3. Penyakit

190 30 2
                                    

Mentari telah terbit dari Timur. Semburat putih memasuki jendela Knela. Knela yang tertidur di ranjangnya tetap pada posisinya. Tidak merasa terganggu.

Knela tidur dengan tenang, bahkan cenderung tak bergerak sedikitpun. Hal itu sontak membuat Lukas yang menjaganya semalaman merasa aneh. Lukas merasa ganjal. Lelaki yang sudah siap melaksanakan tugas pemerintahannya itu dari tadi bolak-balik dari kamar Knela dan keluar ruangan untuk mengurusi pekerjaannya. Tapi, waktu berlalu, sudah empat jam lamanya sejak mentari itu terbit, Knela tidak sama sekali membuka mata.

Lukas jadi keheranan. Pertanyaannya masih sama. Makhluk macam apa Knela ini? Apakah dia sama sekali tidak lapar? Apakah cahaya matahari itu tidak cukup untuk membuatnya tersadar?

"Knela?" Hati-hati, Lukas mendekati Knela. Tanpa ragu, Lukas sedikit mengayunkan bahu gadis itu. Bukan apa-apa. Lukas sejujurnya juga tak begitu peduli. Dia bermalam di sini dan niat membangunkan Knela karena hendak menagih jawaban Knela yang akan menunjukkan sesuatunya kala matahari sudah muncul. Lukas sendiri, hanya memiliki sedikit informasi tentang Knela pribadi, yang Lukas dapatkan lebihnya ialah tentang kerajaan para manusia maupun silsilah keluarganya. Tapi, untuk Knela sendiri, informasi itu terbatas. Usai Estria memberi tahu Lukas bahwa Knela hanya bisa keluar malam hari, Lukas berniat menanyakan detailnya ke Knela sendiri.

"Knela?" Goyangan tangan lukas ke bahu Knela semakin cepat. Satu kali, dua kali, Lukas menggerakkan bahu ramping itu, bahkan menepuk pipi keputihan Knela yang tampak seperti pipi orang mati. Pucat, dingin, tak berisi. Baru setelahnya, Lukas menyadari sesuatu.

Ada yang tak beres pada Knela. Dia tak kunjung bangun.

Lukas bergegas membuka sekat antara sekitar ranjang Knela menuju tempat para peneliti. Lelaki gagah itu segera melaporkan kondisi Knela. Lantas, Lukas gantian keluar kamar, memanggil Estria untuk membantu mengurus sisanya.

Lukas kembali ke kamar. Dilihatnya Knela yang masih memejamkan mata, seolah tidak tertarik untuk melihat dunia lagi dengan matanya. Lukas jadi gelisah sendiri, entah mengapa. Harusnya dia biasa saja musuhnya—si Pembunuh sesuai ramalan itu kenapa-napa. Tapi, kali ini tidak. Lukas tak bisa membohongi hatinya yang berdegup khawatir. Lelaki itu tak henti-hentinya menghentakkan sepatunya refleks ke lantai marmer kamar itu.

Apakah Knela sudah mati?

Lukas menyaksikan detik demi detik. Usai para peneliti itu melihat kondisi Knela, mereka segera memberikan oksigen khusus kepadanya. Kemudian cairan yang entah apalah itu dimasukkan melalui nadinya. Menjelang siang, gorden kamar tempat cahaya menembus jendela ditutup. Kamar jadi sedikit gelap, hanya disinari oleh sinar paling atas bangunan yang menelisip memasuki ruangan.

"Untuk sekarang, kondisinya telah jauh lebih baik." Peneliti yang punya ilmu kedokteran juga itu memberitahu informasi tambahan yang mereka dapat setelah memeriksa Knela. "Jadi begini, Tuan Alberta. Knela tidak sadarkan diri karena napasnya berhenti sejenak. Dia menderita penyakit paru-paru, sehingga tak boleh kehabisan oksigen. Selain itu," jeda salah satu peneliti yang menerangkan, tampak berhati-hati untuk mengucapkan kata berikutnya.

"Selain itu?" sela Lukas tak sabar.

"Selain itu, dia juga punya gangguan kulit yang rentan terkena sinar matahari. Kami tidak tahu pasti penyakit khususnya. Hanya saja, bisa Anda lihat tangannya yang tadi terkena sinar matahari—yang melewati jendela, menjadi kemerahan."

Lukas terdiam mendengarnya. Penjelasan peneliti itu cukup menjawab misteri Knela pada kepalanya, tapi juga membuatnya terkejut setengah mati. Jadi? Jadi, Knela memiliki riwayat seperti itu? Tapi, tapi kenapa malam kemarin gadis itu terlihat baik-baik saja? Maksud Lukas, Lukas tak menangkap sedikitpun gadis itu kesakitan secara fisik. Ketika Lukas menculik Knela untuk dia tahanpun, Lukas menyuruh suruhannya baik-baik membawa Knela.

Beauty and The CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang