16. Kejutan Permainan Piano

58 13 0
                                    

Usai petualangan malam hari itu, Lukas dan Knela kembali ke Kerajaan Ambers. Sekembalinya mereka ke sana, Lukas sama sekali tidak lagi bicara apa-apa. Laki-laki itu hanya sibuk bingung. Bingung harus bereaksi apa, ditambah ketika Knela menatapnya polos tak berdosa. Lukas yang telah mengetahui sisi malang gadis itu jadi merasa super aneh.

Malam itu, Lukas telah berada di kamarnya sendiri. Sudah cukup untuk hari ini. Dia akan melakukan lanjutan perjalanan masa lalu esok. Laki-laki tegap itu berjalan mendekati sebuah figura besar yang terpajang di dinding kamarnya. Rambut kekuningannya tampak terang disinari cahaya bulan dari jendela. Piyama biru bergaris putih masih membalut tubuhnya yang perkasa. Lukas mengamati anggota keluarganya yang ada di foto besar hadapannya. Ada kedua orang tuanya, ada Margaretha juga, adiknya.

Laki-laki itu memandang keluarga penyihirnya yang berada di situ dengan sedih. Matanya menyayu.

"Semua cepat sekali. Tiba-tiba saja kalian sempurna pergi. Kenapa hanya ada aku di sini? Kenapa kian ke sini segalanya terasa sulit?" Lukas menjulurkan tangannya menyentuh dadanya sendiri. Di balik piyama itu, bagian hatinya memang sungguhan terluka akibat 'terpeleset'-nya dia di uji kekuatan hitam. Kulit bagian dadanya diperban. Sakit sekali, sejujurnya. Sakit sekali. Itu luka pertama yang Lukas dapatkan dari iblis. Laki-laki itu menghirup napas lunglai. "Kenapa penyihir harus melakukan kontrak ini, Ayah dan Ibu? Kenapa rasanya hidupku terkekang sekali? Ilmu hitam ini memberiku kekuatan, tapi juga memberikanku hukuman. Ayah, Ibu, Gretha. Bukankah kalian tahu, luka hati yang kudapatkan hari ini tidak akan pernah sembuh?"

Lukas mengusap dadanya yang begitu nyeri luar biasa. Ya. Semua benar. Lukas tahu betul, sekalinya dia sedikit gagal dalam uji kekuatan itu, akan diberi sakit tubuh yang tidak akan habis usianya. Lukas tidak menyedihkan bagian itu. Lukas hanya sedih ... bahwa dia sebagai anak laki-laki pertama, penerus pemimpin sesungguhnya era penyihir, harus mengikuti ritual aneh dan terus berhati-hati. Hidupnya sejujurnya merasa diawasi. Terkadang, ada beberapa iblis yang mendatanginya terang-terangan untuk mengingatkannya melakukan tradisi penambahan ilmu hitam. Tak sampai situ, mereka kadang hadir di mimpinya. Semua ada harganya. Tapi, bukan itu yang Lukas mau. Lukas tidak ingin apa-apa. Dia ingin hidup yang normal baik-baik saja.

Alger sendiri, sahabatnya, pernah sedikit terpeleset pada pengujian kekuatan itu. Tapi, sebab dia bukanlah penyihir asli penerus yang tertulis di kontrak, luka dirinya tidaklah permanen. Tidak seperti yang hari ini Lukas dapatkan. Yang lebih Lukas tak mengerti, dari semua bagian tubuh ... kenapa harus bagian hatinya? Kenapa ... bagian itu? Apa yang salah?

"Kalian tidak akan menyangka hal ini dikarenakan satu orang manusia." Lukas bercerita sambil memandang figur keluarganya. Dengan napas sesak, penuh rasa sedih, laki-laki itu mengepalkan tangan dan memukulkannya ke dinding. Tatapannya tertunduk. "Semuanya kian sulit. Aku memang harus membunuhnya sejak awal agar semua ini tak terjadi. Aku tak mengerti kutukan yang dikatakan peramal. Tapi, jika kehadirannya saja membuat iblis itu memiliki celah membuatku terluka, maka dia sungguh ancaman. Tapi aku kian tak paham dengan nuraniku yang terus membara. Kian kulihat masa lalunya, kian aku tahu dia orang terluka yang butuh pertolongan. Manusia tak berdosa yang aku tak punya alasan pribadi membunuhnya. Aku hilang arah. Aku ingin membuatnya bertanggung jawab atas luka di hatiku. Tapi, tapi. Tapi ... bagaimana bisa aku melukai orang yang sudah terluka lebih dulu?"

Dyacanela Lilian. Nama itu kini berputar tanpa jeda di kepalanya. Satu nama yang membuatnya bingung bukan kepalang. Entah apa yang terjadi. Entah apa yang akan terjadi.

Knela, ini sama sekali tidak lucu.

***

Esoknya, Lukas kembali membugarkan dirinya sendiri. Usai mentari terbit, dia sudah siap dengan setelan jubah penyihirnya. Laki-laki itu mencoba untuk tetap melakukan rutinitas seperti biasa. Pagi ini, dia menikmati sarapan di meja panjang dengan banyak kursi megah besar di setiap sisi. Lukas makan sendirian. Laki-laki itu menikmati daging panggang dengan selada yang diberi saus lada hitam. Asyik dengan kesendiriannya, laki-laki itu tak menyadari kedatangan seseorang mendekatinya.

Beauty and The CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang