Chapter 33

154 11 0
                                    

Pratinjau : Alea itu cewek yang pantes banget buat diperjuangin.

***

"Aku terlalu cemburu buat nyari tahu, kamu tahu? Aku bahkan sadar kalau aku cemburu setelah Tania ngasih tahu aku kalau kamu buka-buka instagram dia," kata Bhara.

Bhara meletakkan gelas yang isinya sudah dihabiskan oleh Alea. Laki-laki itu berjalan kearah dispenser dan mengisinya kembali hingga penuh.

"Tania tahu?" Alea merasa malu.

"Hmm." Bhara tersenyum maklum.

Perempuan dan segala gengsinya. Bhara kembali duduk setelah meletakkan gelas di samping ranjang Alea.

"Lucu banget, ya? Ternyata aku udah jatuh sedalam itu, aku cinta sama kamu, Al." Bhara menatap Alea dalam. "Maaf aku baru sadar sekarang, maaf bikin kamu kayak sekarang, kata ibu kamu, pola makanmu akhir-akhir ini berantakan, pasti karena aku." Bhara menghela napas dalam. "Lucu banget aku cemburu sama adik kamu sendiri, terlalu cemburu bikin aku jadi bego." Bhara terkekeh.

Bhara menatap manik Alea dengan intens. Berusaha mencari pegangan dari tatapan mata Alea supaya dirinya tidak jatuh lebih dalam lagi. Karena sejujurnya dia takut untuk berharap lebih, mengingat dirinya sudah melukai Alea sedemikian rupa.

Bhara menceritakan bagaimana dia bisa tahu Alea ada di rumah sakit ini. Dari story Alea. Kemudian ketika sampai di rumah kontrakannya, ada Ibu tetangganya yang mengetuk pintunya pagi hari dan memberitahunya bahwa ada perempuan yang duduk melamun di teras rumahnya. Kemudian perempuan tersebut pingsan dan dibawa oleh si Ibu ke rumah sakit tersebut.

"Maaf aku nggak nepatin janji aku buat datang ke rumahmu ketika kamu ulang tahun, jujur aja aku lupa." Bhara meringis sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Nggak apa-apa, toh udah lewat." Alea tersenyum. "Kamu masih sibuk jagain istri sepupu kamu di sana sampai lupa ngabarin aku kalau kamu cancel balik ke Jogja sesuai jadwal sebelumnya, nggak masalah buat aku sekarang dengan fakta itu," Alea berterus terang.

Bhara terdiam. Sungguh dia gegabah mengambil keputusan. Dari awal dirinya sudah sakit. Dan Alea yang merawatnya. Namun apa yang dia berikan pada kekasihya itu? Hanya sebuah harapan semu.

"Aku nggak akan nuntut macam-macam dari kamu, dengan kamu maafin aku aja aku udah bersyukur banget, kamu mau maafin aku, kan?" Bhara bertanya.

"Iya, kapan aku nggak pernah maafin kamu?" ucapan Alea tepat mengenai jantung Bhara.

Laki-laki itu bungkam. Sebegitu parahnya sikap Bhara terhadap Alea. Bhara tersenyum sedih. Dia kecewa karena sudah mengecewakan Alea. Terkadang cinta itu lucu, ketika kamu sudah menemukan jalan mana yang akan kamu ambil tiba-tiba hatimu seperti sedang digadai. Entah akan ditebus dengan kebahagiaan atau berakhir dengan dicampakkan.

"Bhara?" Alea menyadarkan Bhara dari lamunannya. "Apa kita bisa?" Bhara mengenggam tangan Alea erat seakan takut Alea akan berlari darinya.

Bhara tidak bisa menjawab. Lehernya seperti dipenuhi pasir. Serak dan sakit.

"Apa kita mampu nerusin hubungan yang sudah rusak sedari awal?" Alea kembali bertanya.

Bhara menjawab dengan anggukkan kepala. "Kita pasti mampu! Kita pasti bisa meneruskan hubungan yang sudah rusak atau lebih tepatnya sudah aku rusak dari awal," kata Bhara.

"Kalau menurut aku, bukan kita Bhara," ujar Alea. "Tapi hanya kamu yang bisa dan mampu, seperti dari awal kita bertemu, aku nggak bisa, aku belum mampu, aku merasa nggak siap sekarang ini, aku terlalu takut akan masa depan kita, Bhara." Alea menggelengkan kepalanya dengan mata berkaca-kaca.

Bhara menangkap kemana arah pembicaraan Alea. Ini yang ditakutkan Bhara. Alea tidak mampu bertahan lagi di sisinya.

Percakapan mereka terhenti karena Alea harus makan siang. Tiba-tiba Aji datang dengan Ibunya. Alea mengenalkan Bhara kepada Aji. Bhara seketika merasa malu. Keluarga Alea nampak sangat welcome kepadanya.

Aji mengajak Bhara untuk makan di kantin. Sedangkan, Ningsih sudah sempat makan di rumah. Aji dan Bhara berjalan bersisian di lorong rumah sakit. Bhara berdehem pelan untuk melepas kecanggungan di antara mereka. Aji menoleh ke samping kirinya dimana Bhara sedang menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Batuk, Mas?" tanya Aji.

"Enggak," Bhara menjawab dengan tersenyum.

"Udah lama pacaran sama Mbak Lea?" Aji menatap lantai rumah sakit.

"Baru beberapa bulan ini, kamu kuliah atau kerja?" Bhara sedang mencoba mengakrabkan diri dengan adik dari kekasihnya tersebut.

Bahkan Bhara memang sengaja bertanya kepada Aji supaya tahu lebih banyak tentang anggota keluarga kekasihnya itu.

Sontak Aji tertawa. "Aku masih SMA, Mas, kelas dua belas," jawab Aji.

"Oh aku kira udah kuliah atau kerja." Bhara ikut tertawa.

Aji orang yang menyenangkan. Mereka langsung akrab dan bahkan mengobrol tentang PS. Ya, Aji mengundang Bhara untuk bermain PS dengannya di rumah. Bhara mengangguk setuju. Mereka janjian hari minggu besok.

Begitu sampai di kantin, mereka segera memesan makanan.

"Alea suka makan apa, Ji?" Bhara sebenarnya merasa tidak enak karena sebagai pacarnya yang sudah beberapa bulan bersama, bahkan dia tidak tahu makanan kesukaan Alea.

"Mas nggak nanya sama Mbak Lea langsung suka makan apa?" pertanyaan Aji dijawab dengan gelengan tidak enak hati dari Bhara.

Aji menghela nafas sebentar. "Mbak Lea itu suka banget sama ayam rending, dia juga suka banget sama kue brownies." Aji menghentikan sejenak ucapannya dan menatap lurus kearah Bhara yang sedang duduk di depannya.

"Aku tahu kemarin kalian nggak baik-baik aja," pernyataan dari Aji membuat Bhara yang sedang meminum es jeruknya mendadak batuk.

Bhara belum menanggapi ucapan Aji. Dia bingung harus menjawab apa.

"Mbak Lea jadi agak aneh akhir-akhir ini, aku nggak suka karena dia jadi kurang ceria kayak biasanya, aku nggak mau ikut campur masalah kalian." Aji menghela napas sejenak. "Tapi, aku mohon sama Mas Bhara buat jaga baik-baik Mbak Lea, dia pernah sangat kecewa, lima tahun yang terbuang sia-sia," Aji berbicara serius.

"Apa Alea bilang sesuatu ke kamu?" tanya Bhara.

"Enggak!" Aji menggelengkan kepalanya. "Tapi dari kebiasaan Mbak Lea yang berubah aku jadi tahu, dia lagi nggak baik-baik aja," kata Aji. "Dia yang biasanya suka nonton film sama aku mendadak lebih suka mengunci diri di kamar, yang biasanya sering bercanda sama aku, bapak atau ibu tiba-tiba jadi jarang ketawa." Helaan napas berat lolos dari mulut Aji.

"Kalaupun senyum cuma sekedarnya aja, Mbak Lea juga sering ngajak aku jajan apa yang dia nggak begitu suka tapi aku suka banget kalau dia lagi ada masalah dan yang jelas pola makan Mbak Lea berubah, berantakan banget makanya sampai ambruk gini," Aji menjelaskan panjang lebar sebelum kemudian menyendokkan nasi soto ke dalam mulutnya.

"Maaf," ucap Bhara tulus. "Kami emang lagi ada sedikit masalah kemarin, kamu tenang aja, Alea itu cewek yang pantes banget buat diperjuangin, aku nggak janji Alea nggak akan pernah nangis karena aku, karena manusia nggak ada yang sempurna." Bhara menatap Aji. "Tapi, aku janji nggak akan menyerah sama Alea kecuali dia yang meminta karena udah nggak cinta sama aku," kata Bhara.

"Hmm bagus deh, Mas! Jangan kayak si Rama yang nggak jelas orangnya! Lima tahun Mbak Lea sama dia, setia banget lho Mbakku itu, Mas, eh kok ya jadinya malah Mbak Lea dikecewakan, tapi ya nggak apa-apalah toh sekarang ada Mas Bhara yang aku yakin lebih baik buat mbak Lea," kata Aji sok tahu.

Bhara tertawa renyah. "Baru ketemu udah sok tahu kamu, Ji." Bhara masih tertawa.

"Ya tahulah, Mas, dari auranya Mas itu orang baik dan menyenangkan, buktinya mau aku ajak tanding PS," jawab Aji terkekeh.

Bhara menggelengkan kepala sambil ikut terkekeh. 

RehatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang