Chapter 3

190 16 4
                                    

Pratinjau : Memang awalnya akan terasa berat. Tapi, seiring berjalannya waktu kamu pasti bisa melupakannya, Ndhuk.

***

"Akhir bulan ini Rama sayang, makanya lembur sampai jam 10 malem." Alea berjalan di sepanjang koridor hotel dengan handphone bertengger manis di telinganya.

Rama mendesah pelan. "Besok kalau kita udah nikah, kamu resign aja ya, Beb? Aku aja yang kerja, kamu ngurus anak, ngurus aku sama ngurus rumah."

Alea terkekeh pelan mendengar penuturan Rama. "Nggak usah gombal kayak gitu deh, jijik tahu, Ram! Ketemu sama orang tua kamu aja belum udah ngomongin kehidupan berumah tangga." Alea memancing Rama dengan sengaja.

Sudah 2 tahun berpacaran, namun belum pernah Alea diajak ke rumah Rama untuk bertemu orang tuanya. Alea selama ini santai saja karena dia juga masih sibuk membangun karir dan Rama baru wisuda 4 bulan lalu. Jadi, Alea pikir wajar jika Rama belum tertarik untuk membicarakan mengenai masa depan hubungan mereka. Rama memang sudah bertemu dengan keluarga Alea ketika mengantar jemputnya. Beberapa kali juga sudah dibawa Alea ke acara keluarga besar. Sering ditanya kapan menikah namun keduanya hanya tersenyum simpul. Alea dan Rama sepakat kalau mereka menikah kelak bukan karena omongan orang lain yang tidak menguntungkan mereka sama sekali.

"Kalau malam minggu gimana, Beb? Aku serius ini! Kamu udah selesai closing juga, kan?" ajak Rama.

"2 hari lagi 'kan ya malam minggu? Duh! Kok aku jadi deg-degan gini ya, Sayang." Alea mengerutkan dahinya dalam. "Niatnya mancing, kamunya kepancing beneran." Alea tertawa.

"Emang udah rencana juga aku, Beb, kan kita udah 2 tahun. Aku udah lulus dan kerja ya meskipun di kantor papa aku sih. Cuma aku serius mau ngenalin kamu ke keluarga aku, biar tambah deket, Sayang." Rama memang laki-laki idaman Alea.

Rama selalu tahu mau Alea. Seperti kemarin ketika Alea ingin pacaran yang santai tanpa memikirkan pernikahan terlebih dahulu karena keduanya memang belum siap. Dan saat ini ketika Alea merasa dirinya sudah siap untuk bertemu keluarga Rama, pacarnya mengabulkan keinginan Alea untuk diperkenalkan secara sah di depan keluarga laki-laki itu.

"Oke kalau gitu, setuju deh, Ram!" Alea menganggukkan kepala sambil tersenyum senang. " Kalau gitu aku pulang dulu ya, udah diatas motor ini keburu laper pengen cepat sampai di rumah." Alea sudah sangat kelaparan sejak tadi karena makan malamnya di kantor hanya dengan mie cup.

"Hati-hati Beb sayang, nggak usah ngebut! Love you!" Rama memang selalu bisa membuat dada Alea membuncah bahagia.

"Love you too!" Alea menutup sambungan telepon dan segera mengendarai motornya melesat menuju rumahnya.

***

"Kerja dimana, Alea?" Mama Rama menatap Alea seakan sedang menilai.

Ya, saat ini Alea sudah berada di rumah Rama untuk makan malam bersama dengan Papa, Mama dan adik Rama, yang bernama Shinta.

"Di Amaya Hotel, Tante." Alea gugup tentu saja.

"Menjabat posisi apa di sana?" Weni seakan sedang mewawancarai Alea.

Setelah tadi bertanya pekerjaan orang tua Alea yang mana Bapak Alea adalah seorang guru di SMA negeri terkemuka di kota Jogja dan Ibunya memiliki usaha kecil-kecilan yakni produsen keripik.

"Saya accounting staff, Tante." Alea tersenyum canggung.

"Mamanya Rama mirip HR Manager hotel yang dulu aku lamar deh," batin Alea.

Sungguh, makan malam ini malah terasa menyiksa Alea. Gurame bakar yang terlihat lezatpun sama sekali tidak menarik lagi dimata Alea saat ini.

"Mama udah dong introgasinya, biarin Alea makan dulu!" Rama menyela.

"Iya Ma! Nanti dilanjut di ruang keluarga, nggak enak lagi makan diajak ngobrol terus," tegas Herman, papa Rama.

Alea pikir bisa bernapas lega setelah selesai makan malam, namun ternyata dia salah. Saat diminta oleh Weni untuk membantu membereskan meja makan, Weni spontan menceritakan asal usul keluarganya yang berasal dari kalangan elite.

"Suami saya itu pengusaha konstruksi bangunan sukses," Weni membuka percakapan yang Alea tidak tahu kemana arahnya. "Kami punya empat hotel di kota Jogja," lanjut Weni.

"Wah! Keren ya, Tante. Alea nggak tahu kalau Tante punya hotel sampai empat." Alea terkekeh.

Kekehan yang awalnya dia pikir akan mencairkan suasana ternyata malah membuat Weni menatap sinis ke arah Alea. "Ekhem!" Weni kemudian meneruskan langkahnya untuk membawa tumpukan piring ke wastafel.

Alea tidak tahu Papa Rama memiliki hotel yang terkenal di kotanya, yang Alea tahu Papa Rama adalah seorang pengusaha sukses. Dan saat ini Alea merasa sangat kecil. Entah kenapa perasaannya tidak enak. Sekarang, dia tahu kemana arah pembicaraan ini akan berlanjut.

"Tante cuma mau kamu berpikir untuk masa depan kamu sendiri dulu." Weni mencuci tangannya dan memutar tubuhnya menghadap Alea. "Maksudnya ya nggak usah dulu mikir hubungan kalian serius." Weni bersedekap.

"Maksud Tante?" Alea mengernyitkan keningnya.

"Biarin Rama berkembang dulu karirnya, Tante harap kamu tahu maksud Tante, Tante cuma nggak mau nanti kamu malah jadi bahan gunjingan di keluarga besar kami." Weni kemudian pergi meninggalkan Alea yang mematung dengan nampan berisi gelas.

Alea kalah telak! Kakinya lemas dengan mata yang terasa memanas. Aura mengintimidasi bahkan masih terasa bagi Alea sepeninggal Weni dari dapur mewah itu. Alea menghela napasnya dalam-dalam.

Dia menatap sekitarnya dan tersenyum miris. "Kita beda banget ya, Ram?" gumam Alea pedih.

­­***

Dia menceritakan kejadian itu 1 minggu setelahnya kepada Rama karena Alea tidak betah lama-lama bersikap cuek pada Rama. Jangan bertanya bagaimana Rama kelimpungan karena sikap Alea.

"Kamu kenapa nggak bilang dari kemarin sih, Beb?" Rama berkata dengan nada kesal. "Kamu nggak tahu gimana pusingnya aku mikirin sikap kamu yang tiba-tba menghindar terus dari aku!" Rama menjambak rambutnya.

Bahkan Rama menyempatkan mampir ke rumah Alea, meskipun tidak bertemu Alea karena Alea sedang lembur dengan sengaja. Rama juga tidak lupa membawa martabak telur super favorit Bapak Alea.

Malam itu, Rama datang lagi ke rumah Alea dan berhasil bertemu dengan gadis yang sudah mencuri hatinya sejak lama.

"Aku pikir nggak ada gunanya aku cerita." Alea menghela napas dalam.

Netranya mengawasi halaman depan rumahnya yang remang-remang. "Aku pikir kamu nggak akan percaya dengan semua ceritaku." Alea kembali menoleh ke arah Rama.

"Nggak mungkin aku nggak percaya sama kamu secara mentah-mentah, Sayang!" Rama terdengar sangat frustasi. "Sekarang yang terpenting, jangan pernah berpikir untuk menghindari aku lagi." Rama menatap mata sendu kekasihnya.

"Tapi mama kamu?" Alea bertanya dengan nada lirih.

"Mama aku biar aku yang urus, kita tetap bisa lanjutin hubungan ini." Rama kemudian mengelus kepala Alea. "Kamu tahu kalau aku udah secinta ini sama kamu, aku nggak akan bisa pisah dari kamu, Sayang." Rama tersenyum lembut.

Alea merasa terbuai dan mendekatkan wajahnya kepada Rama. Dia berhenti pada jarak sepuluh senti dari wajah Rama.

RehatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang