Chapter 2

247 18 0
                                    

Pratinjau : Mencintai sampai lupa diri. Ya, memang hanya Aji yang tahu bahwa cintanya dengan Rama terhalang restu namun Alea tetap gigih supaya dapat bersatu.

***

Hari terakhir di Bandung, Alea menyempatkan diri untuk berburu oleh-oleh. Kereta Alea dan Ajeng akan berangkat pukul 8 malam. Masih ada sisa waktu cukup lama untuk berburu oleh-oleh dan juga wisata kuliner.

"Jangan bahas masalahku yang kemarin ya?" kata Alea sambil memasukkan handphone-nya ke dalam tas.

"Oke," jawab Ajeng. "Oh iya, aku ditembak Doni, Le," kata Ajeng.

Mereka baru saja selesai makan di tempat makan yang menyajikan makanan khas sunda.

"Whattt?! Serius?! Terus diterima nggak?" bola mata Alea mmbulat sempurna.

Ajeng menatap para pramusaji yang melewati mereka untuk mengantarkan makanan ke tamu yang lain. "Enggak Le, Aku bingung." Suasana yang tadinya mengasyikkan sekarang berubah menjadi sendu.

"Ajenggggg!" Alea meraih tangan Ajeng untuk menguatkan.

"Kenapa dia harus datang lagi setelah aku baik-baik aja?" mata Ajeng memerah.

"Jeng, mungkin Doni udah berhasil meyakinkan ibunya untuk nerima kamu." Alea mencoba menenangkan. "Lagipula kalian dulu masih SMA jadi untuk ibu Doni mungkin kalian memang belum pantas pacaran," lanjut Alea.

"Iya! Sampai aku dan Doni harus putus gitu aja," sahut Ajeng dengan senyum kecut.

"Lagipula kenapa dulu nggak backstreet aja sambil nunggu restu dari ibu Doni?" tanya Alea.

Ajeng menghela napas. "Aku nggak mau bohongin orang tua, Le," jawab Ajeng tenang.

"Yaudah, sekarang coba di terima, lagipula Doni udah cukup mapan secara finansial," kata Alea.

Ajeng memejamkan matanya sejenak. "Perlu aku ingatkan karena apa aku ambil keputusan ini?" Ajeng menatap Alea.

"Ah! Maaf aku lupa." Alea tersenyum tipis.

Suasana di tempat makan tersebut lumayan ramai. Banyak wisatawan yang mampir kesana untuk mengisi perut mereka yang lapar. Mata Alea sibuk memindai setiap wajah orang-orang yang melewati meja mereka sambil menerka masalah yang dihadapi oleh masing-masing orang.

"Ayo ke stasiun!" ajak Ajeng sambil berdiri.

Alea mendongak. "Hmm." Dia menganggukkan kepala dan berdiri mengikuti Ajeng.

***

Perjalanan dengan kereta api yang mereka tempuh terasa singkat karena keduanya tertidur. Setibanya di stasiun Tugu Yogyakarta, mereka makan di angkringan depan stasiun sambil menunggu jemputan masing-masing tiba.

"Kalau emak Rama tahu kamu makan di angkringan begini, tambah males kali ya Le sama kamu," kata Ajeng sambil mengunyah sate ususnya.

"Hmmm jelas! Tapi bodo amat, Jeng! Yang penting aku kenyang dan nggak ngerugiin siapapun," jawab Alea enteng.

"Sopo sing ngomong, Le? Aku rugi bandar yo nraktir koe sing wetenge koyo bagor ngene!" ucapan Ajeng yang keras dan dengan nada dibuat kesal membuat penjual angkringan menahan tawa.

("Siapa yang bilang, Le? Aku rugi Bandar ya nraktir kamu yang perutnya kayak karung begini!")

"Halah! sekali-kali Jeng. Duitmu kan banyak." Alea tersenyum jenaka. "Ngomong-ngomong enak ya kamu udah kerja dapat gaji masih dapat uang bulanan dari orang tuamu sama masmu," Alea berkata sambil melihat ke gedung hotel di depan mereka yang baru saja grand opening.

"Iya, maklum aku kan seorang princess di rumah jadi semuanya harus kecukupan, Le," Ajeng berkata dengan nada sombong.

"Ckh!" Alea berdecak. "Yang penting sering-sering traktir aku," sahut Alea cepat.

"Hmm." Ajeng memutar bola matanya.

Mereka makan sambil bercanda sampai jemputan mereka tiba. Ajeng dijemput Ayahnya dengan mobilnya sedangkan Alea dijemput Bapaknya dengan motor bututnya.

"Kayak langit dan bumi!" pikir Alea.

Namun, Alea bersyukur punya sahabat seperti Ajeng. Meskipun dari keluarga kaya tapi tidak pernah benar-benar berniat sombong dan suka berbagi.

"Tumben minta jemput Bapak?" Bapak Ajeng tersenyum penuh arti.

Alea mengerucutkan bibirnya. "Memangnya nggak boleh ya, Pak?" tanya Alea.

"Ya jelas boleh dong! Kamu kan anak Bapak yang pualing cantik sedunia!" jawab Bapak Alea sambil tertawa.

Alea menaikkan bola matanya. "Ya jelas, Alea kan anak perempuan Bapak satu-satunya," jawab Alea dengan nada malas.

Alea memang sengaja tidak memberi tahu Rama jadwal keretanya bahkan tidak membalas maupun mengangkat telepon dari kekasihnya karena dia ingin berpikir lebih jernih lagi setelah percakapan mereka malam itu.

***

"Ada apa, ndhuk? Sejak kemarin sampai rumah kamu kok banyak diem? Nggak kayak biasanya." Ningsih, Ibu Alea dapat merasakan perbedaan anaknya setelah kembali dari perjalanan dinasnya.

"Nggak apa-apa kok, Bu. Alea cuma agak jenuh aja sama rutinitas kerja di kantor," jawab Alea sambil menggenggam tangan sang ibu.

Mereka sedang duduk santai di teras rumah sambil memakan singkong goreng dan minum teh manis hangat.

"Ini hari minggu mbok ya sana main sama Ajeng atau ajak dek Aji jalan-jalan," saran Ningsih.

Alea tahu pasti ibunya paham ketika dirinya sedang banyak pikiran dan belum ingin membaginya. Alea sontak tersenyum manis menatap sang ibu disampingnya. Mata Alea berkaca-kaca, namun sekuat tenaga dia menahannya. Dia menyandarkan kepalanya di bahu sang ibu sambil menatap lurus ke halaman depan rumah mereka yang tampak asri dengan berbagai macam tanaman yang dirawat ibunya.

"Alea capek sama Rama, Bu. Alea bingung harus gimana."Alea menghela napas saat rasa sesak begelayut di dadanya.

"Ada apa? Cerita sama Ibu." Kalimat sederhana yang mampu membuat hati Alea menghangat.

"Udah beberapa hari Alea diemin Rama sampai Rama bilang kalau ngasih waktu Alea buat berpikir. Tapi, Alea masih aja bingung harus ngapain. Kayak nggak nemu jalan, Bu, buntu," Alea berkata dengan suara bergetar.

Ningsih mengelus kepala Alea dengan sayang, "Ndhuk, sudah 5 tahun kamu sama Rama." Mata Ningsih menerawang. "Sejauh yang Ibu tahu, kalian baik-baik saja, Ibu nggak pernah lihat kamu sampai jadi pendiam begini." Ningsih menggenggam tangan sang putri. "Sebenarnya hubungan kalian ini mau dibawa kemana, ndhuk?" akhirnya pertanyaan yang Alea takuti keluar juga dari bibir Ningsih.

Alea mengangkat kepalanya. Dan, air mata sialan yang mati-matian Alea tahan tak terbendung lagi. Kalau Aji tahu pasti Alea akan diejek habis-habisan. Mencintai sampai lupa diri. Ya, memang hanya Aji yang tahu bahwa cintanya dengan Rama terhalang restu namun Alea tetap gigih supaya dapat bersatu.

"Sebenarnya, Alea nggak dapat restu dari mama Rama, Bu." Alea tersenyum kecut. "Mama Rama nggak suka sama Alea dan selama ini Alea nggak pernah cerita ke Ibu karena takut Ibu jadi kepikiran." Alea kembali menitikkan air mata.

"Kenapa nggak pernah bilang sama Bapak dan Ibu?" Ningsih mengerutkan dahinya.

"Alea minta maaf, bukan bermaksud membohongi Bapak dan Ibu atau nggak mau bilang masalah Alea, cuma Alea tidak mau jadi beban pikiran Bapak dan Ibu." Alea menyunggingkan senyuman kecut.

Sorot mata Ningsih meredup. "Kenapa nggak jujur to, ndhuk? Kami ini orang tuamu, kami siap mendengar keluh kesahmu. Jangan disimpan sendiri seperti ini! Ibu tidak pernah berpikir kalau hubunganmu dan Rama begitu rumit." Ningsih mengambil napas sejenak. "Apa yang terjadi saat kamu di Bandung, ndhuk? Apa mama Rama telepon kamu?" Ningsih mulai tidak sabar sekarang.

Pantas saja sudah 5 tahun menjalin hubungan dan saat ini Alea sudah berusia matang yakni 26 tahun. Namun, belum juga ada pembahasan mengenai masa depan hubungan mereka. Akhirnya Alea menceritakan semua kepada Ibunya. Tidak ditambahi dan tidak juga dikurangi. Semuanya Alea ceritakan tanpa ada yang di tutup-tutupi lagi.

RehatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang