13. Pertemuan Kembali

48 13 0
                                    

"Jadi benar, ya bahwa Alger memberimu mainan." Lukas bermain ke kamar Knela. Laki-laki itu masuk ke tempat gadis tersebut dengan santai. Bulan tampak bersinar manis di langit, menyinari lewat jendela kamar. Usai seharian sibuk dengan pendapatan ilmu hitam dan pengadilan tingkat tinggi, Lukas akhirnya bisa bernapas lega pada malam hari. Tidak terasa waktu begitu cepat berjalan. Tahu-tahu pagi berganti siang, siang berganti sore. Kemudian kini sudah malam.

"Oh, Anda tahu tentang Tuan Alger? Tadi dia memang datang ke sini, memberi saya benang untuk merajut. Dengan ini saya sama sekali tidak bosan." Knela tersenyum. Gadis itu buru-buru mengingat hal yang dipikirkannya seharian. Mengenai Lukas. "Oh iya, Tuan, saya kini paham Anda punya kesibukan tersendiri sehingga tak perlulah mengunjungi saya setiap waktu. Lagipula, jika sekarang saya tidak lagi diteliti, apa tujuan Anda terus di sisi saya? Ngomong-ngomong juga, Anda penyihir dimensi, bukan peneliti. Terserah Anda untuk terus mengulik masa lalu saya. Tapi, sepertinya itu membuat Anda kehabisan waktu untuk melakukan beberapa hal lain. Seperti hari ini, kabarnya Anda sibuk membayar hutang tugas yang tak terselesaikan sebelumnya. Apa Anda baik-baik saja untuk terus mengawasi saya?"

Tambahan balasan Knela panjang, penuh maksud yang diungkapkan tiba-tiba jadi satu. Gadis itu sendiri mengutarakannya sambil duduk di depan meja yang diterangi lampu. Dia masih meniti benang untuk dia sulam menjadi kain agar bisa dikenakan. Tatapannya sama sekali tak mengarah ke Lukas, tapi dari nada suaranya Lukas bisa merasakan sarat kekhawatirannya.

Lukas sendiri malam ini sama sekali tak mengenakan jubah. Laki-laki itu memang sudah dalam kondisi bebas perkerjaan, memasuki waktu istirahat meski malam belum begitu larut. Dia mengenakan piyama biru gelap bergaris-garis putih. Masih tetap tampak tampan dan elegan.

Lukas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Laki-laki itu mendekat, duduk di tepian ranjang Knela. Mengamati Knela terduduk di kursi dekat meja dengan mainan Alger yang entah sahabatnya itu dapat ide dari mana. "Kau tidak mengerti, Knela. Kau tidak mengerti." Lukas mendesah panjang. Helaan napasnya berat. Jemari tangannya menelusupi rambutnya sedikit, tampak stres akan sesuatu. Sesuatu yang tak bisa dia curahkan pada Knela begitu saja. Knela tidak mengerti alasan Lukas begitu mengawasi dia, dan tidak akan. Kutukan itu sesuatu yang aneh dan untuk apa Lukas memberitahunya? Seharian, Lukas dibuat kepikiran akan Knela sejujurnya. Bahkan ketika tadi dia mengadili beberapa manusia dan penyihir, membunuh orang-orang tertentu, Lukas masih tak bisa menghapus masalah di otaknya perihal Knela.

"Maka buat saya mengerti, Tuan."

Lukas menggeleng. "Bukan begitu caranya."

Lukas tampak kacau malam ini. Mukanya terlihat begitu letih dan sakit, tidak seperti biasanya. Jelas saja. Seharian dia sudah mengerjakan dua urusan. Urusan kedua mengenai datang ke pusat kota itu bukan apa-apa. Hanya saja di urusan pertama, di mana dia melawan ruang halusinasinya sendiri demi mendapat kekuatan dari iblis, dia benar-benar terserang bukan main tadi. Lukas masih menerka-nerka apa yang salah.

"Kau bisa melakukannya kali ini, tapi kau terpeleset sedikit. Ingatlah baik-baik jati dirimu sebagai penyihir."

Seruan iblis yang dibunuh Lukas di ujung kematiannya bodohnya masih terngiang di kepala Lukas. Dari kalimat itu, Lukas masih menebak apa bagian dari cara berburu kekuatannya yang salah. Sebelumnya, dia tak pernah terpeleset. Semua halusinasi benar-benar dihadapinya dengan hati suci. Lalu, teka-teki itu sempurna menjadi masalah. Kenapa untuk pertama kalinya dalam halusinasi ... Knela berada di sana? Apakah memang sepatutnya Lukas dengan tegas membunuh gadis itu di situ? Selagi bukan kenyataan. Tapi, sama saja bagi Lukas. Rasanya tetap mengejutkan untuk tiba-tiba dia melihat dirinya sendiri sudah menusuk perut gadis itu.

Lukas mendongakkan tatapannya. Menatap ke arah Knela yang bahkan tak merasa kenapa-napa. Detik kemudian, embusan napas Lukas menjadi tenang. Dia teringat akan sesuatu yang baik. Bahwa di depannya, Knela masih bergerak layaknya manusia memiliki nyawa. Knela masih hidup. Entah mengapa dia justru merasa lega. Hal yang semestinya dia tidak rasakan demikian.

Beauty and The CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang