahan ketika menuangkan air panas. Raut wajahnya yang begitu serius membuatnya terlihat lebih tampan.
William segera menghampiri Alessia ketika cokelat panasnya sudah siap. Namun, ekspresi wajah Alessia yang seperti tengah melamun membuatnya ingin tertawa. William segera meletakkan dua gelas cokelat panas itu ke atas meja. Kemudian menatap Alessia dengan seringai devilnya.
"Apa yang kau pikirkan?" bisiknya rendah di telinga Alessia.
Alessia terkesiap, seakan baru tersadar dari lamunannya sedari tadi.
"Tidak, aku hanya—" Alessia tidak melanjutkan ucapannya. Matanya tertuju pada ujung utara danau Rainier. Ia teringat sesuatu.
"Will, kau ingat salah satu pohon cemara di kaki bukit Rainier, saat sebelum insiden itu terjadi?
"Kau melihat sesuatu?" tanya William memastikan.
"Aku melihat sebuah boneka yang digantung di bagian leher. Badannya juga sudah tidak sempurna. Boneka itu kehilangan tangan kanan dan kaki kirinya."
"Kau yakin dengan apa yang kau katakan, Al?" Rahang William tampak mengeras. Mata cokelatnya berpendar penuh amarah.
"Aku melihatnya dengan cukup jelas, Will," ujarnya dengan sangat yakin.
"Kau bisa menyimpulkannya?" tanya William dengan kernyitan di dahinya yang menandakan ia tengah berpikir keras.
"Aku rasa ini ada hubungannya denganku, Will.
Kau lihat sendiri, bukankah sama? tangan kanan dan kaki kiri?" ujar Alessia sembari menunjuk tangan kanan dan kaki kirinya yang terkilir."Sebenarnya aku mencurigai pria brengsek itu." William mengeluarkan beberapa lembar foto dari saku jaketnya.
"Dominic?!" Alessia terkejut dengan beberapa foto yang diperlihatkan William padanya.
"Kau bisa melihatnya sendiri, Al. Di foto itu, Dominic menulis dengan tangan kiri. Kau tahu kenapa?" Alessia menggelengkan kepalanya, tidak ingin salah menebak.
"Dominic, kehilangan saraf motorik pada tangan kanannya."
Alessia terkejut mendengar pernyataan William. "Bukan karena cairan zat kimia waktu itu, 'kan? Kalaupun memang benar, Dominic hanya akan mendapatkan luka bakar buka malah kehilangan saraf motoriknya."
"Memang benar karena cairan itu, Al. Aku menambahkan beberapa zat kimia lagi pada jarum suntik itu."
Alessia melebarkan matanya. Terkejut dengan pengakuan William.
"Semua yang terjadi padamu adalah bentuk dari balas dendam Dominic. Aku merasa sangat bersalah padamu. Ini semua salahku. Maafkan aku, Al."
Alessia melihat raut penyesalan pada wajah William. Tidak, ini bukan salah William. Ada sesuatu yang aneh di sini.
"Ini semua bukan salahmu, Will. Tapi ada yang janggal. Jika Dominic berniat untuk balas dendam, itu artinya Dominic sudah mengetahui jika kita memang sedang bermain-main dengannya."
"Kau benar. Terbukti dengan Dominic yang saat ini sedang berada di Seattle."
"Dominic berada di Seattle?! Kau tidak memberitahuku, Will."
"Bagaimana bisa aku memberitahumu ketika kau saja tertidur hampir sehari penuh. Membuatku hampir gila," erang William frustasi.
"Baiklah, kita harus menyusun rencana," ujar Alessia penuh dengan ambisi. Matanya menerawang jauh ke arah gunung Rainier.
"Untuk mengalahkan Dominic, kita harus menyingkirkan pion-nya terlebih dahulu."
William mengikuti arah pandang Alessia—gunung Rainier.welcome to the devil game circle.
_______________________________________
Vote, komen... Jngn lupa.. Dah bye.
Kaga ada yg baca jugaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Hellebore
RomanceAlessia Domani dan William Rockefeller adalah The Best Couple. Dunianya dikelilingi oleh kemewahan. Ibarat terlahir dari sendok emas. William Rockefeller ; Alessia Domani adalah miliknya. Tidak ada yang berhak menyentuhnya meski seujung kuku pun. S...