Chapter 17

126 9 0
                                    

Pratinjau : Gimana kalau ternyata sebenarnya cewek yang kamu bilang dia peluk kemarin itu pacarnya dan lagi renggang? Terus pas kamu balik Jogja, mereka baikan deh.

***

Rama masih bungkam. Rama tidak bisa kehilangan Alea begitu saja. Dia tidak bisa. Namun, Alea tetap kekeuh pada pendiriannya.

"Maaf," bisik Rama pedih.

Alea menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "I'm done with you," kata Alea.

Rama menundukkan kepalanya. Ketika dia mendongak, Alea bisa melihat sorot sedih di manik mata Rama. Mata Rama bahkan memerah. Alea yakin jika mereka berdua tidak sedang berada di kafe, Rama pasti sudah berlutut dan memeluk dirinya dengan erat. Memohon untuk diberikan kesempatan.

"Oke, maaf aku banyak salah sama kamu," suara Rama bergetar. "Aku nggak bisa maksa kamu untuk tetap ada di samping aku." Rama mengusap matanya dengan cepat.

Alea membeku.

"Aku cinta banget sama kamu, aku sayang banget sama kamu, bahkan sampai detik ini, kalau kamu tanya apa yang aku inginkan maka aku akan menjawab kalau aku masih tetap ingin bersama kamu dan kita bisa menikah suatu hari nanti." Rama tersenyum pedih.

"It's okay, mungkin dengan saling melepaskan, kita bisa lebih bahagia dan lega, Ram." Alea tersenyum tulus. "Jaga dirimu baik-baik, ikhlaskan semuanya." Alea menatap mata Rama yang sudah basah. "Aku tahu nggak mudah untuk kamu, tapi aku yakin kamu pasti bisa melepaskan semuanya tentang kita, dan jangan lagi berharap ada masa depan untuk hubungan yang sudah rusak sejak beberapa waktu lalu ini." Alea menghela napas berat.

Rama mengangguk. "Aku akan mencobanya." Rama tersenyum.

"Kalau gitu, aku pulang dulu, kamu hati-hati di jalan, ya." Alea kemudian bangkit berdiri dan pergi setelah Rama menganggukkan kepalanya.

Rama masih menatapnya sendu. Rama seketika hampa. Rama seketika hancur. Alea-nya pergi. Alea-nya menyerah. Rama menyalahkan dirinya sendiri. Dia merasa tidak utuh sekarang. Dia malu karena Alea telah menebak dengan benar, ketika di Bali Rama satu kamar dengan Nada. Rama khilaf. Dia terlalu terpikat pada pesona sesaat Nada. Tapi, semua sudah terlalu terlambat sekarang. Alea bahkan mengatakan bahwa dia akan melupakannya, menghapus namanya dari hati perempuan tangguh itu. Alea sudah merelakan semua memori mereka. Rama kalah.

***

"Gue tiba-tiba kangen sama lo, kadang lo manja tapi kadang kayak cewek yang mandiri banget." Alea tersenyum mendengar suara laki-laki yang berhasil membuatnya merindu.

Bhara berbicara di seberang telepon dengan sangat antusias. Alea tersenyum kembali. Hari-harinya tidak pernah sepi karena Bhara rutin menghubunginya.

"Baru tahu kalau aku ngangenin?" Alea tersenyum.

Perutnya dipenuhi kupu-kupu berterbangan sekarang ini.

"Iya, baru kerasa aja sepinya, oh iya, udah beres kan masalah sama Rama?" Bhara bertanya serius sekarang.

"Udah, kemarin malam udah aku selesaiin, lagian semalam kamunya aku chat nggak respon, mau ngabarin takutnya...nggg...nggak jadi hehehe." Alea tertawa garing.

Alea malu kalau harus berkata terus terang. Dia harus memiliki sedikit gengsi, begitu kata Ajeng dulu ketika Alea curhat mengenai Rama.

"Nggak jadi? Maksudnya?" Bhara malah semakin penasaran.

"Ya..yaaa...ya nggak jadi ngabarin aja, maksudku takut aja sih kalau ternyata nggak sepenting itu buat kamu," Alea berkata jujur akhirnya.

Hening dari seberang telepon membuat Alea membuang napas pelan. Ada sedikit nyeri di dalam sana.

Alea bingung kenapa dia jadi berlebihan seperti ini dengan Bhara. Dia mencoba mengingatkan bahwa dia dan Bhara baru saja jadian dan dia tidak perlu terlalu baper seperti sekarang ini. Kalau toh Bhara tidak peduli tentang kabar Rama itu hak dia. Wajar kalau Bhara belum memiliki hati dengannya. Alea saja yang baru sebentar menjalin hubungan sudah merasakan detak aneh di jantungnya.

Bhara begitu pintar mengambil hatinya. Bahkan Alea sudah merasa sangat nyaman sekarang menjadi pacar Bhara meskipun LDR. Baginya, begini saja sudah bisa mengobati lukanya kemarin dan dia yakin luka itu akan cepat pulih.

"Al, sorry kalau gue kesannya nggak peduli sama masalah lo dan Rama." Suara helaan napas terdengar di telinga Alea. "Itu persepsi lo aja, Al, gue peduli banget makanya nanya, gue nggak mau di cap perebut cewek orang dan juga gue harus mastiin cuma gue yang harus di hati lo." Alea tersenyum mendengarkan penjelasan dari Bhara. "Gue serius, Al, sama lo, meskipun kita jadian kayak orang nggak jelas yang tiba-tiba jadian, masalah ini penting banget buat gue kalau lo mau tahu," lanjut Bhara.

Alea merasa pipinya memanas dan jantungnya sudah berdetak dua kali lebih cepat.

"Kita coba bareng-bareng ya, Al? Kita berjuang bareng-bareng, lo jangan cepet nyerah sama gue apapun yang terjadi," Bhara berkata dengan nada serius.

"Iya, Bhar." Alea menganggukkan kepalanya. "Kalau boleh jujur, aku udah nyaman banget sama kamu, aku mau kamu di sana setia kayak aku meskipun jauh tapi kalau sama-sama berusaha pasti bisa." Alea tersenyum.

Bhara tersenyum lebar mendengar penuturan Alea dari seberang telepon. "Maafin gue ya, Al," batin Bhara merasa bersalah.

Dia masih menyimpan nama perempuan lain di hatinya. Sedangkan Alea? Bhara tahu sekali perempuan itu sepertinya sudah sedikit demi sedikit menerima Bhara di hatinya dan menyingkirkan nama Rama dari sana.

"Lo brengsek, Bhar!" batin Bhara masih saja mengatai laki-laki itu.

***

Pulang dari kantor, Ajeng mengajak Alea makan di empek-empek Ny. Kamto kesukaannya. Ajeng masih terus menagih janji Alea dua hari ini sampai membuat Alea jengah.

"Kamu kayak HRD, Jeng! Nanya-nanya mulu!" Alea memutar bola matanya malas.

Mereka memilih duduk di pojokan paling depan.

"Weeee! Kamu nggak bisa main rahasia-rahasiaan begini sama aku ya, Al! Ayo selagi nunggu pesenan kamu jawab jujur deh, udah diapain aja sama Bhara?" Ajeng tanpa babibu langsung ke inti persoalan yang ingin dia tahu.

Alea tidak kaget sama sekali dengan pertanyaan Ajeng. "Cuma...cuma ciuman kok nggak lebih." Alea menggaruh tengkuknya yang tidak gatal sama sekali.

Ajeng melotot yang ditanggapi senyum hambar dari Alea. "Bodoh! Mau-maunya dicium sama Bhara, kalian nggak sampai begituan, kan?!" Ajeng berkata dengan pelan karena takut ada yang mendengar.

"Ya enggaklah! Gila apa! nggak mungkin aku berani kayak gitu, bisa diusir sama Aji," Alea menjawab dengan jujur.

"Bagus deh, sebenarnya nih ya, Le, aku cuma takut kalian baper sesaat doang, Bhara masih kontak kamu terus, kan?" Alea seperti diintrogasi oleh Ajeng.

Alea tidak langsung menjawab karena mempersilahkan pelayan yang meletakkan pesanan mereka ke atas meja.

"Kita nggak bisa makan dulu apa?" Alea meminum es jeruknya setelah pelayan pergi.

"Nggak bisa! harus sambil jawab pertanyaan aku," Ajeng memakan sesuap empek-empeknya.

"Gini ya, Jeng, kamu belum ketemu Bhara langsung," Alea menatap Ajeng sesaat. "Dia super baik dan care, dewasa dan asik, dan dia sampai sekarang masih kontak aku terus kok." Alea menyendok makanannya.

"Kita lihat aja ya, Le, gimana laki-laki macam Bhara yang ngajak pacaran setelah dalam hitungan hari kenal." Ajeng seperti memperingati Alea.

"Nggak usah mulai deh, Jeng! Kayak cenayang tahu nggak sih!" Alea menatap Ajeng sebal.

"Leaaa, laki-laki itu misterius. Mereka pakai logika dan biasanya nggak suka ngumbar rahasia mereka kayak kita gini, gimana kalau ternyata sebenarnya cewek yang kamu bilang dia peluk kemarin itu pacarnya dan lagi renggang? Terus pas kamu balik Jogja, mereka baikan deh." Ajeng berhasil membuat Alea bungkam.

RehatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang