Chapter 5

177 15 0
                                    

Pratinjau : So, please jangan memohon lagi, ini keputusan yang mau nggak mau harus kamu terima.

***

Alea membuka pintu café yang tidak jauh dari rumahnya. Pandangannya mengitari seisi café untuk mencari seseorang yang sudah 5 tahun mengisi hatinya, menemani langkahnya dan yang tidak pernah ikhlas dia lepaskan begitu saja.

"Maaf ya nunggu lama, aku tadi ngecek kas FO dulu gara-gara disuruh SPV." Alea melepaskan jaket dan tas ransel kecil yang telah menemaninya bekerja selama 1 tahun belakangan.

(SPV = Supervisor, FO = Front Office)

Dia duduk sambil membenarkan rambutnya dan tanpa dia sadari, Rama terus menatapnya dengan senyum penuh kerinduan. "Kamu udah pesan, ya? Aku pesan dulu, ya." Alea masih belum sadar dan malah melihat buku menu.

Dengan penuh sayang Rama mencubit pipi Alea. "Kangen, Beb! Kamu nggak kangen aku apa? Baru sekarang mau nemuin aku." Rama belum juga mengalihkan pandangan dari Alea.

"Kangen pakai banget kalau kamu mau tahu." Alea baru memfokuskan pandangannya pada Rama.

Gadis itu memesan moccacino dengan es.

"Cobain kopi susu di sini, enak banget lho, Beb," Rama memberi ide.

"Udah terlanjur pesan, Ram, lagian kangen minum kesukaanku." Alea berusaha menetralkan degup jantungnya yang kian tak beraturan akibat tatapan teduh Rama.

"Iya iya udah hafal aku, Beb, gimana kamu dari dulu, orang yang susah mencoba hal-hal baru terutama tempat makan dan semacamnya karena takut kecewa." Rama terkekeh. "Padahal kita kesini udah yang kedua kalinya." Rama kemudian menyesap hot cappucino-nya.

"Iya lho padahal deket sama rumah aku, kalau diitung-itung udah 5 bulan 'kan ya café ini buka?" Alea menatap sekitarnya. "Dulu tempatnya belum bagus kayak sekarang, Ram." Alea menambahkan.

"Iya." Rama mengangguk setuju. "Gimana hari kamu?" Rama tidak berhenti menatap Alea dengan intens.

Alea menaikkan kedua bahunya acuh. "Biasa aja," jawabnya singkat.

"Nggak ada yang ngerayu kamu, kan?" Rama memicingkan matanya.

"Hah?" Alea melongo. "Ngerayu? Siapa?" Alea sontak terkekeh geli. "Kamu doang yang mau ngerayu cewek biasa aja kayak aku, Ram." Alea tersentil dengan ucapannya sendiri.

Rama terdiam. "Kamu bukan cewek biasa buat aku," Rama berkata dengan nada lembut. "Kamu bahkan sangat istimewa sampai di sini." Rama menunjuk dadanya sendiri. "Cuma ada kamu yang bertahta." Rama tersenyum.

Alea merona. "Jangan membuat lelucon, Rama!" Alea memberikan peringatan.

Rama tertawa puas. "Senang banget bisa bikin kamu merona malu kayak gini lagi, Beb." Rama memajukan tubuhnya dan mengacak rambut Alea.

Percakapan mereka kemudian diinterupsi dengan kedatangan pelayan yang membawa pesanan milik Alea. Gadis itu berbinar memandang minuman favoritnya itu.

"Kenapa kamu suka moccacino?" Rama menatap Alea yang sedang minum.

Alea meletakkan gelasnya ke atas meja. "Karena aku suka kopi dan coklat," jawab Alea sambil tersenyum. "Sekian lama akhirnya kamu baru tanya soal hal remeh tentang aku." Alea terkekeh.

Rama tersentil. Dia terdiam beberapa saat sambil menatap wajah Alea yang sedang terkekeh.

"Maaf," kata Rama lirih.

"Hah?" Alea berhenti terkekeh dan matanya membulat. "Kenapa minta maaf?" tanya Alea heran.

"Karena aku nggak tahu hal-hal kecil tentang kamu," jawab Rama yang berhasil membuat dada Alea merasa tercubit.

"Padahal udah lama kita pacaran," tambah Alea sambil terkekeh.

"Le..." Rama sama sekali tidak ikut tertawa bersama Alea. "Maaf, aku nggak becus selama jadi pacar kamu." mata Rama meredup.

Alea meremas jemarinya di bawah meja. "Nggak becus gimana?" Alea menelan salivanya gugup.

"Mama tetap belum bisa nerima kamu," jawab Rama yang berhasil membuat binar di mata Alea sirna begitu saja.

"Oh!" Alea membasahi bibir bawahnya. "Aku mengerti," lanjutnya.

Mereka berdua kemudian sama-sama diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing yang entah berujung di mana. Alea mengumpulkan keberaniannya untuk menatap manik mata milik Rama dan mengatakan tujuannya bertemu dengan Rama malam itu sepulang bekerja.

"Ram, sebenarnya aku pengen ngomong sesuatu makanya aku ngajak kamu ketemu kayak gini," Alea mulai menjelaskan. "Tujuan aku pengen ngomong kalau..." Alea menggantungkan ucapannya karena handphone Rama berdering.

"Bentar, Beb, aku angkat dulu." Rama berjalan keluar café untuk menerima telepon tanpa menatap Alea atau bahkan mendengar izin dari Alea.

"Siapa aku sampai Rama harus menunggu aku bilang 'iya dia boleh angkat telepon'?" Alea membatin.

Hal yang tidak pernah dilakukan Rama adalah mengangkat telepon dengan menjauhi Alea. Alea Dapat melihat Rama begitu serius menerima panggilan entah dari siapa. Alea tersenyum kecut.

"Rama sedikit berubah," batin Alea.

"Huh!" Alea membuang napas kasar dari mulutnya.

Dia kemudian meminum moccacino-nya kembali. Alea menatap Rama yang juga belum selesai menerima telepon.

"Kebiasaan Rama juga mulai berubah." Alea bertopang dagu. "Kebiasaan Rama dulu kalau bertemu selalu naruh handphone di atas meja," batin Alea belum berhenti membuat pikirannya semrawut.

Tapi, Alea tidak menampik perubahan Rama juga akibat dari sikap tidak tegas Alea yang masih mau tapi malas bertemu. Di hanya menggaruk alisnya yang tidak gatal.

"Gimana, Beb? Tadi kamu mau ngomong apa?" Rama kembali duduk dan menyesap cappucino-nya.

Alea tersenyum lembut, "Kita break dulu ya, Ram?" ujar gadis itu dengan nada tenang.

Rama terdiam. Matanya tidak lepas menatap Alea yang terlihat terlampau tenang. Rama tidak sadar sudah mengepalkan kedua telapak tangannya yang berada di bawah meja. Rahangnya mengeras ketika kalimat yang paling dia benci keluar dengan lancarnya dari bibir Alea.

"Kita butuh waktu masing-masing buat mikirin hubungan ini ke depannya," Alea menambahkan.

"Maksud kamu?!" Rama akhirnya bersuara. "Beb, kita nggak perlu kayak gini! Kamu udah nggak percaya lagi sama aku?! Sabar sedikit lagi, Beb! Mama pasti bakal ngasih lampu hijau ke kita," Rama terdengar tidak sabaran menghadapi Alea.

Dan hal seperti ini yang Alea tidak inginkan, ketika Rama mulai memohon. "Kita perlu rehat sejenak, Ram," jawab Alea dengan wajah datarnya. "Kamu tahu kalau hubungan kita satu bulan ini udah nggak sehat. Kamu juga mulai berubah, Ram." Alea berusaha mengeraskan hati.

"Aku nggak berubah, Lea!" Rama menaikkan nada bicaranya sampai membuat beberapa pengunjung kafe menoleh ke arah meja mereka. "Kamu yang tiba-tiba berubah dengan minta rehat kayak gini." Rama membuat Alea menahan gejolak di dalam dada yang siap meledak. "Kamu bikin semuanya tambah rumit, Le!" Rama sudah mulai tersulut emosi namun tetap berusaha menahan volume suaranya.

Alea tersenyum miris, "aku tahu, kamu udah mulai tertarik sama cewek itu," apa yang ditahannya sedari tadi akhirnya dia ucapkan. "Aku tahu, Ram, makanya aku berusaha buat sedikit jaga jarak kemarin." Alea mengambil jeda sejenak.

Dia mengalihkan tatapannya sejenak ke arah lain sebelum akhirnya kembali menatap mata Rama. "Aku mengambil keputusan berat itu supaya kamu nggak bimbang mana yang akan kamu pilih." Hati Alea serasa diremas. "Tapi, ternyata kamu malah kayak nyaman-nyaman aja dengan kondisi hubungan kita kemarin." Alea lega bisa mengeluarkan seluruh keluh kesahnya pada Rama.

RehatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang