Prolog

621 55 2
                                    

Ambers, Gyatera

"Gretha!" Lukas berteriak kencang memanggil nama adiknya. Margaretha, adik perempuan Lukas satu-satunya itu mendadak tumbang tersungkur ke tanah. Panah anti kekuatan magis milik manusia menusuk perut adiknya. Lukas buru-buru datang dan membopong tubuh adiknya di depan tubuh. Membaca mantra, Lukas terbang menjauh dari pertempuran yang sedang terjadi.

Perang antara manusia dan penyihir kali ini berlangsung dahsyat, lebih dari yang sebelumnya. Dalam sejarah penyihir, mungkin ini akan jadi cerita legenda peperangan paling panas. Tak lupa juga, titik awal kemenyerahan manusia. Ya, kalangan penyihir kali ini akan menang. Baru beberapa menit terjadi, kekuatan tanpa batas penyihir telah membinasakan para manusia sekaligus. Entah dibuat terkapar dengan gas kematian yang dilempar ke udara, pedang yang mampu melayang sendiri dan menghabisi manusia tanpa ampun, hingga serangan langsung penyihir yang fisik dan alatnya telah diberi kekuatan khusus.

Sejujurnya para manusia juga tak kalah. Panah anti magis mereka juga kian pekat. Sekali serangan, itu bisa memberi nyeri luar biasa yang menghancurkan tubuh dari dalam. Seperti yang kini terjadi pada Gretha, adik Lukas. Panah telah dicabut Lukas dari tubuh Gretha, tapi semua terlambat. Obat anti penyihir yang dilumuri di ujung panah itu telah masuk ke bagian vital tubuh Gretha. Gadis itu hanya terkapar sekarat di tangan kakaknya.

"Gretha, padahal sedikit lagi kita menang." Lukas menatap prihatin adik semata wayangnya. Setelah kedua orang tuanya meninggal di perang sebelumnya melawan manusia, yang hanya dia punya adalah Margaretha. Gretha juga tanggung jawabnya, sepeninggalan orang tuanya. Tapi, apa yang kini terjadi? Mengapa Lukas gagal melindungi adiknya? "Gretha, aku harus apa?"

Lukas putus asa. Matanya berkaca-kaca.

Di medan pertempuran—lapangan luas pagi ini, suara besi berdenting masih memekikkan telinga. Manusia dan penyihir masih bertempur dengan sengit, meski manusia sudah terpojok ke belakang. Tapi ... untuk Lukas, kematian adiknya tak setara dengan kemenangan ini. Nyawa adiknya ialah prioritas paling penting yang harganya tidak terbatas. Menang melawan manusia, tapi kehilangan Gretha. Itu sama saja kalah.

"Gretha ...," lirih Lukas, mengusap rambut panjang adiknya. Gadis itu sejekap menutup mata, tanpa mengucapkan kata apa-apa lagi. Tangan mulusnya ditangkup oleh tangan Lukas. Lukas sendiri, masih tak bisa menyembunyikan sesak di dadanya. Duka paling dalam. Kehilangan dan kesepian yang menyakitkan. "Selamat tinggal, Gretha."

Akhirnya, Lukas bangkit. Lelaki bertubuh tegap tinggi itu menegakkan lutut. Dia harus kuat. Bersedih di saat seperti sekarang tidaklah tepat. Ada yang harus dia lakukan. Lukas kemudian mengerjapkan mata untuk menghilangkan air matanya yang sarat dan tertahan. Lantas, dengan tiba-tiba, aura lelaki itu berubah. Mata putih hitamnya menggelap. Aura kehitaman muncul menguar dari tubuhnya. Rambut kekuningan lurus berponinya berterbangan.

Lukas sedang marah. Lukas sedang merasakan benci dan titik tertinggi dari keinginan balas dendam. Lukas mempersiapkan kekuatan terbesarnya.

Lukas memejamkan mata. Dengan penuh ketelitian, Lukas menggunakan kekuatan pikirannya untuk memutar masa lalu yang baru saja terjadi melalui pikirannya. Dapat Lukas lihat dalam bayangan otaknya mengenai siapa orang yang membunuh adiknya dengan kurang ajar.

Pelakunya adalah ...

Raja dari manusia biadab itu!

Setelahnya, Lukas membuka matanya dengan tegas. Darah di tubuhnya terasa mendidih. Matanya berkilat dan berkobar api keberangan.

"Kubunuh kau!" teriak Lukas sambil terbang gesit menuju tempat Raja para manusia itu. Diraihnya pedang dari sisi kiri tubuhnya. Pedang itu mengilat, tajam, dan menghitam mengikuti suasana hatinya.

Beauty and The CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang