4. Pertanyaan Tanpa Batas

127 25 0
                                    

"Bangunlah yang betul. Mimpi macam apa yang kau bicarakan? Apa kau tahu ini sudah siang? Kau hampir tak sadarkan diri pagi ini." Lukas mendengus. Raut mukanya dibuat untuk tidak semencurigakan mungkin. Jujur, jawabannya barusan hanyalah pengalihan dari dirinya yang tak mampu menerangkan bahwa mimpi Knela kenyataan. Bahwa dia memang ada di sana.

Rupanya, pengalihan topik Lukas berhasil membuat air muka cemas Knela berubah. Gadis itu tampak membelalakkan mata, ternganga.

"Sungguh, Tuan?" Knela mengernyitkan dahi. "Bukankah ini masih pagi? Saya hanya tidur, Tuan. Bukan tidak sadarkan diri."

Lukas memicingkan mata, merasa malas meladeni gadis malam di depannya. Laki-laki itu dengan berani berjalan mendekati Knela. Jarak mereka kini tinggal beberapa sentimeter. Lukas mendekatkan wajahnya ke Knela, memberikan intimidasi yang kuat.

"Oh, ya? Kalau begitu, bagaimana jika kututup mulutmu menggunakan kain selama setengah menit saja? Apakah kau bisa jelaskan penyakit parumu yang tak terduga?" Lukas menatap Knela datar, berharap gadis itu merasa terpojokkan. Kemudian, tangan Lukas terulur meraih tangan kanan Knela yang terbebas. Knela sendiri mematung, badannya kaku. Dibiarkan Lukas untuk sedikit mengangkat pergelangan tangannya. "Lalu, apa pendapatmu tentang tanganmu yang kemerahan terkena sinar matahari ini? Apa semua cukup jelas untuk sekadar anggapanmu 'bangun tidur' saja?"

Lukas benar-benar membuat Knela tidak bisa berkomentar apa-apa. Gadis itu murni menerima pernyataan bahwa bisa jadi, memang benar tadi dia tak sadarkan diri. Napas Knela tersekat. Muka Lukas masih berada tepat di depan mukanya, hingga yang bisa dia lihat jelas hanyalah mata dalam dan menelisik lelaki itu.

"Tuan, jangan dekat-dekat." Spontan, Knela mendorong bahu depan Lukas menjauh. Entah pintar mencari alasan apa, Lukas menyimak baik-baik alasan Knela melakukan itu. "Nanti napas saya jauh lebih sesak. Berdekatan seperti itu membuat oksigen yang saya hirup terbatas."

Lukas menuruti. Laki-laki itu menjauh sambil menarik sudut bibirnya ke atas. Kali ini Knela tak bisa mengelaknya. Dapat Lukas lihat Knela langsung mengalihkan pandangan, pura-pura mengatur napasnya yang sebetulnya baik-baik saja.

"Anda curang, Tuan."

Lukas menaikkan salah satu alisnya. "Curang kenapa?"

Knela menatap Lukas kembali, tampak bersungut. "Anda tahu lebih dulu penyakit saya sebelum saya menceritakannya."

Lukas terdiam. Memang apa masalahnya jika dia tahu dengan sendirinya? Memang Knela punya rencana khusus jika dia memberi tahu ceritanya? Dia ingin imbalan?

Semakin malas, Lukas memundurkan langkahnya, berjalan keluar kamar itu. Tetapi sebelumnya, dia sempat mengatakan sesuatu. "Sudahlah. Berbersihlah kau segera. Temui aku di lantai dua bangunan. Aku akan menanyaimu banyak hal sekaligus memberimu penawaran bagus. Kau tertarik?"

***

Knela sudah siap. Gadis itu telah berada pada kondisi rapi dan tertata. Dia berkaca pada cermin di kamarnya. Gaun putih dengan kain bahu bulat menampakkan kulit lengan mulusnya yang terang. Rambut cokelatnya disisirnya sendiri dengan sisir kayu. Dia melihat mukanya baik-baik di kaca. Selesai, ditaruhnya sisir itu pada tempatnya. Gadis itu menghela napas. Sedetik kemudian dia menepuk jidat, merasa gila akan sesuatu.


Bisa-bisanya.

Bisa-bisanya tadi pagi dia tak sadarkan diri. Bisa-bisanya penyakit parunya kumat. Pagi ini dia benar-benar seolah tertangkap basah. Semalam, entah saking kelelahan atau apa, dia lupa bersiap menutup gorden kamarnya. Lukas kini sungguh telah tahu semuanya. Sesungguhnya Knela tak masalah. Lukas akan tahu semuanya pada akhirnya, entah sendirinya atau dari Estria. Tapi, tapi tidak dengan kejadian yang di luar kesadaran Knela seperti pagi ini. Itu sesuatu yang tak bisa Knela kendalikan. Knela malu sampai berhasil memberi Lukas celah mengintimidasinya lebih dalam.

Beauty and The CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang