Chapter 31

145 12 1
                                    

Pratinjau : Dia sudah terlanjur terikat hatinya dengan perempuan di hadapannya ini. Dia sudah jatuh cinta, yang memang baru disadarinya setelah dia merasa takut akan kehilangan Alea.

***

Alea membuka matanya pelan. Kepalanya pusing sekali. Dia mendesah pelan ketika tahu bahwa dirinya masih di rumah sakit. Dia sangat bosan dan ingin segera keluar dari tempat itu. Alea mengerjapkan matanya karena melihat seseorang yang beberapa hari ini sudah menjungkir balikkan dunianya. Seseorang yang saat ini sedang duduk di samping ranjangnya namun dengan keadaan tertidur dengan tangan bersedekap. Seseorang yang sudah membuatnya menjadi seperti ini.

Alea mengucek matanya yang tidak gatal. Berusaha untuk melihat lebih jelas apakah benar yang dilihatnya adalah seseorang yang sudah begitu dalam masuk ke hatinya.

"Alea, udah bangun? Maaf aku ketiduran." Bhara terkejut dan terbagun dari tidurnya, dia segera mengucek matanya.

"Ngapain kamu di sini?" Alea berkata dengan nada polos kemudian bangun dan mengambil posisi duduk.

"Maaf, aku salah." Bhara mengenggam tangan Alea yang tidak terpasang infus.

Bhara tidak habis pikir, Alea tidak marah dan tidak berbicara padanya dengan kasar seperti ketika Tania marah kepadanya dulu.

"Oh ayolah, Bhar! Lo bahkan masih saja membandingkan Alea dengan Tania! Mereka dua orang yang berbanding terbalik, stop melakukannya! fokus pada Alea, just Alea!" Bhara menunduk sebentar dan memejamkan matanya untuk mengusir semuanya yang berhubungan dengan Tania.

Bhara bukannya masih mencintai Tania, hanya saja dirinya masih beradaptasi untuk menghilangkan segala jejak Tania dalam memorinya. Mengingat bagaimana dia mencintai Tania dulu dan juga sudah selama apa hubungan mereka. Bhara tetap manusia biasa yang membutuhkan waktu. Mungkin melupakan tidak semudah jatuh cinta kembali. Setidaknya Bhara sedang berproses sekarang daripada masih saja terkungkung dengan masa lalu tanpa mau beranjak pergi dari sana.

"Kamu ngapain di sini?" Alea mengulangi pertanyaannya.

"Aku di sini mau nemuin pacar aku yang lagi sakit." Bhara tersenyum manis.

"Kamu aneh." Dahi Alea berkerut.

"Aneh?" ulang Bhara.

"Hmm, kamu pakai 'aku-kamu' ke aku." Alea merasa aneh dengan Bhara yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya.

Seketika Bhara merasa gemas dengan Alea. Manis sekali.

"Emang nggak boleh?" Bhara menggoda Alea.

"Bukan gitu cuma... cuma..." Alea mendadak gugup di tatap sedemikian rupa oleh Bhara. "Aku cuma kaget dengan kamu yang tiba-tiba ada di sini, manggil 'aku-kamu' dan kamu minta maaf ke aku," suara Alea tiba-tiba bergetar.

Untung saja hanya ada mereka berdua. Kalau ada Ibu Alea pasti mereka berdua akan merasa canggung, terlebih Alea belum jadi mengenalkan Bhara pada keluarganya. Ah ya, ulang tahun Alea yang dilalui tanpa ada laki-laki yang sekarang masih menatapnya dengan sorot yang Alea tidak mengerti. Seperti sorot sendu dan rindu?

"Maafin aku, aku salah, aku tahu aku cowok brengsek." Bhara menghela napas dalam. "Aku bahkan nggak peduliin kamu beberapa hari ini," Bhara memulai penjelasannya.

"Aku yang salah, Bhara." Alea mengalihkan perhatiannya ke jendela kamar rawat inapnya.

Bhara mengangkat kepalanya yang baru saja menunduk karena kecewa dengan dirinya sendiri kala mendengar Alea malah menyalahkan diri sendiri.

"Aku salah sudah jatuh cinta sama kamu, harusnya aku nggak gegabah, harusnya aku nyembuhin luka aku dulu setelah pisah sama Rama, sampai aku beneran siap buat nerima orang lain masuk ke hatiku." Alea sudah ikhlas setelah semalam berpikir apa yang harus dia lakukan seandainya Bhara kembali.

Bhara seketika merasakan cemas setelah mendengarkan apa yang akan Alea katakan selanjutnya. Kenapa tiba-tiba Bhara tidak rela?

"Aku terlalu berharap sama kamu, aku terlalu keras sama diri aku sendiri, harusnya aku tahu kapasitas aku di hati kamu..." kalimat Alea terputus karena Ibunya nampak membuka pintu dan tersenyum padanya.

"Besok pagi udah boleh pulang, Ndhuk," kata Ibu Alea. "Eh Mas Bhara, ini Ibu belikan sarapan bubur ayam, ayo dimakan dulu! Tadi katanya belum sarapan, kan?" kata Ibu Alea ramah.

Bhara tersenyum dan mengangguk. Bhara segera menyantap makanan yang dibawakan oleh Ibu Alea. Alea mendadak penasaran. Bagaimana Bhara mengenalkan diri kepada Ibunya? Alea berpikir Bhara mungkin mengaku temannya.

"Kok nggak bilang Ibu kalau kamu punya pacar?" Ningsih bertanya sambil mengambil handphone yang telah full di-charge di nakas samping ranjang Alea.

Alea melotot pada Bhara yang hanya disambut cengiran khas lelaki itu.

"Udah nggak usah nyalahin Bhara, kamu ini sama Ibu nggak pernah ngomong udah beberapa bulan punya pacar, mana gantengan pacarmu sekarang daripada yang sebelumnya," Ningsih asal bicara yang kemudian memantik tawa renyah Bhara.

"Ibuuuuu!" Alea merengek. "Nggak usah bahas yang udah lalu, deh," kata Alea kesal.

Alea malu kepada Bhara atas omongan Ibunya yang Alea yakin pasti membuat Bhara besar kepala.

"Lha kenapa? Biarin aja! Itu kan fakta, oh iya, Mas Bhara, Ibu nitip Alea dulu nggak apa-apa? Ibu mau pulang sebentar mau ganti baju, baju Ibu habis." Ningsih berjalan kearah Bhara.

"Iya nggak apa-apa, Bu." Bhara mengangguk. "Ibu istirahat dulu aja, di sini Alea aman sama saya, Bu." Bhara tersenyum.

Setelahnya, Ningsih pamit untuk segera pulang ke rumahnya.

Setelah selesai sarapan, Bhara kembali duduk di samping Alea. Laki-laki itu memandangi Alea yang saat ini sedang asyik bermain handphone.

"Aku mau ngomong." Bhara mencoba mengambil alih fokus Alea dengan merebut handphone perempuan itu.

Bhara kemudian menatap layar handphone Alea. Chat grup kantor Alea. Dapat dilihat Bhara bahwa salah satu teman Alea yang bernama Vino sedang mengirim foto-foto Alea dengan teman-temannya. Momen ulang tahun Alea. Bhara merutuki kebodohannya lagi. Dia baru ingat. Bhara meletakkan handphone Alea di atas nakas samping ranjang Alea. Bhara menatap lurus ke manik mata Alea yang saat ini hanya memandangnya dengan tatapan polos yang menggemaskan.

"Maaf soal beberapa hari ini dan juga..." Bhara mengambil napas sejenak. "Maaf soal sikap aku selama ini ke kamu, aku udah jadi laki-laki brengsek banget buat kamu, aku bukan laki-laki baik buat kamu tapi seandainya kamu bersedia ngasih aku kesempatan lagi, satu lagi kesempatan..." Bhara menggenggam tangan Alea yang terasa hangat di kulitnya. "Aku nggak akan pernah sia-siain kamu lagi," Bhara menyesal.

Bhara berharap Alea tidak meninggalkannya. Dia sudah terlalu nyaman dengan perempuan berdarah Jawa ini. Dia sudah terlanjur terikat hatinya dengan perempuan di hadapannya ini. Dia sudah jatuh cinta, yang memang baru disadarinya setelah dia merasa takut akan kehilangan Alea selama perjalanan kembali ke kota Gudeg ini.

RehatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang